Ekalaya
Purnawan
Andra ; Peminat Kajian
Sosial Budaya Masyarakat
|
TEMPO.CO,
14 Mei 2014
Dalam
cerita Mahabharata, Ekalaya adalah seorang kesatria yang ingin menimba ilmu
panah kepada Mahaguru Drona. Tapi Drona tahu Ekalaya mempunyai bakat yang
jauh melebihi Arjuna, murid kesayangannya. Maka ia mengajukan syarat mau
menerima Ekalaya sebagai murid asal menyerahkan ibu jari kanannya kepada
Drona. Kita tahu, tanpa kelengkapan jari-jari tangan, seorang kesatria tak
akan mampu memanah dengan baik. Namun Ekalaya tetap memberikan jempolnya
kepada Drona sebagai ketaatan murid kepada gurunya.
Ekalaya
adalah potret keinginan kuat seseorang untuk memperoleh pendidikan. Tapi
harapannya berhadapan dengan Drona (baca: institusi pendidikan) yang tak
menerima dan mengelolanya dengan baik, bahkan mengebiri kemampuannya, karena
alasan dan logika yang tak masuk akal: suka atau tidak suka.
Fitrah
sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan adalah organisasi belajar.
Pendidikan memperlakukan individu sebagai pribadi dalam sistem yang dibangun
sebagai dasar bertindak dalam praksis harian, sehingga kultur edukatif
benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan (Soedjatmoko, 2009). Artinya, sekolah
menciptakan iklim harian dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar
belajar tanpa dipaksa atau diancam perolehan nilai, dengan mengajarkan
"etos", konsep nilai berupa ketekunan, konsistensi, serta
keseriusan siswa.
Namun
Romo Mangun menyebut bahwa institusi-institusi pendidikan formal saat ini
telah mendidik siswanya menjadi robot dengan suasana penuh siksaan dan
tekanan. Dari kebijakan ujian nasional (UN) saja, kita lihat wajah pendidikan
kita. UN selalu hadir dalam suasana menegangkan, mengancam, dan menakutkan,
bukan dipahami sebagai proses wajar untuk menuju tingkatan yang lebih tinggi.
Untuk
menghadapi UN, sekolah perlu mengadakan doa dan zikir bersama disertai isak
tangis penuh haru yang diakhiri ikrar kejujuran. UN dikesankan menjadi pertaruhan
hidup siswa: lulus berarti fase hidup selanjutnya terbentang di masa depan,
sedangkan tidak lulus UN berarti kesalahan, kegagalan, menghadapi malu atas
semacam "dosa".
Dunia
pendidikan dikelola dengan visi pendidikan dan spiritualitas yang dangkal,
lebih suka mencari jalan pintas. Arti pendidikan yang sebenarnya direduksi.
Proses menjadi tidak penting karena hasil lebih utama, entah bagaimana cara
mendapatkannya. Maka wajar jika setiap menjelang UN selalu ada fenomena
jual-beli jawaban, bocoran soal, hingga siswa yang bunuh diri karena gagal
lulus.
Siswa
seharusnya mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang
menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Sebagai sebuah lembaga ilmiah, sekolah
harus mampu menciptakan iklim yang kondusif dan menjadi tempat bagi seluruh
civitas academica untuk mengembangkan segenap potensi keilmuan, memupuk
kreativitas, dan melakukan kegiatan-kegiatan inovatif guna meraih capaian
intelektual dan kepribadian yang optimal. Pendidikan berkualitas bukan sekadar
masalah teknis didaktik-metodik, tapi juga hal-hal yang ideologis,
strategis-paradigmatis. Jangan sampai negara bersikap seperti Drona terhadap
Ekalaya, dengan tidak memfasilitasi hak tumbuh-kembang siswa yang menjadi
fitrah pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar