Shadow
economy di Ukraina
Dinna
Wisnu ; Co-Founder dan
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 14 Mei 2014
Jarak
antara Jakarta ke Kiev, ibu kota Ukraina, terbilang jauh, 9.500 km, dan
jumlah orang Indonesia yang menetap di Ukraina tidak sampai 60 orang. Namun
suasana sosial politik yang berkembang di Ukraina patut dicermati. Ukraina
berada atau mungkin sudah di ambang perang saudara.
Hal itu
memprihatinkan karena apabila benar-benar terjadi konflik bersenjata, hal itu
menjadi perang saudara baru setelah perang saudara di wilayah Bosnia-Serbia
dan tentu saja di sejumlah daerah lain di Timur Tengah. Ukraina memiliki
berbagai keunikan. Posisi geografis mereka yang sangat strategis dan
ketergantungan sejumlah negara besar kepada Ukraina ternyata justru
mempersulit upaya keluar dari risiko perang saudara yang berdarah itu.
Sejumlah fakta yang berkembang di Ukraina patut menjadi refleksi bersama
tentang kondisi dan tren persaingan politik dan ekonomi antarnegara.
Ukraina
juga sebuah negara yang memperoleh jaminan keamanan dari gangguan negara-negara
lain berkat kesepakatan antara Rusia, Amerika, dan Eropa sebagai kompensasi
atas pelucutan senjata nuklir warisan Uni Soviet yang tersebar di wilayah
tersebut. Walaupun dalam konteks sejarah Ukraina pernah bersama dengan Rusia
di bawah Uni Soviet, selepas keruntuhan Uni Soviet Ukraina lebih nyaman
bergaul dengan NATO dalam soal keamanan militernya.
Mempertimbangkan
faktor-faktor tersebut dan membandingkannya dengan negara-negara eks Uni
Soviet yang tidak memiliki keistimewaan serupa, seharusnya Ukraina bisa lebih
fokus memikirkan pertumbuhan ekonominya. Namun, dalam kenyataan tidak
demikian. Ukraina adalah negara yang dikaruniai tanah pertanian subur,
lengkap dengan pelabuhan yang strategis dan indah menghadap ke Laut Hitam.
Dengan jumlah penduduk 44 juta jiwa dan pendapatan per kapita USD7.300,
Ukraina pernah mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang cukup menjanjikan
ketika pecah dari Uni Soviet pada 1991.
Saat itu
pemerintah menerapkan liberalisasi ekonomi dan melakukan sejumlah privatisasi
perusahaan. Tapi keterbukaan ekonomi itu tidak berlangsung lama, hanya
beberapa tahun, karena ada resistensi dari sejumlah politisi dan anggota
legislatif. Ukraina juga adalah wilayah di mana kepentingan ekonomi Rusia
sangat terkait, terutama dalam produk energi seperti gas. Di tahun 2004–2005,
hampir 80% gas yang dijual ke Eropa Barat telah melalui jaringan pipa gas di
Ukraina. Fakta tersebut membuat daya tawar Ukraina tinggi terhadap Rusia
sehingga mereka bisa membeli gas dengan harga di bawah pasar.
Meski
demikian, keistimewaan tersebut tidak dikelola dengan baik oleh Ukraina. Pertumbuhan
ekonomi di Ukraina tidak optimal karena kegiatan shadow economy mereka (transaksi ”bawah tanah” yang tidak
tercatat, ilegal, dan merugikan perekonomian formal) terbilang besar.
Jumlahnya mencapai 20%. Korupsi juga terjadi secara masif. Tahun 2013,
Transparansi Internasional (TI) menempatkan Ukraina di posisi ke-144 dari 175
negara dari segi persepsi korupsi.
Fakta
paling mencengangkan yang menjadi buah bibir di Ukraina adalah rumah
supermewah yang dimiliki Viktor Yanukovych, Presiden Ukraina yang tersingkir
dalam kerusuhan 2014, padahal pengangguran di Ukraina sangat tinggi (mencapai
25%) dan pertumbuhan ekonomi menurun terus sejak 1999, kini bahkan minus dan
menjadi negara dengan prospek perekonomian buruk sejak krisis Eropa terjadi.
Utang luar negeri Ukraina juga makin bengkak, apalagi karena mata uang mereka
terus melemah. Apa yang mendorong shadow
economy di Ukraina terus menggurita tidak lain karena lemahnya reformasi
hukum, politik, dan ekonomi.
Laporan-laporan
dari lembaga dunia seperti IMF, World Bank, OECD atau PBB menyebutkan
sejumlah aktivitas kriminal seperti pencurian, mafia, perdagangan manusia,
perdagangan senjata hingga kejahatan kerah putih dalam sistem keuangan sangat
marak terjadi di Ukraina. Hal yang lebih parah, gas yang diekspor ke Eropa
melalui pipa yang tertanam di wilayah Ukraina ternyata dicuri. Kecurigaan ini
timbul karena Rusia mendapat keluhan dari pelanggan tetap mereka di Eropa
yang mengatakan volume gas mereka terus menurun.
Harga
gas yang murah dari Rusia ternyata tidak dapat mengurangi shadow economy di negara itu. Kegiatan
ilegal telah menyebabkan pendapatan negara menjadi berkurang hampir
setengahnya. Padahal, mereka harus tetap membayar tagihan-tagihan baik untuk
pengeluaran rutin seperti membayar gaji pegawai negeri, guru, tentara,
pejabat publik lain maupun untuk membayar tagihan dari aktivitas perdagangan
dengan negara lain. Hal ini juga menyebabkan kesehatan masyarakat semakin
buruk. Ukraina adalah negara yang mengalami penurunan jumlah penduduk
tercepat. Angka kematian bayi mereka adalah 9,1 per 1.000 kelahiran.
Pertumbuhan
penduduk mereka minus. Pajak-pajak yang diberlakukan terhadap aktivitas
ekonomi yang legal tidak dapat menolong karena jumlahnya memang kecil.
Konflik yang terjadi di Ukraina sebetulnya dapat dilihat sebagai hal yang
positif bagi Ukraina untuk memperbaiki atau melanjutkan reformasi politik dan
ekonomi, khususnya untuk mengatasi masalah korupsi dan aktivitas ekonomi
ilegal lain. IMF telah berjanji akan mengucurkan dana sebesar USD17 miliar
untuk membantu perekonomian Ukraina selama dua tahun. Bantuan ini tidak lepas
dari lobi yang dilakukan negaranegara Eropa dan Amerika Serikat agar ekonomi
Ukraina tidak tenggelam semakin dalam.
IMF
sendiri pernah memberikan bantuan kepada Ukraina sebesar USD15 miliar di
tahun 2010 dengan syarat bahwa negara itu harus mengurangi subsidi energinya.
Tekanan itu menjadi syarat pinjaman karena harga BUMN Gas Pemerintahan
Ukraina, Naftogaz, hanya menjual seperempat harga gas yang diimpornya.
Ukraina tidak mau mengurangi subsidi gasnya karena kebanyakan industri adalah
energy-incentives economy. Walaupun
syarat itu tidak dipenuhi, hal yang membuat IMF akhirnya membatalkan atau
membekukan bantuan mereka pada 2011 adalah karena gagalnya pemerintah
mencegah korupsi.
IMF
melaporkan bahwa USD37 miliar telah hilang semasa pemerintahan Viktor
Yanukovych, artinya dua kali lipat dana yang diberikan IMF. Di sini Indonesia
perlu melihat krisis di Ukraina secara proporsional. Memang ada ketegangan
politik yang kini berkembang antara AS dan sekutunya di Uni Eropa dengan
Rusia, tetapi jika dicermati lebih lanjut, Ukraina sendiri menyimpan masalah pelik.
Ironisnya, kecemasan yang dirasakan AS, Uni Eropa, dan Rusia (karena mereka merasa
punya taruhan ekonomi di Ukraina) justru membelenggu Ukraina dalam krisis
yang lebih dalam.
Artinya,
betapapun strategisnya posisi suatu negara dan betapapun upaya berdiplomasi
dengan negara-negara besar dilakukan, jika pengelolaan ekonominya seadanya,
melanggengkan cara-cara kotor dan ilegal, dan pemimpinnya memilih jalan
selamat sendiri-sendiri yang tidak tabu membangun istana di atas kesengsaraan
rakyatnya, maka negara tersebut akan ambruk. Lebih buruk lagi, keambrukan
tersebut akan menyinggung konflik antarkelompok etnis dan keturunan serta
membuat suasana makin membingungkan dan kacau bagi orang-orang awam. Inilah
katalis bagi perang saudara yang ingin dihindari siapa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar