Kasus
BM dan Century
Romli
Atmasasmita ; Profesor
Emeritus Universitas Padjajaran
|
KORAN
SINDO, 14 Mei 2014
Betapa
heboh kalangan pers ketika Sri Mulyani Indrawati, Boediono, dan Jusuf Kalla
akan dihadapkan sebagai saksi fakta oleh KPK dalam sidang perkara Budi Mulya
(BM) eks deputi gubernur BI, seolah-olah akan diperoleh keterangan yang
terbuka, jujur, dan terbaru dan tuntas masalah Century di hadapan hukum.
Kenyataan
sebaliknya, karena keterangan ketiganya sama saja dengan keterangannya di
hadapan Timwas Century. Jaksa KPK tidak berhasil mengungkap lebih dalam kaitan
gratifikasi Rp1 M yang diterima Budi Mulya selaku deputi gubernur Bank
Indonesia dengan kebijakan bailout
yang dikeluarkan oleh BI bersama KKSK yang dilaksanakan oleh LPS sehingga
terjadi empat kali penyertaan modal sementara (PMS) senilai Rp 6,75 triliun.
Jaksa KPK sebaliknya terjebak oleh jawaban SM
dan B yang memang ahlinya dalam bidang
politik-ekonomi sehingga berputar-putar tidak jelas arah pertanyaan jaksa.
Alih-alih jaksa KPK dapat menemukan niat jahat (mens-rea) dalam kasus Century atas Sri Mulyani Indrawati dan
Boediono, malah jaksa KPK memperoleh ”kuliah
singkat” tentang perkembangan politik ekonomi nasional.
Sampai
pada keterangan ketiga saksi, fakta saya tidak melihat signifikan keterangan mereka
untuk membuka terang dan jelas kasus Century. Bahkan tidak jelas juga apa
relevansinya keterangan ketiga saksi fakta dengan penerimaan Rp1 miliar oleh
seorang Budi Mulya, yang notabene hanya deputi gubernur Bank Indonesia dan
bukan pengambil kebijakan dalam PMS dan bail-out Century.
Secara
objektif dan jernih, penerimaan Budi Mulya Rp1 miliar dari Tantular hanya
merupakan tindak pidana gratifikasi (Pasal 12 B UU Tipikor) dan tidak atau
sulit dikatakan merupakan tindak pidana suap (Pasal 11 UU tipikor) karena
Budi Mulya bukan pemegang dan penentu terakhir kebijakan bailout Century.
Dalam konteks situasi ini dapat dikatakan pemeriksaan perkara Budi Mulya oleh
pengadilan tipikor saat ini merupakan kasus gratifikasi semata-mata bukan
perkara Century, karena perkara tersebut merupakan efek samping negatif dari
posisi Budi Mulya selaku deputi gubernur BI yang kebetulan menerima uang
tersebut dari seorang Tantular, tersangka dan terpidana kasus Century.
Selain dari masalah keganjilan
penanganan kasus Budi Mulya oleh KPK, saya melihat juga bahwa kehadiran
ketiga saksi fakta tersebut tidak lebih merupakan pemuas dahaga dan syahwat
anggota parlemen kita di Senayan dan masyarakat luas. Dengan kehadiran ketiga
saksi fakta, ada harapan bisa menuntaskan kasus Century. Di sisi lain, bagi
KPK seolah tampak keberhasilannya (kemenangannya) dengan dapat menghadirkan
ketiga saksi fakta, tokoh nasional/internasional ke hadapan sidang pengadilan
tipikor.
Namun,
terlepas dari substansi pokok pertanyaan jaksa penuntut KPK yang kurang
mendalami sisi analisis ekonomi terhadap hukum pidana secara umum dan kurang
berhasilnya jaksa penuntut KPK untuk mengungkap lebih dalam peranan Sri
Mulyani Indrawati dan Boediono terkait unsur perbuatan melawan hukum dan
kerugian Negara (eks Pasal 3 UU Tipikor). Ketidakhadiran tersangka lain F
karena keadaan kesehatan menyebabkan kasus ini berjalan tertatih-tatih karena
KPK tidak memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menempatkan Sri Mulyani
Indrawati dan Boediono selaku tersangka kasus bailout Century.
Unsur
utama kasus Century yang harus dibuktikan jaksa KPK yaitu pertama, bahwa baik
FPJP Rp672 miliar dan bailout Rp6,7 triliun diberikan kepada Bank Century
secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kewenangan karena kedudukan
atau jabatannya, dan negara telah dirugikan karenanya serta ada orang lain
atau korporasi yang memperoleh keuntungan dari FPJP dan bailout tersebut. Kedua, harus terbukti unsur perbuatan melawan
hukum dalam proses pengambilan kebijakan FPJP dan bailout.
Ketiga,
harus dapat dibuktikan bahwa keadaan Bank Century bukan merupakan bank gagal
yang berdampak sistemik hanya sampai pada bank gagal. Kondisi terakhir ini
juga masih harus dibuktikan bahwa Bank Century sesungguhnya tidak tepat dari
sudut UU Perbankan ditempatkan sebagai bank gagal jika mau dirujuk putusan PN
Jakarta Pusat dalam perkara Tantular dan tuntutan in absentia Kejaksaan Agung
dalam kasus Hesham dan Refat. KPK harus dapat membuktikan bahwa rapat-rapat Dewan
Gubernur Bank Indonesia dan Menkeu dan rapat-rapat KKSK di kantor Menkeu
adalah bagian dari suatu ”konspirasi” untuk memuluskan pemberian FPJP dan
bailout terhadap Bank Century. Tugas ini
sangat sulit disebabkan tidak mudah membedakan rapat-rapat tersebut
digolongkan sebagai persiapan dan perencanaan untuk melakukan kejahatan.
Dalam
konteks pesimisme dan sikap skeptis saya ini, ada optimisme jika KPK mengawali
membuka kasus Century dengan merujuk kasus mantan gubernur Syahril Sabirin
dan Burhanudin Abdullah. Kasus tersebut menitikberatkan tanggung jawab
kolektif Dewan Gubernur pada setiap pengambilan keputusan dan telah menjadi
yurisprudensi tetap MA RI, bahwa semua anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara kolektif dalam pengambilan
keputusan yang berdampak terhadap penggunaan dana/ keuangan negara.
Berbeda
dengan langkah Kejaksaan Agung dan Antasari dalam dua kasus mantan gubernur
BI, pimpinan KPK jilid III sangat berhati-hati untuk menerapkan tanggung
jawab pidana kolektif sesuai dengan UU Bank Indonesia yang berlaku. Bahkan,
KPK mengawali dari seorang Deputi Gubernur Bank Indonesia (bukan dua atau
tiga orang), bukan penentu/pemutus kebijakan BI, yang terbukti telah menerima
Rp1 miliar dari Tantular. Sehingga proses projustisia mulai bawah ke atas
tentu merupakan tanjakan yang tajam sehingga jika tidak hati-hati juga
tuntutan KPK akan meluncur ke bawah lagi dan tidak sampai puncak yang dituju.
Pernyataan
saya ini dapat dibenarkan kecuali KPK saat ini telah memiliki lebih dari dua
alat bukti untuk dapat menetapkan tanggung jawab pidana kolektif terhadap
Dewan Gubernur Bank Indonesia. KPK tidak perlu repot-repot menyoal akibat
dampak sistemik (ekonomi) dan memasukkannya ke dalam lingkup pengertian
”kerugian negara” karena keduanya tidak berhubungan satu sama lain. Yang
penting ada Rp7 triliun rupiah uang negara telah dikucurkan kepada Bank
Century, dan LPS tidak dapat mengembalikan uang negara tersebut pada jatuh
tempo yang berlaku sesuai dengan UU LPS, sehingga secara riel dapat dihitung
kerugian keuangan negara sebagai akibat kebijakan bailout tersebut serta KPK
dapat menemukan bukti mengenai siapa bertanggung tanggung jawab terhadap
proses PMS di LPS dan siapa bertanggung jawab dalam proses FPJP di BI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar