Mata
Hitam
Anton
Kurnia ; Penulis Esai
dan Cerpen
|
TEMPO.CO,
14 Mei 2014
Ochi chornye, atau Mata Hitam, bisa jadi
lagu cinta dari Rusia yang paling terkenal di dunia. Aslinya lirik lagu ini
ditulis penyair Ukrainia bernama Yevhen Hrebinka dalam bahasa Ukrainia. Ia
lalu menerjemahkan puisi melankolis itu ke bahasa Rusia dan dipublikasikan
dalam Literaturnaya gazeta pada 17 Januari
1843. Setahun kemudian puisi ini digubah menjadi komposisi lagu oleh Florian
Hermann dan dipopulerkan oleh Feodor Chaliapin.
Lagu ini
lalu diadaptasi menjadi berbagai versi, antara lain sebagai Black Eyes dalam bahasa Inggris dan Les yeux noirs dalam versi Prancis.
Lagu ini pun pernah menjadi nomor jazz standar pada masanya yang dibawakan
oleh para master semacam Louis Armstrong dan Django Reinhardt dalam berbagai
pentas.
Di
Indonesia, kita mengenal lagu ini sebagai lagu cinta berlirik bahasa Sunda, Panon Hideung (artinya Mata Hitam). Komposisi nadanya bisa
dibilang sama dengan Ochi chornye,
hanya berbeda lirik dan bergeser maknanya walau tetap berkisah tentang jatuh
cinta yang sendu terhadap seorang gadis bermata hitam. Siapakah penggubahnya?
Panon Hideung dianggit oleh maestro musik
nasional yang pada 11 Mei ini kita peringati 100 tahun kelahirannya: Ismail
Marzuki (1914-1958). Konon, lagu ini diadaptasi Ismail yang asli Betawi dari
versi Rusia pada 1936 sebagai persembahan bagi seorang "euis
Bandung" yang memikat hatinya. Gadis yang beruntung itu adalah Eulis
Zuraidah, penyanyi keroncong dan dirigen orkestra asal Kota Kembang yang
kemudian dinikahi Ismail pada 1940.
Hingga
kini lagu Panon Hideung amat
populer di Bandung dan sekitarnya, serta kerap dinyanyikan dalam beragam
kesempatan. Bahkan, bagi sebagian orang yang tak tahu sejarahnya, lagu itu
dianggap lagu asli Sunda yang menasional. Panon Hideung tak jarang dibawakan
dalam pentas internasional dengan iringan musik tradisonal semacam angklung
sebagai "lagu daerah" Jawa Barat.
Di
Rusia, Ochi chornye amat populer.
Banyak orang hafal di luar kepala nada dan liriknya. Dalam film dokumenter Gerimis Kenangan karya sutradara Seno
Joko Suyono yang meraih Piala Citra pada FFI 2006, ada adegan ketika kru film
mewawancarai secara acak sejumlah warga Moskow yang tengah berada di jalanan
dan meminta mereka menyanyikan lagu ini. Ternyata sebagian besar bisa
menyanyikannya. Dan seperti banyak orang di sini, mereka pun tak tahu riwayat
intertekstualitas budaya antara Ochi
chornye dan Panon Hideung yang
menghubungkan sejarah kedekatan rakyat Rusia dengan Indonesia pada masa lalu.
Alih-alih
tampak sebagai seorang musikus penjiplak, Panon
Hideung justru membuat Ismail tampil sebagai duta budaya yang efektif.
Ismail yang pada 2004 dinobatkan sebagai pahlawan nasional membuktikan bahwa
musik adalah bahasa universal yang mampu melintasi sekat-sekat negara,
bangsa, bahasa, bahkan ruang dan waktu. Lagi pula, ia tak pernah mendaku
bahwa lagu ini karya orisinalnya.
Ismail
Marzuki adalah salah satu komponis terbesar kita dengan karya-karya yang
terus dikenang dan dimaknai kembali hingga kini oleh generasi setelahnya,
seperti Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Bola, dan Sabda Alam. Sejarah dan
waktulah yang mencatat dan mengabadikan pencapaiannya yang gemilang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar