Tragedi
Mei Masih Misteri
Amanda
Adiwijaya ; WNI etnis
Tionghoa,
Pernah
memberikan trauma healing kepada korban tragedi Mei 1998
|
JAWA
POS, 14 Mei 2014
Bulan Mei
datang kembali. Bukan membawa nostalgia ceria. Sebaliknya, justru sebuah
kenangan teramat kelabu akan tragedi 13–15 Mei 1998 di Jakarta. Tragisnya,
meski sudah 16 tahun berlalu, tidak ada keadilan yang berpihak kepada para
korban.
Ternyata,
jeritan mereka yang meminta keadilan akan peristiwa traumatis itu hanya
membentur dinding keangkuhan. Negeri ini memang sudah terkenal sebagai negeri
yang doyan membuat kaum lemah terus-menerus menjadi tumbal dan ditempatkan
dalam posisi kalah.
Memang sudah
dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta pada 23 Juli 1998. Rekomendasi kedua tim
tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. Jadi, sampai sekarang, tidak ada
seorang pun pelaku tragedi Mei yang ditangkap atau diadili.
Yang
menyedihkan, justru ada rasionalisasi bahwa para korban HAM dalam peristiwa
13–15 Mei 1998 itu tidak pernah ada karena tidak pernah bisa dibuktikan.
Apalagi jika dikaitkan dengan perundang-undangan terkait dengan pemerkosaan
di negeri ini. Bagaimana membuktikan bahwa korban sungguh diperkosa?
Kasus
pelanggaran HAM selama ini selalu dibiarkan menggantung, tidak ada solusi
yang tuntas. Yang menyedihkan, para pelaku tetap bisa bebas menghirup udara
kebebasan, bahkan masih bisa berkiprah di ruang publik. Sungguh tidak ada
keadilan bagi para korban.
Sementara itu,
Komnas HAM yang pernah berupaya memanggil para mantan jenderal yang dianggap
mengetahui atau bertanggung jawab atas beberapa kasus pelanggaran HAM masa
lalu tetap menjadi macan kertas.
Padahal,
pengungkapan kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di tanah air seperti
’’Tragedi Mei 1998’’ memerlukan komitmen pemerintah. Tanpa komitmen dan good will langsung dari presiden, kasus tersebut bakal terkubur dan tidak
pernah bisa diungkap sampai kapan pun.
Para pelanggar
HAM, apalagi dari kalangan militer, sudah bisa dipastikan akan menolak
dituduh sebagai penanggung jawab pelanggaran HAM. Mereka akan menyatakan
bahwa kesalahan terletak pada orang lain. Orang lain pun akan melakukan hal
yang sama dalam situasi yang sama. Tindakan yang dianggap salah itu
(pelanggaran HAM) memang serba kontroversial.
Simak saja,
rencana Komnas HAM beberapa waktu lalu untuk memanggil para jenderal atau
pejabat TNI yang dianggap bertanggung jawab pun selalu direspons sangat
reaktif oleh para mantan jenderal. Yang menggelikan, argumentasi para purnawirawan
sudah menjurus ad hominem, bukan ad rem. Yakni, mempertanyakan kompetensi dan kredibilitas para anggota
Komnas HAM. Praktisi hukum senior Adnan Buyung Nasution sampai meminta para
purnawirawan TNI tidak menilai secara subjektif langkah-langkah Komnas HAM,
terutama dengan memandang orang per orang anggota komisi tersebut.
Apa yang bisa
kita timba dari polemik tersebut? Persoalan HAM memang bisa mengundang
beragam penafsiran. Namun, ada satu kesamaan, baik di Barat maupun Timur.
Yakni, bagi korban, rasa sakit karena HAM-nya diinjak itu sama saja. Para
korban biasanya agak malas jika harus beradu argumentasi dari sisi hukum.
Apalagi hukum kita gampang ditafsirkan dan dimanipulasi demi melindungi
kepentingan yang kuat.
Pikiran korban
itu sederhana saja bahwa seharusnya setiap pelanggaran HAM pasti ada
pelakunya. Kebanyakan korban HAM di negeri ini dan keluarganya sudah tahu
siapa saja pelaku pelanggaran HAM itu. Tetapi, mengapa sampai saat ini
pelaku-pelaku pelanggaran HAM tidak dapat diadili dan dihukum secara
setimpal? Apakah selama ini pelaku pelanggaran HAM memang dilindungi negara?
Memang sudah
ada Komnas HAM sebagai institusi yang diberi mandat undang-undang (UU).
Tetapi, banyak korban yang pesimistis karena Komnas HAM harus berhadapan
dengan sebuah kekuatan besar yang sesungguhnya bersemangat anti-HAM. Presiden
SBY saja tidak bisa berbuat banyak untuk membangun politik pro-HAM.
Selama
intervensi politik dilakukan oleh orang-orang yang memiliki sikap politik
anti-HAM, penyelesaian kasus pelanggaran HAM apa pun tidak akan bisa
terwujud. Selama negara masih didominasi orang yang mengintervensi politik
itu, dipastikan keadilan bagi para korban HAM tidak akan terwujud.
Malahan,
kadang di tengah derita korban atau keluarga, misalnya dalam kasus Tragedi Mei
1998, ada pejabat yang dengan enteng menyangkal ’’tidak ada pelanggaran
HAM’’. Kalimat ’’tidak ada pelanggaran HAM’’ itu juga menjadi argumen sakral
dalam banyak kasus pelanggaran HAM lain. Penyangkalan itu jelas merupakan
cerminan orang yang tak mau belajar dari sejarah. Padahal, tentang
pelanggaran HAM dan rasa sakit akan pelanggaran itu, yang paling tahu pedih
perihnya jelas hanya para korban.
Meski
demikian, para pejuang HAM tidak boleh menyerah demi mewujudkan keadilan bagi
para korban. Tocqueville (1805–1859) mengingatkan, ’’Karena masa lalu gagal
menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut.’’
Karena itu,
memang benar jika dalam pilpres 9 Juli kita perlu memilih sosok-sosok yang
tidak memiliki beban sejarah. Dengan demikian, kelak ketika berkuasa, sosok
tersebut berani menuntaskan berbagai pelanggaran masa silam seperti tragedi
Mei itu dan menjamin peristiwa serupa tidak terulang pada masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar