Isra
Mikraj dan Kepemimpinan
Maksun ;
Dosen IAIN Walisongo, Semarang
|
KORAN
JAKARTA, 27 Mei 2014
Terkait
pilpres, Indonesia harus benar-benar mikraj
demi menemukan pemimpin ideal. Peringatan isra
mikraj harus dijadikan momentum perenungan atas kepemimpinan bangsa yang
sejak merdeka 69 tahun silam belum ada yang ideal. Belum ada pemimpin sejati
dengan visi membangun bangsa demi kesejahteraan rakyat.
Indonesia
pernah memiliki Bung Karno yang berhasil membawa bangsa ini merdeka. Sayang,
di akhir kekuasaannya, ia tergoda menjadi manusia megalomania dan menjadikan
negeri sebagai eksperimen obsesi-obsesinya. Ia pun lengser dari singgasana
secara cukup mengenaskan.
Kemudian
Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Tetapi, kekuasaan yang panjang itu
dibangun dengan tangan besi dan mengakhirinya dengan penumpukan harta
kekayaan. Tak pelak, akhir kekuasaan Soeharto juga tidak manis. Ketika
lengser pun, penguasa Orde Baru itu menjadi sumber hujatan.
Lepas
dari itu, rakyat tidak segera mendapat pemimpin ideal, baik BJ Habibie maupun
KH Abdurrahman Wahid, yang hanya mengenyam kekuasaan singkat dengan akhir
yang tidak menyenangkan. Kemudian, tampillah Megawati Soekarnoputri setelah
MPR berhasil ”mendepak” Gus Dur melalui Sidang Istimewa. Banyak orang
berharap sikap diamnya bisa membawa bahtera bangsa ini pada situasi yang
lebih aman dan kondusif. Tetapi, apa yang terjadi? Her silent is not gold.
Diamnya
Megawati malah menjadi bumerang. Komunikasi politiknya gagal membangun
pemerintahan efektif. Kebijakan-kebijakannya banyak memancing keresahan di
tingkat elite dan akar rumput. Implikasinya, suara PDI Perjuangan jeblok, dan
Megawati gigit jari tak bisa masuk istana lagi.
Kini,
hampir 10 tahun bangsa dinakhodai Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah janji
pun, jauh sebelum menjadi presiden, diumbar. Namun, janji tinggal janji.
Penanganan beberapa persoalan besar bangsa belum memenuhi ekspektasi publik,
untuk tidak mengatakan gagal. Kasus Hambalang memang mulai terkuak dan
menjebloskan sejumlah kader Partai Demokrat ke penjara.
Lebih
dari itu, di era SBY inilah kasus korupsi benar-benar menggurita, tidak saja
di sekitar istana dan kader-kadernya, melainkan juga di seluruh lini kehidupan.
Akibatnya, suara Partai Demokrat pun turun darastis pada pileg dan gagal
mengusung capres hasil konvensi.
Pertanyaannya,
mengapa semua terjadi? Di samping karena benturan kepentingan, egoisme,
ambisi politik yang tak lagi memperhatikan suara hati nurani dan aspirasi
publik, tampaknya para pemimpin tidak memahami hakikat amanah yang diemban.
Mereka lupa nilai esensial sebuah kepemimpinan.
Dalam
tataran inilah proses kesadaran tentang pembacaan kembali nilai-nilai
kepemimpinan idel yang diajarkan Nabi SAW saat mikraj menjadi sangat relevan
dikedepankan.
Ibarat Negara
Salat
berjamaah ibarat sebuah negara. Imam yang menempati posisi terdepan
menggambarkan seorang pemimpin, sedang makmum di belakangnya potret
individu-individu dalam komunitas yang biasa disebut rakyat. Untuk menjaga
stabilitas dan keamanan selama salat, harus ada aturan main (the rule of game) yang disebut
syari’at. Ini berarti, dalam sebuah negara, harus ada konstitusi. Sedangkan
masjid atau musala bisa dibaca sebagai teritori.
Dari
ilustrasi ini dapat diambil beberapa poin penting. Jika jamaah bernama
negara, maka imam adalah seorang presiden. Imam harus berkualifikasi
tertentu, misalnya sanggup menunaikan salat, tahu tata cara, berakal sehat,
bisa membaca Al Quran dengan benar, berakhlak baik, dan disetujui makmum. Ini
mengindikasikan seorang pemimpin seharusnya sanggup melaksanakan tugasnya,
berakal sehat, menjadi contoh, dan dipilih rakyat.
Dalam
konteks politik, ketika ada dua orang yang sama-sama memiliki kualifikasi
untuk menjadi presiden, misalnya, yang harus dipilih benar-benar kapabel,
akseptabel, dan akuntabel. Dia harus bersih dari KKN.
Seorang
pemimpin harus aspiratif, tidak egois, toleran, dan saling menghargai. Simbol
ini bisa dibaca dari perilaku Nabi SAW ketika memimpin salat jamaah. Dalam
suatu riwayat, disebutkan, Easulullah kakinya sampai bengkak menjalankan
salat malam karena panjangnya surat yang dibaca dan doa dalam sujud serta
ruku. Namun, ketika mengimami salat, dia justru memendekkan bacaan bila ada
orang tua, anak-anak, dan bayi.
Secara
simbolis, seorang pemimpin harus memperhatikan seluruh rakyat. Dia turun ke
lapangan bertemu rakyat walau sudah ada laporan untuk mengecek ulang masukan.
Seorang pemimpin harus bersih dari KKN. Salat berjamaah tidak mengenal
nepotisme. Ini tecermin saat menata barisan. Hadirin pertama berhak dan wajib
menempati baris depan, tidak ada privilese. Yang datang terlambat harus di
baris belakang.
Demikian
juga, antara imam dan makmum tidak boleh korupsi dan kolusi. Seorang pemimpin
tidak korupsi dan kolusi karena rule of game-nya sudah jelas. UU atau
konstitusi tidak boleh dikorup hanya untuk kepentingan politik sesaat.
Pemimpin
tidak boleh marah-marah bila dikritik. Dalam salat berjamaah, ketika imam
lupa atau salah membaca atau gerakan, makmum wajib mengingatkan. Pria membaca
subhanallah, dan perempuan mengingatkan dengan tepuk tangan sekali. Ini
berarti, seorang pemimpin harus peka dan sadar kritik masyarakat. Kontrol dan
partisipasi politik masyarakat, yang pada perkembangan selanjutnya disebut
oposisi, merupakan suatu kenyataan.
Kehadiran
oposisi dalam tradisi demokrasi sangat penting sebagai pengontrol kebijakan
pemimpin, penguasa, atau pemerintah. Jika penguasa tidak lagi memberi
kebebasan beroposisi, yang muncul kekuasaan korup, represif, dan otoriter.
Dalam
salat berjamaah ketika imam batal harus segera berwudu dan mengejar salat
yang ditinggalkan dengan kedudukan baru sebagai makmum (masbuk). Jangan
gengsi, tidak mau menjadi makmum dan mendirikan jamaah baru. Simbol ini
bermakna, ketika seorang pemimpin berbuat inkonstitusional, menyalahgunakan
kekuasaan, harus segera mengundurkan diri, tidak perlu menunggu didemo.
Setelah
lengser, dia pun harus kembali pada barisan rakyat, patuh pada pemimpin baru.
Dia tidak boleh mengganggu, apalagi menjadi oposan, untuk menandingi dan
menjatuhkan penggantinya. Membangun oposisi boleh-boleh saja, tapi harus
beretika. Islam sangat melarang sikap-sikap anarkistis, radikal, dan
destruktif. Oposisi harus dilakukan secara proporsional, konstitusional, dan
tidak untuk menjatuhkan pemerintahan sah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar