Kamis, 15 Mei 2014

Shadow economy di Ukraina

Shadow economy di Ukraina

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder dan Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  14 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Jarak antara Jakarta ke Kiev, ibu kota Ukraina, terbilang jauh, 9.500 km, dan jumlah orang Indonesia yang menetap di Ukraina tidak sampai 60 orang. Namun suasana sosial politik yang berkembang di Ukraina patut dicermati. Ukraina berada atau mungkin sudah di ambang perang saudara.

Hal itu memprihatinkan karena apabila benar-benar terjadi konflik bersenjata, hal itu menjadi perang saudara baru setelah perang saudara di wilayah Bosnia-Serbia dan tentu saja di sejumlah daerah lain di Timur Tengah. Ukraina memiliki berbagai keunikan. Posisi geografis mereka yang sangat strategis dan ketergantungan sejumlah negara besar kepada Ukraina ternyata justru mempersulit upaya keluar dari risiko perang saudara yang berdarah itu. Sejumlah fakta yang berkembang di Ukraina patut menjadi refleksi bersama tentang kondisi dan tren persaingan politik dan ekonomi antarnegara.

Ukraina juga sebuah negara yang memperoleh jaminan keamanan dari gangguan negara-negara lain berkat kesepakatan antara Rusia, Amerika, dan Eropa sebagai kompensasi atas pelucutan senjata nuklir warisan Uni Soviet yang tersebar di wilayah tersebut. Walaupun dalam konteks sejarah Ukraina pernah bersama dengan Rusia di bawah Uni Soviet, selepas keruntuhan Uni Soviet Ukraina lebih nyaman bergaul dengan NATO dalam soal keamanan militernya.

Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dan membandingkannya dengan negara-negara eks Uni Soviet yang tidak memiliki keistimewaan serupa, seharusnya Ukraina bisa lebih fokus memikirkan pertumbuhan ekonominya. Namun, dalam kenyataan tidak demikian. Ukraina adalah negara yang dikaruniai tanah pertanian subur, lengkap dengan pelabuhan yang strategis dan indah menghadap ke Laut Hitam. Dengan jumlah penduduk 44 juta jiwa dan pendapatan per kapita USD7.300, Ukraina pernah mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang cukup menjanjikan ketika pecah dari Uni Soviet pada 1991.

Saat itu pemerintah menerapkan liberalisasi ekonomi dan melakukan sejumlah privatisasi perusahaan. Tapi keterbukaan ekonomi itu tidak berlangsung lama, hanya beberapa tahun, karena ada resistensi dari sejumlah politisi dan anggota legislatif. Ukraina juga adalah wilayah di mana kepentingan ekonomi Rusia sangat terkait, terutama dalam produk energi seperti gas. Di tahun 2004–2005, hampir 80% gas yang dijual ke Eropa Barat telah melalui jaringan pipa gas di Ukraina. Fakta tersebut membuat daya tawar Ukraina tinggi terhadap Rusia sehingga mereka bisa membeli gas dengan harga di bawah pasar.

Meski demikian, keistimewaan tersebut tidak dikelola dengan baik oleh Ukraina. Pertumbuhan ekonomi di Ukraina tidak optimal karena kegiatan shadow economy mereka (transaksi ”bawah tanah” yang tidak tercatat, ilegal, dan merugikan perekonomian formal) terbilang besar. Jumlahnya mencapai 20%. Korupsi juga terjadi secara masif. Tahun 2013, Transparansi Internasional (TI) menempatkan Ukraina di posisi ke-144 dari 175 negara dari segi persepsi korupsi.

Fakta paling mencengangkan yang menjadi buah bibir di Ukraina adalah rumah supermewah yang dimiliki Viktor Yanukovych, Presiden Ukraina yang tersingkir dalam kerusuhan 2014, padahal pengangguran di Ukraina sangat tinggi (mencapai 25%) dan pertumbuhan ekonomi menurun terus sejak 1999, kini bahkan minus dan menjadi negara dengan prospek perekonomian buruk sejak krisis Eropa terjadi. Utang luar negeri Ukraina juga makin bengkak, apalagi karena mata uang mereka terus melemah. Apa yang mendorong shadow economy di Ukraina terus menggurita tidak lain karena lemahnya reformasi hukum, politik, dan ekonomi.

Laporan-laporan dari lembaga dunia seperti IMF, World Bank, OECD atau PBB menyebutkan sejumlah aktivitas kriminal seperti pencurian, mafia, perdagangan manusia, perdagangan senjata hingga kejahatan kerah putih dalam sistem keuangan sangat marak terjadi di Ukraina. Hal yang lebih parah, gas yang diekspor ke Eropa melalui pipa yang tertanam di wilayah Ukraina ternyata dicuri. Kecurigaan ini timbul karena Rusia mendapat keluhan dari pelanggan tetap mereka di Eropa yang mengatakan volume gas mereka terus menurun.

Harga gas yang murah dari Rusia ternyata tidak dapat mengurangi shadow economy di negara itu. Kegiatan ilegal telah menyebabkan pendapatan negara menjadi berkurang hampir setengahnya. Padahal, mereka harus tetap membayar tagihan-tagihan baik untuk pengeluaran rutin seperti membayar gaji pegawai negeri, guru, tentara, pejabat publik lain maupun untuk membayar tagihan dari aktivitas perdagangan dengan negara lain. Hal ini juga menyebabkan kesehatan masyarakat semakin buruk. Ukraina adalah negara yang mengalami penurunan jumlah penduduk tercepat. Angka kematian bayi mereka adalah 9,1 per 1.000 kelahiran.

Pertumbuhan penduduk mereka minus. Pajak-pajak yang diberlakukan terhadap aktivitas ekonomi yang legal tidak dapat menolong karena jumlahnya memang kecil. Konflik yang terjadi di Ukraina sebetulnya dapat dilihat sebagai hal yang positif bagi Ukraina untuk memperbaiki atau melanjutkan reformasi politik dan ekonomi, khususnya untuk mengatasi masalah korupsi dan aktivitas ekonomi ilegal lain. IMF telah berjanji akan mengucurkan dana sebesar USD17 miliar untuk membantu perekonomian Ukraina selama dua tahun. Bantuan ini tidak lepas dari lobi yang dilakukan negaranegara Eropa dan Amerika Serikat agar ekonomi Ukraina tidak tenggelam semakin dalam.

IMF sendiri pernah memberikan bantuan kepada Ukraina sebesar USD15 miliar di tahun 2010 dengan syarat bahwa negara itu harus mengurangi subsidi energinya. Tekanan itu menjadi syarat pinjaman karena harga BUMN Gas Pemerintahan Ukraina, Naftogaz, hanya menjual seperempat harga gas yang diimpornya. Ukraina tidak mau mengurangi subsidi gasnya karena kebanyakan industri adalah energy-incentives economy. Walaupun syarat itu tidak dipenuhi, hal yang membuat IMF akhirnya membatalkan atau membekukan bantuan mereka pada 2011 adalah karena gagalnya pemerintah mencegah korupsi.

IMF melaporkan bahwa USD37 miliar telah hilang semasa pemerintahan Viktor Yanukovych, artinya dua kali lipat dana yang diberikan IMF. Di sini Indonesia perlu melihat krisis di Ukraina secara proporsional. Memang ada ketegangan politik yang kini berkembang antara AS dan sekutunya di Uni Eropa dengan Rusia, tetapi jika dicermati lebih lanjut, Ukraina sendiri menyimpan masalah pelik. Ironisnya, kecemasan yang dirasakan AS, Uni Eropa, dan Rusia (karena mereka merasa punya taruhan ekonomi di Ukraina) justru membelenggu Ukraina dalam krisis yang lebih dalam.

Artinya, betapapun strategisnya posisi suatu negara dan betapapun upaya berdiplomasi dengan negara-negara besar dilakukan, jika pengelolaan ekonominya seadanya, melanggengkan cara-cara kotor dan ilegal, dan pemimpinnya memilih jalan selamat sendiri-sendiri yang tidak tabu membangun istana di atas kesengsaraan rakyatnya, maka negara tersebut akan ambruk. Lebih buruk lagi, keambrukan tersebut akan menyinggung konflik antarkelompok etnis dan keturunan serta membuat suasana makin membingungkan dan kacau bagi orang-orang awam. Inilah katalis bagi perang saudara yang ingin dihindari siapa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar