Kepemimpinan
Am(m)arah
Hasibullah
Satrawi ; Alumnus Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir; Tinggal di Jakarta
|
JAWA
POS, 14 Mei 2014
Dalam
beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan dengan cuplikan video seorang
pemimpin memarahi anak buah atau koleganya. Episode teranyar dari ”serial”
pemimpin yang sedang marah-marah ini menampilkan Wali Kota Surabaya Ibu Tri
Rismaharini (biasa dipanggil Ibu Risma), yang terlihat sangat marah karena
Taman Bungkul rusak akibat acara bagi-bagi es krim gratis.
Menarik
diperhatikan, adegan marah-marah seorang pemimpin justru diperlihatkan oleh
sosok-sosok yang selama ini cenderung naik daun sebagai pemimpin, seperti
pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Basuki
Tjahaja Purnama (atau biasa disebut dengan nama panggilan Jokowi-Ahok),
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan termasuk Ibu Risma. Hingga cenderung
menimbulkan kesan bahwa pemimpin yang baik pada masa sekarang justru mereka
yang berani atau sering marah.
Kondisi Berat
Sejauh
ini publik cenderung menerima secara baik amarah dari pemimpin-pemimpin naik
daun seperti di atas. Kalaupun ada pihak yang merespons kepemimpinan amarah
ini secara negatif, hampir bisa dipastikan jumlah mereka masih kalah jauh
dengan mereka yang meresponsnya secara positif.
Sangat
mungkin, penerimaan publik terhadap kepemimpinan amarah ini disebabkan
kepercayaan masyarakat yang masih tinggi terhadap sosok-sosok seperti di
atas. Dengan kata lain, publik masih percaya bahwa para pemimpin seperti
Jokowi, Ahok, Ganjar, dan Ibu Risma bersungguh-sungguh dalam bekerja untuk
mewujudkan amanah rakyat. Dan bila mereka marah, hal itu berarti sesuai
dengan situasi dan kondisi yang ada.
Apalagi
kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan ini sangat berat, baik
dalam konteks nasional, di kota-kota besar, maupun bahkan di pelosok-pelosok
desa. Sebagai contoh, secara makro, perkembangan ekonomi Indonesia kerap
dipuja-puji, setidaknya oleh pemerintah. Sedangkan secara mikroekonomi,
banyak masyarakat yang tetap kesusahan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Di sisi
lain, kebebasan acap tidak terkontrol lagi. Pada masa seperti sekarang,
informasi apa pun dengan mudah menyebar kepada masyarakat luas, menembus
bebukitan dan pegunungan yang dalam kurun waktu sekian lama mengisolasi warga
dari kemajuan dan keterbukaan. Tapi, di sisi lain, kebebasan yang luar biasa
ini justru tak jarang memberikan tugas baru dan menambah beban sebagian
masyarakat. Sebab, semuanya tidak gratis yang berarti harus menambah biaya
pengeluaran. Bahkan, sebagian harus mengeluarkan biaya supermahal; kehilangan
anggota keluarga karena dibawa kabur temannya di jejaring sosial media, dan
masih banyak contoh lainnya.
Sementara
itu, suksesi kepemimpinan acap hanya berarti bagi para pemodal, para
pengusaha, atau pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasaan. Sedangkan
bagi masyarakat, pergantian kepemimpinan acap tak bermakna apa pun. Sebab,
kondisinya dirasa hampir sama saja antara satu periode kepemimpinan dan
kepemimpinan yang lain. Maka, tidak heran bila masyarakat tetap menerima uang
dari para ”pemain kekuasaan” ini meski sudah dilarang banyak pihak (bahkan
termasuk oleh tokoh agama setempat) atau bahkan meski hanya 5 ribu rupiah. Karena
bagi mereka, itu momen langka yang bisa terjadi hanya lima tahun sekali!
Dalam
kondisi seperti ini, beban paling berat justru harus dihadapi oleh para
pemimpin yang membawa visi perubahan dan hendak benar-benar mengabdi kepada
masyarakat. Di satu sisi, mereka harus terdesak oleh segala macam kondisi
masyarakat sebagaimana (sebagian) telah dijelaskan di atas. Sementara itu, di
sisi lain, mereka harus berhadapan dengan mental-mental birokrat yang
sebagian masih bermasalah hingga hari ini, seperti kebiasaan lambat, tumpang
tindih, semangat hidup di pertengahan hingga akhir tahun (masa pencairan
anggaran), dan yang lainnya.
Dalam
kondisi seperti ini, sangatlah bisa dipahami bila seorang pemimpin yang
membawa semangat perubahan marah besar akibat keadaan yang dianggap tidak
semestinya. Amarah yang ada bisa menjadi pendobrak kebekuan yang ada.
Jangan Ammarah
Meski
demikian, hendaklah amarah jangan sampai berubah menjadi ammarah. Dalam
bahasa Arab, ammarah bermakna banyak menyuruh secara negatif (kejahatan).
Hawa nafsu, contohnya, berwatak ammarah bis su’ (banyak menyuruh atas
keburukan).
Dalam
konteks kepemimpinan, marah satu kali atau beberapa kali tentu sangat
dianggap wajar, apalagi orang yang marah adalah pemimpin yang dianggap baik
dan amanah. Tapi, bila terus marah-marah, apalagi berkali-kali, tentu akan
dimaknai secara negatif, apalagi pamor kepemimpinan dari pemimpin yang ada
dalam tren menurun (umpama). Dan sangat mungkin marah-marah yang ada lebih
disebabkan hawa nafsu dengan watak dasar ammarah-nya daripada kehendak
memperbaiki keadaan.
Secara
kejiwaan, karakter dasar amarah bersifat negatif walaupun tujuan atau hendak
dipergunakan secara positif. Sebab, amarah cenderung mendorong jiwa keluar
dari ketenangannya.
Itu
sebabnya, secara normatif, manusia dianjurkan untuk menjadi sosok penyabar
dan sebisa mungkin mengontrol emosi, termasuk amarah. Bahkan dalam Islam,
orang yang sedang marah tidak diperbolehkan menjadi hakim atau pemutus
perkara.
Oleh
karena itu, dalam kepemimpinan, yang dibutuhkan bukan amarah (apalagi
ammarah), melainkan ketegasan tanpa menjadi keras dan kelembutan tanpa
menjadi lemah. Dalam sejarah Islam, kepemimpinan sahabat Abu Bakar kerap
digambarkan sebagai kepemimpinan yang lembut, tapi tidak lemah. Sedangkan
kepemimpinan sahabat Umar bin Khattab kerap digambarkan sebagai kepemimpinan
yang tegas, tapi tidak keras.
Seorang
pemimpin sejatinya mampu menggunakan karakter-karakter di atas secara
proporsional, khususnya dalam menghadapi masyarakat di semua keadaannya. Hingga
muncul kesadaran terkait pentingnya menjaga ruang bersama dan sama-sama
menghormati ruang pribadi di kalangan masyarakat dengan segala hak dan
kewajibannya.
Pada
akhirnya, karakter seperti ketegasan, kelembutan, atau bahkan peraturan, tak
lebih dari sekadar instrumen. Sedangkan tujuannya adalah menumbuhkan
kesadaran positif dalam kehidupan masyarakat sebagaimana dijelaskan di atas.
Oleh
karena itu, menjadi pemimpin sejatinya tidak sekadar memerintah, menyuruh,
apalagi marah-marah. Bila demikian, tidak ada bedanya antara pemimpin dan
masyarakat biasa yang dipimpin. Mengingat semua orang sesungguhnya bisa
melakukan hal-hal seperti ini.
Demikian
pula, menjadi pemimpin seharusnya tidak hanya memaksa masyarakat agar
mematuhi sebuah peraturan, apalagi dibarengi dengan penegakan denda atau
melalui tindakan aparat sekalipun. Sebab bila demikian, tidak ada bedanya
antara masa kerajaan dan era demokrasi seperti sekarang.
Ada
sebuah kisah menarik sebagai penutup tulisan ini sekaligus gambaran dari
tujuan tertinggi sebuah kepemimpinan. Pada suatu ketika, ada seorang
perempuan hamil karena perzinaan yang datang kepada Nabi Muhammad SAW dan
meminta untuk dijatuhi hukuman karena telah melanggar peraturan. Nabi
menyuruhnya datang di lain waktu setelah sang janin lahir. Hingga akhirnya
Nabi menegakkan hukum yang berlaku (rajam) bagi perempuan itu.
Bagaimana
agar bangsa ini bisa mempunyai kesadaran sebagaimana dalam kisah di atas?
Silakan para pemimpin semua yang terhormat memikirkan cara dan
mengimplementasikan program kerjanya. Itulah seni kepemimpinan. Pastinya
tidak dengan marah-marah, apalagi menyalahkan rakyat. Bukankah semata-mata
demi tujuan ini semua, dahulu kalian minta dipilih kepada kami sebagai
rakyat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar