Pilpres
dan Inspirasi Ajaran Buddha
Dhammashubo ;
Ketua Dewan Sesepuh Sangha Theravada
Indonesia
|
SUARA
MERDEKA, 14 Mei 2014
"Memilih
calon pemimpin perlu mengikutkan syarat tidak cacat sosial, tidak cacat
moral, dan tidak cacat spiritual"
SEJAK dulu orang
mengidam-idamkan memiliki harga diri baik, tidak cacat, bersih tanpa noda,
dan berwibawa. Andai cacat, jatuh nilai harga dirinya dan berisiko mendapat
malu. Kita sepakati dulu tentang arti kata cacat. Apa pun bila cacat pasti jatuh harganya.
Terdapat tiga jenis cacat dalam kehidupan manusia, yaitu cacat sosial, cacat
moral, dan cacat spiritual.
Cacat sosial misalnya, pinjam
sesuatu tapi tak mau mengembalikan. Berutang tapi enggan melunasi. Mengumbar
janji tapi tidak mau menepati. Maka dengan mudah lingkungan memberi predikat
terhadapnya: cacat sosial. Pesannya,
’’Harap berhati-hati dengan
orang itu,’’ dan sebagainya.
Cacat moral semisal membunuh,
mencuri, bertindak asusila, berbohong, dan bermabuk-mabukan (melanggar
Pancasila Buddhis), atau dalam istilah Jawa disebut menjalankan malima.
Adapun cacat spiritual biasanya berkait nilai hidup. Bagi yang hidupnya
bernilai tinggi, bersih tanpa noda, tidak cacat maka akan meninggal dengan
tenang. Berbeda dari mereka yang nilai hidupnya rendah maka rata-rata sewaktu
meninggalnya pun susah.
Mari kita beranjak pada kata
terbaik, pertama, dan terpuji. Pertama belum tentu terbaik namun yang terbaik pasti pertama terpuji. Banyak
sekali orang mau menjadi yang pertama dipuji. Tetapi bila jeli, kita bisa
melihat bahwa relatif sedikit orang mau berbuat yang terbaik hingga pantas
berpredikat terpuji. Yang banyak terjadi adalah orang yang tindak-tanduknya
tidak baik, dan otomatis pun sulit untuk dipuji dalam arti positif.
Pada Kamis, 15 Mei 2014, umat
Buddha memperingati Hari Raya Tri Suci Waisak 2558 Tahun Buddhis (TB). Pada
hari itu umat kembali mengenang tiga peristiwa penting dalam bulan Waisak.
Pertama; kelahiran Pangeran Siddhartha di Taman Lumbini 623 SM. Kedua;
pertapa Siddhartha mencapai penerangan sempurna menjadi buddha, di bawah
pohon bodhi kota Bodh Gaya 588 SM. Ketiga; Buddha Gautama wafat di Kusinagara
543 SM.
Sesaat setelah Siddhartha lahir,
kepada Raja Sudodana, sang ayah, ahli nujum petapa Asita meramalkan dua hal.
Pertama; bila Siddhartha memilih jalan hidup menjadi raja, ia hanya menjadi
”penjaga istana”. Kedua; jika Siddhartha memilih jalan hidup menjadi pertapa
dan mencapai taraf buddha, ia akan menjadi pemimpin besar dunia yang cakap,
cakep, dan cukup.
Kala itu, Raja Sudodana menolak
andai anaknya hidup bertapa, apalagi hingga mencapai taraf buddha. Ia bahkan bertanya kepada Asita,’’
Apakah ada cara untuk menghindari supaya Siddhartha tidak menjadi pertapa,
apalagi mencapai buddha?”
Dengan cepat Asita menjawab,’’
Ada, yaitu bila Siddharta tidak melihat empat
kejadian alam: tidak melihat orang
tua, tidak melihat orang sakit, tidak melihat orang mati, dan tidak melihat orang yang menjadi pertapa.’’
Atas dasar jawaban itu, Sudodana
memingit Pangeran Siddhartha di dalam tembok istana dengan segala kemewahan
duniawi. Dalam usia 16 tahun Siddhartha dinikahkan dengan Dewi Yasodara.
Semacam perkawinan politik demi kepentingan raja, selayaknya kepala negara
yang ingin melanggengkan kekuasaan.
Pada usia 29 tahun, Siddharta
bertekad memilih jalan meninggalkan keduniawian untuk hidup bertapa. Setelah
6 tahun bertapa, tepat pada purnama bulan Waisak, Siddharta mencapai buddha, penerangan sempurna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar