Rabu, 14 Mei 2014

Mata Hitam

Mata Hitam

Anton Kurnia  ;   Penulis Esai dan Cerpen
TEMPO.CO,  14 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Ochi chornye, atau Mata Hitam, bisa jadi lagu cinta dari Rusia yang paling terkenal di dunia. Aslinya lirik lagu ini ditulis penyair Ukrainia bernama Yevhen Hrebinka dalam bahasa Ukrainia. Ia lalu menerjemahkan puisi melankolis itu ke bahasa Rusia dan dipublikasikan dalam Literaturnaya gazeta pada 17 Januari 1843. Setahun kemudian puisi ini digubah menjadi komposisi lagu oleh Florian Hermann dan dipopulerkan oleh Feodor Chaliapin.

Lagu ini lalu diadaptasi menjadi berbagai versi, antara lain sebagai Black Eyes dalam bahasa Inggris dan Les yeux noirs dalam versi Prancis. Lagu ini pun pernah menjadi nomor jazz standar pada masanya yang dibawakan oleh para master semacam Louis Armstrong dan Django Reinhardt dalam berbagai pentas.

Di Indonesia, kita mengenal lagu ini sebagai lagu cinta berlirik bahasa Sunda, Panon Hideung (artinya Mata Hitam). Komposisi nadanya bisa dibilang sama dengan Ochi chornye, hanya berbeda lirik dan bergeser maknanya walau tetap berkisah tentang jatuh cinta yang sendu terhadap seorang gadis bermata hitam. Siapakah penggubahnya?

Panon Hideung dianggit oleh maestro musik nasional yang pada 11 Mei ini kita peringati 100 tahun kelahirannya: Ismail Marzuki (1914-1958). Konon, lagu ini diadaptasi Ismail yang asli Betawi dari versi Rusia pada 1936 sebagai persembahan bagi seorang "euis Bandung" yang memikat hatinya. Gadis yang beruntung itu adalah Eulis Zuraidah, penyanyi keroncong dan dirigen orkestra asal Kota Kembang yang kemudian dinikahi Ismail pada 1940.

Hingga kini lagu Panon Hideung amat populer di Bandung dan sekitarnya, serta kerap dinyanyikan dalam beragam kesempatan. Bahkan, bagi sebagian orang yang tak tahu sejarahnya, lagu itu dianggap lagu asli Sunda yang menasional. Panon Hideung tak jarang dibawakan dalam pentas internasional dengan iringan musik tradisonal semacam angklung sebagai "lagu daerah" Jawa Barat.

Di Rusia, Ochi chornye amat populer. Banyak orang hafal di luar kepala nada dan liriknya. Dalam film dokumenter Gerimis Kenangan karya sutradara Seno Joko Suyono yang meraih Piala Citra pada FFI 2006, ada adegan ketika kru film mewawancarai secara acak sejumlah warga Moskow yang tengah berada di jalanan dan meminta mereka menyanyikan lagu ini. Ternyata sebagian besar bisa menyanyikannya. Dan seperti banyak orang di sini, mereka pun tak tahu riwayat intertekstualitas budaya antara Ochi chornye dan Panon Hideung yang menghubungkan sejarah kedekatan rakyat Rusia dengan Indonesia pada masa lalu.

Alih-alih tampak sebagai seorang musikus penjiplak, Panon Hideung justru membuat Ismail tampil sebagai duta budaya yang efektif. Ismail yang pada 2004 dinobatkan sebagai pahlawan nasional membuktikan bahwa musik adalah bahasa universal yang mampu melintasi sekat-sekat negara, bangsa, bahasa, bahkan ruang dan waktu. Lagi pula, ia tak pernah mendaku bahwa lagu ini karya orisinalnya.

Ismail Marzuki adalah salah satu komponis terbesar kita dengan karya-karya yang terus dikenang dan dimaknai kembali hingga kini oleh generasi setelahnya, seperti Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Bola, dan Sabda Alam. Sejarah dan waktulah yang mencatat dan mengabadikan pencapaiannya yang gemilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar