Kamis, 15 Mei 2014

Bila Kekuasaan di Tangan Buddha

Bila Kekuasaan di Tangan Buddha

Eko Nugroho Rahardjo  ;   Sekretaris Institut Nagarjuna
(Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Buddhis Indonesia)
KORAN JAKARTA,  15 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Tahun 2014 ini berarti ajaran Buddha sudah hadir selama 2558 tahun. Waisak dimaknai peringatan tiga peristiwa: kelahiran, pencapaian puncak kesadaran manusia Buddha, dan akhir hidup sempurna (maha parinibbana).

Kelahiran Bodhisatwa (calon Buddha) adalah sesuatu yang istimewa dan patut dirayakan. Dalam Tripitaka disebutkan, di Taman Lumbini ketika keluar dari rahim ibunya, bayi Bodhisatwa langsung dapat berjalan sejauh tujuh langkah diiringi hujan dan bunga surgawi yang membasuhnya hingga bersih.

Peristiwa itu lalu menjadi inspirasi para penganut buddhisme untuk membuat sebuah ritual pemandian rupang bayi Bodhisatwa guna mengingatkan siswa Buddha agar senantiasa berupaya membersihkan diri, fisik dan batiniah (mental-spiritual).

Buddha atau "dia yang telah sadar" adalah gelar pencapaian seseorang yang memperoleh pengetahuannya melalui proses perenungan, kontemplatif, dan penyelidikan batin. Dia melihat segala fenomena esoterik dan eksoterik alam semesta melalui semadi yang sudah ditempa dalam banyak kelahiran lampau. Kelak akan mencapai purnama siddhi di bawah pohon bodhi di Bodhgaya. Maka terbukalah wawasan, kesadaran, dan kebijaksanaan. Itulah pencapaian Buddha Gotama.

Dalam proses kontlemplatif tebersit godaan untuk mengambil pilihan menjadi raja dunia (cakkavati), alih-alih melanjutkan misinya menjadi guru dharma bagi para dewa dan manusia. Seperti telah diramalkan, ketika masih bayi, dengan tanda-tanda kemuliaan pada ciri-ciri fisiknya, maka ada kemungkinan untuk Bodhisatwa menjadi raja guna memerintah seluruh dunia dengan kebijaksanaan. Dia akan memerintah tanpa pedang atau ancaman penindasan.

Akan tetapi Buddha menyadari kekuasaan cepat atau lambat akan berakhir. Dia juga menyadari kekuasaan politik yang paling mulia sekalipun, di baliknya, tersimpan potensi laten bahaya kelekatan, kehausan, hasrat berkuasa. Ketika berakhir diikuti dukkha (suatu keadaan yang tidak memuaskan).

Semulia atau sekuat apa pun kekuasaan di muka Bumi jika manusia-manusia yang mengelolanya belum bisa memadamkan nafsu-nafsu rendah keinginannya, hasrat untuk berkuasa hanya akan menghancurkan mereka sendiri dan rakyat.

Menyadari bahaya dan kefanaan kekuasaan, Buddha pun meneguhkan kembali misinya untuk membimbing manusia terbebas dari dukkha melalui jalan spiritualitas dharma. Namun demikian, bukan berarti Buddha sama sekali menarik diri dari keterlibatan dalam dunia kaum penguasa. Dia membagi wawasan pencerahan tentang kekuasaan.

Di waktu tertentu dia menasihati raja-raja yang menjadi siswanya karena walaupun kekuasaan tidak abadi dan masih diliputi nafsu rendah, tetapi apabila diarahkan dengan bijak, niscaya dapat mendukung terciptanya kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan rakyat.

Buddha pun kemudian mengajarkan 10 kewajiban seorang raja kepada para penguasa kerajaan, antara lain dana (bermurah hati) yaitu seorang pemimpin tidak boleh terlalu terikat kekayaannya. Dia harus menolong materi dan nonmateri, bahkan bersedia mengorbankan hartanya demi kesejahteraan rakyat. Pemimpin harus berpikir, berucap, berbuat, dan berperilaku sesuai dengan aturan moralitas agar layak diteladani pengikut.

Kemudian seorang pemimpin harus rela mengorbankan kesenangan atau kepentingan pribadi demi orang banyak. Dia harus jujur, tulus dalam bersikap, dan bercita-cita mulia dalam memimpin. Pemimpin haruslah ramah dan menjaga sopan santun. Dia membiasakan diri hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam kebutuhan hidup. Emosinya harus stabil, tidak mudah marah . Dia harus bersahabat dan menjauhi niat jahat.

Dia tidak menyakiti hati orang lain dan perdamaian. Pemimpin harus tabah dan tahan uji dalam kesulitan. Dia harus sabar walau dihina dan dicela. Terakhir, pemimpin harus mengedepankan musyawarah mufakat dalam mengambil keputusan. Dia tidak keras kepala dan mau mendengarkan aspirasi rakyat.

Bila setiap pemimpin pemerintahan yang berkuasa pasca pemilu presiden 2014 nanti menerapkan 10 kualitas ajaran Buddha itu, niscaya akan dicintai rakyat. Pemerintahan pun akan berjalan tanpa gejolak berarti sehingga kerja-kerja politik kenegaraan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan memajukan bangsa mudah dicapai. Pemerintahannya menjadi berdaulat secara politik dan akan disegani bangsa-bangsa lain. Ketika dia lengser akan dikenang sebagai negarawan yang patut dimuliakan.

Jangan Gegabah

Sementara itu, seperti tersurat dalam Kuttadanta Sutta, Buddha menunjukkan cara mengatasi gejolak sosial terkait masalah ekonomi. Dalam kondisi kekayaan negara berlimpah, namun masih banyak rakyat miskin, sehingga mengakibatkan banyak kriminal seperti pencurian, perampokan, dsb, Buddha menganjurkan seorang pemimpin jangan bertindak gegabah menindak dengan hukum amat keras.

Walaupun hukum harus ditegakkan, perlu dipahami pemicu keresahan masyarakat karena kemiskinan dan kesulitan ekonomi. Untuk itu, kepala pemerintahan harus mengurangi beban pajak rakyat. Dia memberi subsidi dan modal dari kas negara. Para peternak dan petani harus disubsidi bahan pangan, ternak, serta bibit. Pedagang harus diberi modal usaha. Pegawai negeri harus diberi gaji dan tunjangan layak agar bersemangat melayani masyarakat. Dengan langkah itu, rakyat menjadi produktif. Mereka melaksanakan pekerjaan masing-masing. Pendapatan negara akan meningkat. Kriminalitas dapat dikurangi. Negeri menjadi aman dan damai. Rakyat senang dan bahagia.

Warga hidup rukun dengan keluarga dan anak-anaknya. Mereka tinggal di rumah yang aman dan nyaman. Setiap kejayaan dan pencapaian, seberapa pun tinggi atau mulia, pada akhirnya tetap tunduk pada hukum alam "perubahan" (sabbe sankkhara anicca). Tubuh fisik Buddha pun tak lepas dari hukum perubahan. Maka, di bulan Waisakha pula, di bawah pohon sala kembar di Kusinara, Buddha dalam wujud manusia pada akhirnya harus meninggal (maha parinibbana).

Suatu pencapaian akhir, pemadaman, dan pembebasan sempurna. Menjelang akhir hayat dia berpesan "appamadena sampadetha!" (berjuanglah dengan sungguh-sungguh). Ya, apa pun cita-cita manusia haruslah diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, dilandasi kebijaksanaan dan pantang menyerah.

Namun, di saat yang sama, manusia harus ingat, semua hanya sementara. Cepat atau lambat dia akan punah. Maka sungguh tidak bijak bila manusia begitu lekat dan menggenggamnya terlalu erat. Pencapaian cita-cita, kesuksesan, kekuasaan, dan kejayaan harus dikelola dengan bijak. Tujuannya bukan hanya untuk kebahagiaan pribadi, tapi juga harus demi orang lain dan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar