Tersandera
Semangat Impor Gula
Adig
Suwandi ; Praktisi
Agrobisnis; Senior Advisor Asosiasi Gula Indonesia
|
KOMPAS,
14 Mei 2014
Salah satu dilema bagi
pemerintahan di era keterbukaan politik adalah munculnya perdebatan terhadap
kebijakan apa pun yang digulirkan. Atas nama keabsahan dan akuntabilitas
publik demi terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, semua pihak memang
berhak mempertanyakan kebijakan secara terbuka. Bahwa perdebatan tersebut
bermutu tinggi atau tidak, itu persoalan lain.
Inilah yang terjadi ketika
pemerintah menerbitkan izin impor 328.000 ton gula kristal putih (plantation white sugar) untuk Perum
Bulog. Petani tebu menilai, kebijakan tersebut bukan saja tidak tepat,
melainkan juga cermin rendahnya keberpihakan pemerintah terhadap mereka dan
pabrik gula.
Dengan stok masih sekitar
787.000 ton dan tingkat serapan hanya 100.000 ton per bulan dibanding kondisi
normal 220.000-250.000 ton, praktis sisa gula diprediksi habis pada September
2014.
Kalau impor dipaksakan, petani
khawatir gula hasil giling 2014 tidak laku jual. Murahnya harga gula di pasar
global memang menggoda iman pemerintah dan importir.
Menteri Perdagangan Muhammad
Lutfi mengatakan bahwa gula impor dimaksudkan untuk iron stock dan disimpan
di gudang selama kondisi normal. Awam tentu saja bertanya, perusahaan mana
mau merugi dengan menyimpan gula berikut jadwal pelepasan yang tidak jelas.
Korporasi Bulog
Banyak orang lupa bahwa Bulog
telah bertransformasi menjadi korporasi. Kalkulasi bisnis akan selalu menjadi
konsideransi, tidak lagi sekadar dikomando dari atas. Negara hanya bisa
mengendalikan harga apabila menguasai stok yang siap dilepas ke pasar.
Sebaliknya, petani tidaklah anti
impor. Impor boleh saja dilakukan, tetapi besarnya hanya sebatas produksi
dikurangi kebutuhan normal.
Terjadilah kontroversi impor
gula. Biasanya, dalam banyak kasus seperti ini, petani yang lemah dalam lobi
dan posisi tawar berada di pihak yang kalah.
Kebijakan publik soal gula
memang sudah lama dipersoalkan. Selain cenderung parsial dan tidak
terintegrasi, juga kurang memberikan ruang gerak bagi petani untuk
meningkatkan daya saing secara berkelanjutan.
Secara internal, sejumlah pabrik
tua dengan tingkat efisiensi rendah juga kedodoran menghadapi gempuran gula
dari jenis lain yang salah peruntukan.
Sebut saja gula rafinasi dari
yang seharusnya untuk bahan baku industri, tetapi dibiarkan diperdagangkan di
pasar eceran sehingga menjadi kompetitor tidak sehat terhadap gula lokal.
Sensitivitas produksi terhadap
perubahan iklim juga belum dapat direduksi dengan ekoteknologi budidaya yang
kompatibel sehingga fluktuasi produktivitas selalu terjadi. Adapun bagi
petani, eskalasi biaya produksi menjadi pemantik makin mahalnya budidaya
tebu.
Anehnya, sebagian sumber
eskalasi biaya tadi juga berasal dari kebijakan pemerintah, khususnya
pengurangan subsidi bahan bakar minyak dan penyesuaian upah tenaga kerja.
Pada sisi eksternal, makin
murahnya harga gula dunia merupakan resultante efisiensi di tingkat produsen
dan malapraktik liberalisasi perdagangan melalui subsidi baik kepada petani
langsung maupun ekspor.
Tidak paralelnya lapangan
bermain (unequal playing field)
tersebut memicu rontoknya semangat berproduksi para petani.
Di tengah suasana karut-marut
itu pemerintah justru melakukan politik pembiaran seolah-olah tidak mau tahu
persoalan riil dan kondisi obyektif yang dihadapi petani.
Makin tidak jelas apakah petani
sengaja dibiarkan drop out dari tebu agar beralih ke komoditas lain, atau
apa? Padahal, bagi petani, beralih ke komoditas lain seringkali diikuti
kegagalan mengadopsi karena mereka tidak terbiasa.
Tergantung negara
Sangat tergantung negara, apakah
industri gula yang dalam hitungan hari segera menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN
dibiarkan mati suri dengan memperbesar volume impor, baik langsung untuk
konsumsi maupun gula kristal mentah (raw sugar) untuk bahan baku industri,
gula rafinasi yang dibiarkan membanjiri pasar eceran, ataukah secara bertahap
membangun keunggulan kompetitif baru untuk meraih predikat kedaulatan pangan.
Sejauh ini, problematika seputar
gula memang perlu masuk dalam konstruksi kedaulatan pangan dalam konteks
penguatan peran petani secara lebih obyektif.
Langkah konkret ke arah tadi
akan terus tersandera semangat impor selama negara tidak memiliki visi yang
jelas tentang kemandirian.
Pemerintahan sebagai konsekuensi
hasil-hasil pemilihan umum boleh saja berganti, tetapi mandat kepada setiap
rezim baru dalam mewujudkan kedaulatan pangan tetaplah melekat. Apalagi
seharusnya tidak ada satu pun partai politik dan pemimpin pun yang ingin
menyengsarakan dan membiarkan petani tetap miskin.
Maka, Indonesia yang bermartabat
dan anti kemiskinan harus bertekad mengurangi impor meskipun harga gula impor
sekarang lebih murah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar