Kamis, 15 Mei 2014

Tersandera Semangat Impor Gula

Tersandera Semangat Impor Gula

Adig Suwandi  ;   Praktisi Agrobisnis; Senior Advisor Asosiasi Gula Indonesia
KOMPAS,  14 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Salah satu dilema bagi pemerintahan di era keterbukaan politik adalah munculnya perdebatan terhadap kebijakan apa pun yang digulirkan. Atas nama keabsahan dan akuntabilitas publik demi terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, semua pihak memang berhak mempertanyakan kebijakan secara terbuka. Bahwa perdebatan tersebut bermutu tinggi atau tidak, itu persoalan lain.

Inilah yang terjadi ketika pemerintah menerbitkan izin impor 328.000 ton gula kristal putih (plantation white sugar) untuk Perum Bulog. Petani tebu menilai, kebijakan tersebut bukan saja tidak tepat, melainkan juga cermin rendahnya keberpihakan pemerintah terhadap mereka dan pabrik gula.

Dengan stok masih sekitar 787.000 ton dan tingkat serapan hanya 100.000 ton per bulan dibanding kondisi normal 220.000-250.000 ton, praktis sisa gula diprediksi habis pada September 2014.

Kalau impor dipaksakan, petani khawatir gula hasil giling 2014 tidak laku jual. Murahnya harga gula di pasar global memang menggoda iman pemerintah dan importir.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan bahwa gula impor dimaksudkan untuk iron stock dan disimpan di gudang selama kondisi normal. Awam tentu saja bertanya, perusahaan mana mau merugi dengan menyimpan gula berikut jadwal pelepasan yang tidak jelas.

Korporasi Bulog

Banyak orang lupa bahwa Bulog telah bertransformasi menjadi korporasi. Kalkulasi bisnis akan selalu menjadi konsideransi, tidak lagi sekadar dikomando dari atas. Negara hanya bisa mengendalikan harga apabila menguasai stok yang siap dilepas ke pasar.

Sebaliknya, petani tidaklah anti impor. Impor boleh saja dilakukan, tetapi besarnya hanya sebatas produksi dikurangi kebutuhan normal.

Terjadilah kontroversi impor gula. Biasanya, dalam banyak kasus seperti ini, petani yang lemah dalam lobi dan posisi tawar berada di pihak yang kalah.

Kebijakan publik soal gula memang sudah lama dipersoalkan. Selain cenderung parsial dan tidak terintegrasi, juga kurang memberikan ruang gerak bagi petani untuk meningkatkan daya saing secara berkelanjutan.

Secara internal, sejumlah pabrik tua dengan tingkat efisiensi rendah juga kedodoran menghadapi gempuran gula dari jenis lain yang salah peruntukan.
Sebut saja gula rafinasi dari yang seharusnya untuk bahan baku industri, tetapi dibiarkan diperdagangkan di pasar eceran sehingga menjadi kompetitor tidak sehat terhadap gula lokal.

Sensitivitas produksi terhadap perubahan iklim juga belum dapat direduksi dengan ekoteknologi budidaya yang kompatibel sehingga fluktuasi produktivitas selalu terjadi. Adapun bagi petani, eskalasi biaya produksi menjadi pemantik makin mahalnya budidaya tebu.

Anehnya, sebagian sumber eskalasi biaya tadi juga berasal dari kebijakan pemerintah, khususnya pengurangan subsidi bahan bakar minyak dan penyesuaian upah tenaga kerja.

Pada sisi eksternal, makin murahnya harga gula dunia merupakan resultante efisiensi di tingkat produsen dan malapraktik liberalisasi perdagangan melalui subsidi baik kepada petani langsung maupun ekspor.

Tidak paralelnya lapangan bermain (unequal playing field) tersebut memicu rontoknya semangat berproduksi para petani.

Di tengah suasana karut-marut itu pemerintah justru melakukan politik pembiaran seolah-olah tidak mau tahu persoalan riil dan kondisi obyektif yang dihadapi petani.
Makin tidak jelas apakah petani sengaja dibiarkan drop out dari tebu agar beralih ke komoditas lain, atau apa? Padahal, bagi petani, beralih ke komoditas lain seringkali diikuti kegagalan mengadopsi karena mereka tidak terbiasa.

Tergantung negara

Sangat tergantung negara, apakah industri gula yang dalam hitungan hari segera menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN dibiarkan mati suri dengan memperbesar volume impor, baik langsung untuk konsumsi maupun gula kristal mentah (raw sugar) untuk bahan baku industri, gula rafinasi yang dibiarkan membanjiri pasar eceran, ataukah secara bertahap membangun keunggulan kompetitif baru untuk meraih predikat kedaulatan pangan.

Sejauh ini, problematika seputar gula memang perlu masuk dalam konstruksi kedaulatan pangan dalam konteks penguatan peran petani secara lebih obyektif.
Langkah konkret ke arah tadi akan terus tersandera semangat impor selama negara tidak memiliki visi yang jelas tentang kemandirian.

Pemerintahan sebagai konsekuensi hasil-hasil pemilihan umum boleh saja berganti, tetapi mandat kepada setiap rezim baru dalam mewujudkan kedaulatan pangan tetaplah melekat. Apalagi seharusnya tidak ada satu pun partai politik dan pemimpin pun yang ingin menyengsarakan dan membiarkan petani tetap miskin.
Maka, Indonesia yang bermartabat dan anti kemiskinan harus bertekad mengurangi impor meskipun harga gula impor sekarang lebih murah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar