Tragedi
Mei, Utang Pemerintah
Mimin
Dwi Hartono ; Staf Komnas
HAM
|
KORAN
JAKARTA, 14 Mei 2014
Tragedi
Mei atau kerusuhan massal yang terjadi pada 13–15 Mei 1998 di Jakarta dan
beberapa kota besar lainnya telah lewat 16 tahun. Akan tetapi, proses hukum
atas tragedi noda hitam sejarah bangsa tersebut tidak kunjung tuntas,
meskipun presiden dan pemerintahan sudah berganti beberapa kali.
Pada 23
Juli 1998, Presiden BJ Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
dari unsur pemerintah, Komnas HAM,
ABRI, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh warga.
TGPF
diberikan waktu bekerja tiga bulan. Mereka investigasi di kota-kota lokasi kerusuhan.
TGPF berhasil merampungkan investigasinya pada 23 Oktober 1998 dan
menyerahkan hasilnya ke presiden.
Berdasarkan
laporan yang disusun TGPF, kerusuhan massal tersebut bukan sesaat atau spontan, namun sistematis.
Massa yang terlibat terdiri atas orang-orang
yang aktif (penggerak) dan pasif. Akibat kerusuhan massal tersebut, lebih dari
1.000 orang meninggal karena terjebak
di dalam bangunan yang terbakar atau dibakar.
Selain
itu, ratusan orang luka-luka dan
beberapa orang diculik. Sejumlah wanita diperkosa dan dilecehkan
secara seksual yang sebagian besar
dari etnis tertentu. Ribuan bangunan dibakar, toko-toko dijarah.
Tragedi
Mei bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi secara serta merta dan berdiri sendiri.
Berdasarkan temuan TGPF, Tragedi Mei terkait dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya, yaitu Pemilihan Umum 1997,
penculikan sejumlah aktivis pro demokrasi 1997/1998, krisis ekonomi, dan
penembakan terhadap mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998. Berbagai peristiwa
tersebut memicu Tragedi Mei selama
tiga hari berturut-turut.
Laporan
TGPF menghasilkan delapan poin rekomendasi, di antaranya pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi
para korban. Perlu digelar pengadilan militer untuk petinggi ABRI yang terlibat dan penyelidikan lanjutan. Namun,
sebagian besar rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Salah
satu rekomendasi TGPF ditindaklanjuti
terkait dengan penyelidikan lanjutan atas Tragedi Mei oleh Komnas HAM.
Untuk itu, Komnas HAM membentuk tim pengajian untuk meneliti Tragedi Mei guna
menguji kelayakan sebelum ditingkatkan ke tahap penyelidikan pro justisia.
Hasil penelitian merekomendasikan pembentukan Tim Penyelidikan pro justisia
dugaan pelanggaran HAM berat atas
Tragedi Mei. Mandat ini berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Pada
2003, Tim Penyelidikan Komnas HAM telah menuntaskan laporan penyelidikan
tersebut untuk disahkan di dalam Sidang Paripurna Komnas HAM. Berdasarkan
penyelidikan, Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas
dugaan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dalam Tragedi Mei sebagaimana diatur di
dalam Pasal 9 UU tentang Pengadilan HAM.
Hasil
penyelidikan Komnas HAM disampaikan ke Kejaksaan Agung selaku penyidik
melalui surat Nomor 197/TUA/IX/2003 tertanggal 9 September 2003. Namun karena
tidak ada respons, beberapa bulan kemudian Komnas HAM kembali melayangkan
surat ke Kejaksaan Agung dengan Nomor: 35/TUA/I/2004 tertanggal 29 Januari
2004 untuk menanyakan perkembangan proses penyidikan Tragedi Mei.
Beberapa
bulan kemudian, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM.
Lantas, melalui surat Nomor 09/TUA/I/2005 tanggal 6 Januari 2005, Komnas HAM menyampaikan
pendapat bahwa pengembalian berkas penyelidikan Komnas HAM tidak berdasar
karena Jaksa Agung tidak pernah menyatakan berkas hasil penyelidikan Komnas
HAM tidak lengkap.
Menurut
Pasal 20 Ayat 3 UU tentang Pengadilan HAM, penyidik mengembalikan berkas
penyelidikan disertai dengan petunjuk untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari.
Selain menjalankan prosedur hukum, secara paralel Komnas HAM juga melakukan
pendekatan politik, bertemu pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat agar segera merekomendasikan pembentukan Pengadilan
HAM ad hoc.
Lebih
lanjut, berdasarkan catatan Komnas HAM, pada 2008, Jaksa Agung menyatakan
bahwa hasil penyelidikan belum bisa ditindaklanjuti karena pengadilan HAM ad
hoc belum terbentuk. Merespons hal tersebut, Komnas HAM berpendapat bahwa
penyidikan dan penuntutan dapat dilakukan tanpa menunggu pembentukan
pengadilan HAM ad hoc. Tidak ada ketentuan di dalam UU tentang pengadilan HAM
bahwa pengadilan HAM ad hoc harus dibentuk lebih dulu.
Pengabaian
Proses
hukum atas Tragedi Mei yang mengambang dan berlarut-larut telah merugikan
banyak pihak, terutama korban, juga publik dan negara karena menjadi beban
sejarah yang tidak pernah tuntas.
Bagi
korban, hak-haknya atas keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dijamin di
dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, telah diabaikan oleh negara selama bertahun-tahun. Mereka tidak
pernah tahu siapa yang bertanggung jawab atas Tragedi Mei yang telah merampas
hak-hak asasinya, termasuk hak hidup. Korban dan keluarga berhak tahu dalang Tragedi Mei.
Pihak
yang diduga para pelaku menghadapi
tuduhan yang belum berdasar putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap. Pihak tersebut juga mengalami
ketidakpastian hukum, padahal
berhak dinyatakan tidak bersalah
sampai ada putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap. Berkembangnya opini publik yang menyalahkan
pihak tertentu tidak bisa dielakkan karena pembiaran oleh negara selama
belasan tahun.
Sementara
bagi masyarakat yang berhak atas informasi dan berhak tahu atas sebuah kebenaran tidak
mendapatkannya, karena tidak ada ketegasan dari negara untuk mengadili yang bersalah atau bertanggung jawab dalam
Tragedi Mei. Kepastian atas proses hukum Tragedi Mei sangat penting bagi
masyarakat guna mengetahui fakta dan
tidak menjadi beban bangsa.
Bagi
pemerintah maupun presiden berkuasa,
selalu akan dibayangi oleh tekanan dari dalam dan luar negeri, karena dinilai
tidak mau (unwilling) dan tidak
mampu (unable) menuntaskan Tragedi
Mei. Di dalam setiap sidang Perserikatan
Bangsa-Bangsa, misalnya, di bawah mekanisme sidang Komisi Hak Asasi Manusia,
atau forum-forum internasional, ketidakjelasan status hukum Tragedi Mei selalu dipersoalkan. Ini tentu menggerus
kredibilitas negara.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih memunyai sisa waktu masa pemerintahannya untuk melaksanakan
kewajiban konstitusionalnya
menuntaskan proses hukum atas Tragedi Mei. Dia harus minta Kejaksaan
Agung menindaklanjuti hasil
penyelidikan Komnas HAM. Kegagalan
menuntaskan kasus ini akan dicatat secara khusus sebagai agenda bangsa
yang tidak dituntaskan selama 10 tahun Presiden SBY memimpin bangsa.
Harapan
publik lebih besar disandarkan ke bahu presiden mendatang, agar berani
membuka kebenaran dan menuntaskan
proses hukum atas Tragedi Mei. Hal ini untuk menegakkan hak atas keadilan dan
kepastian hukum khususnya bagi para korban yang tidak pernah lelah berharap dan berjuang demi tegaknya
kebenaran.
Namun,
hal tersebut sangat bergantung pada sosok presiden terpilih, apakah memunyai
komitmen politik dan HAM untuk menuntaskan Tragedi Mei. Untuk itu, pemilihan
presiden pada 9 Juli mendatang menjadi sangat strategis bagi rakyat untuk
menemukan sosok pemimpin bangsa yang mau dan mampu menuntaskan kasus-kasus
HAM di masa lalu. Dia juga harus
mencegah agar kejadian serupa tidak terulang.
Selain
Tragedi Mei, masih ada enam kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselesaikan
penyelidikannya oleh Komnas HAM dan telah diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk
ditindaklanjuti, di antaranya kasus penculikan aktivis pro demokrasi
1997/1998.
Untuk
mengakhiri, perlu ditegaskan pernyataan
William Goldstone (1809–1898), bahwa
justice delayed is justice
denied. Penundaan keadilan atas
Tragedi Mei dan kasus-kasus lainnya sama saja
mengabaikan keadilan itu
sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar