Kamis, 15 Mei 2014

Kasus BM dan Century

Kasus BM dan Century

Romli Atmasasmita  ;   Profesor Emeritus Universitas Padjajaran
KORAN SINDO,  14 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Betapa heboh kalangan pers ketika Sri Mulyani Indrawati, Boediono, dan Jusuf Kalla akan dihadapkan sebagai saksi fakta oleh KPK dalam sidang perkara Budi Mulya (BM) eks deputi gubernur BI, seolah-olah akan diperoleh keterangan yang terbuka, jujur, dan terbaru dan tuntas masalah Century di hadapan hukum.

Kenyataan sebaliknya, karena keterangan ketiganya sama saja dengan keterangannya di hadapan Timwas Century. Jaksa KPK tidak berhasil mengungkap lebih dalam kaitan gratifikasi Rp1 M yang diterima Budi Mulya selaku deputi gubernur Bank Indonesia dengan kebijakan bailout yang dikeluarkan oleh BI bersama KKSK yang dilaksanakan oleh LPS sehingga terjadi empat kali penyertaan modal sementara (PMS) senilai Rp 6,75 triliun. Jaksa KPK sebaliknya terjebak oleh jawaban SM dan B yang memang ahlinya dalam bidang politik-ekonomi sehingga berputar-putar tidak jelas arah pertanyaan jaksa. Alih-alih jaksa KPK dapat menemukan niat jahat (mens-rea) dalam kasus Century atas Sri Mulyani Indrawati dan Boediono, malah jaksa KPK memperoleh ”kuliah singkat” tentang perkembangan politik ekonomi nasional.

Sampai pada keterangan ketiga saksi, fakta saya tidak melihat signifikan keterangan mereka untuk membuka terang dan jelas kasus Century. Bahkan tidak jelas juga apa relevansinya keterangan ketiga saksi fakta dengan penerimaan Rp1 miliar oleh seorang Budi Mulya, yang notabene hanya deputi gubernur Bank Indonesia dan bukan pengambil kebijakan dalam PMS dan bail-out Century.

Secara objektif dan jernih, penerimaan Budi Mulya Rp1 miliar dari Tantular hanya merupakan tindak pidana gratifikasi (Pasal 12 B UU Tipikor) dan tidak atau sulit dikatakan merupakan tindak pidana suap (Pasal 11 UU tipikor) karena Budi Mulya bukan pemegang dan penentu terakhir kebijakan bailout Century. Dalam konteks situasi ini dapat dikatakan pemeriksaan perkara Budi Mulya oleh pengadilan tipikor saat ini merupakan kasus gratifikasi semata-mata bukan perkara Century, karena perkara tersebut merupakan efek samping negatif dari posisi Budi Mulya selaku deputi gubernur BI yang kebetulan menerima uang tersebut dari seorang Tantular, tersangka dan terpidana kasus Century.

Selain dari masalah keganjilan penanganan kasus Budi Mulya oleh KPK, saya melihat juga bahwa kehadiran ketiga saksi fakta tersebut tidak lebih merupakan pemuas dahaga dan syahwat anggota parlemen kita di Senayan dan masyarakat luas. Dengan kehadiran ketiga saksi fakta, ada harapan bisa menuntaskan kasus Century. Di sisi lain, bagi KPK seolah tampak keberhasilannya (kemenangannya) dengan dapat menghadirkan ketiga saksi fakta, tokoh nasional/internasional ke hadapan sidang pengadilan tipikor.

Namun, terlepas dari substansi pokok pertanyaan jaksa penuntut KPK yang kurang mendalami sisi analisis ekonomi terhadap hukum pidana secara umum dan kurang berhasilnya jaksa penuntut KPK untuk mengungkap lebih dalam peranan Sri Mulyani Indrawati dan Boediono terkait unsur perbuatan melawan hukum dan kerugian Negara (eks Pasal 3 UU Tipikor). Ketidakhadiran tersangka lain F karena keadaan kesehatan menyebabkan kasus ini berjalan tertatih-tatih karena KPK tidak memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menempatkan Sri Mulyani Indrawati dan Boediono selaku tersangka kasus bailout Century.

Unsur utama kasus Century yang harus dibuktikan jaksa KPK yaitu pertama, bahwa baik FPJP Rp672 miliar dan bailout Rp6,7 triliun diberikan kepada Bank Century secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kewenangan karena kedudukan atau jabatannya, dan negara telah dirugikan karenanya serta ada orang lain atau korporasi yang memperoleh keuntungan dari FPJP dan bailout tersebut. Kedua, harus terbukti unsur perbuatan melawan hukum dalam proses pengambilan kebijakan FPJP dan bailout.

Ketiga, harus dapat dibuktikan bahwa keadaan Bank Century bukan merupakan bank gagal yang berdampak sistemik hanya sampai pada bank gagal. Kondisi terakhir ini juga masih harus dibuktikan bahwa Bank Century sesungguhnya tidak tepat dari sudut UU Perbankan ditempatkan sebagai bank gagal jika mau dirujuk putusan PN Jakarta Pusat dalam perkara Tantular dan tuntutan in absentia Kejaksaan Agung dalam kasus Hesham dan Refat. KPK harus dapat membuktikan bahwa rapat-rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Menkeu dan rapat-rapat KKSK di kantor Menkeu adalah bagian dari suatu ”konspirasi” untuk memuluskan pemberian FPJP dan bailout terhadap Bank CenturyTugas ini sangat sulit disebabkan tidak mudah membedakan rapat-rapat tersebut digolongkan sebagai persiapan dan perencanaan untuk melakukan kejahatan.

Dalam konteks pesimisme dan sikap skeptis saya ini, ada optimisme jika KPK mengawali membuka kasus Century dengan merujuk kasus mantan gubernur Syahril Sabirin dan Burhanudin Abdullah. Kasus tersebut menitikberatkan tanggung jawab kolektif Dewan Gubernur pada setiap pengambilan keputusan dan telah menjadi yurisprudensi tetap MA RI, bahwa semua anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara kolektif dalam pengambilan keputusan yang berdampak terhadap penggunaan dana/ keuangan negara.

Berbeda dengan langkah Kejaksaan Agung dan Antasari dalam dua kasus mantan gubernur BI, pimpinan KPK jilid III sangat berhati-hati untuk menerapkan tanggung jawab pidana kolektif sesuai dengan UU Bank Indonesia yang berlaku. Bahkan, KPK mengawali dari seorang Deputi Gubernur Bank Indonesia (bukan dua atau tiga orang), bukan penentu/pemutus kebijakan BI, yang terbukti telah menerima Rp1 miliar dari Tantular. Sehingga proses projustisia mulai bawah ke atas tentu merupakan tanjakan yang tajam sehingga jika tidak hati-hati juga tuntutan KPK akan meluncur ke bawah lagi dan tidak sampai puncak yang dituju.

Pernyataan saya ini dapat dibenarkan kecuali KPK saat ini telah memiliki lebih dari dua alat bukti untuk dapat menetapkan tanggung jawab pidana kolektif terhadap Dewan Gubernur Bank Indonesia. KPK tidak perlu repot-repot menyoal akibat dampak sistemik (ekonomi) dan memasukkannya ke dalam lingkup pengertian ”kerugian negara” karena keduanya tidak berhubungan satu sama lain. Yang penting ada Rp7 triliun rupiah uang negara telah dikucurkan kepada Bank Century, dan LPS tidak dapat mengembalikan uang negara tersebut pada jatuh tempo yang berlaku sesuai dengan UU LPS, sehingga secara riel dapat dihitung kerugian keuangan negara sebagai akibat kebijakan bailout tersebut serta KPK dapat menemukan bukti mengenai siapa bertanggung tanggung jawab terhadap proses PMS di LPS dan siapa bertanggung jawab dalam proses FPJP di BI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar