Kasus
JIS Peristiwa Semua Sekolah
Baskoro
Poedjinoegroho E ; Pendidik, Mantan
Kepala SMA Kolese Kanisius Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Mei 2014
PEDOFILIA atau pelecehan seksual
yang dilakukan orang dewasa terhadap anak sesungguhnya bisa dan sudah terjadi
di mana saja. Namun, yang akhir-akhir ini terjadi di Jakarta International School (JIS) menjadi berita besar yang
hangat. Semua angkat bicara, entah mengapa, seolah-olah semua merasa
bertanggung jawab. Makin menghebohkan. Apa artinya bagi kita, secara khusus
sekolah?
Orangtua adalah co-educator
Pagar makan tanaman. Itulah yang
terjadi di JIS. Peserta didik TK yang bagaikan kuncup mekar yang sedang
tumbuh dirusak penjaganya, yaitu karyawan sekolah. Peristiwa itu pasti
membuat miris siapa saja, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak-anak
usia TK. Mereka dapat membayangkan dengan sangat gamblang betapa rentannya
anak-anak. Perasaan khawatir yang mendalam terhadap anak kandung yang sedang
berada di bangku TK. Itu semua dapat dimengerti. Pelecehan seksual terhadap
anak dapat terjadi di sekolah mana pun!
Hanya kebetulan saja peristiwa di JIS
mendapatkan pemicu yang pas sehingga beritanya bergaung keras meluas.
Sesudah terjadinya peristiwa di
JIS, lembaga-lembaga pendidikan, khususnya TK, meningkatkan kewaspadaan bagi
keamanan peserta didik mereka. Meningkatkan kewas padaan ialah sikap yang
sangat tepat bagi para orangtua. Namun, dalam situasi yang sangat menakutkan
itu atau ekstrem, satu hal hendaknya dihindari, yaitu tidak percaya kepada
pihak sekolah. Dalam hal ini ialah para pelaksana utama sekolah seperti guru
dan karya wan. Bukankah semua guru dan karyawan JIS diperiksa yang berwajib?
Kewaspadaan yang keterlaluan akan mengikis kepercayaan. Pada hal, kepercayaan
ialah unsur pokok dalam pendidikan.
Bukankah para orangtua mengirim anak ke
sekolah karena menaruh kepercayaan ke pada sekolah, bahwa sekolah dapat
memberikan pendidikan yang baik kepada anak mereka? Orangtua percaya bahwa sekolah
ialah tempat yang paling aman dan nyaman bagi anak mereka.
Kasus JIS ialah peristiwa semua
sekolah di Tanah Air. Setiap sekolah, bukan hanya TK, seyogianya menematkan
peristiwa JIS sebagai peristiwa yang harus dimaknai dalam konteks tiap
sekolah. Peristiwa JIS pantas untuk ditempatkan sebagai latar refleksi atas
layanan pendidikan tiap sekolah. Bahwasanya kepercayaan terhadap sekolah
bukanlah selesai terbangun karena nama baik atau tradisi yang sudah berjalan
lama atau secara turun temurun; apalagi bersandar pada hasil lomba yang
menonjolkan kemampuan akal budi semata.
Yang utama, kepercayaan harus
dibangun bersama melalui komunikasi yang sehat. Orangtua bukanlah sekadar
pengirim anak ke sekolah. Orangtua adalah co
educator. Orangtua mesti dilibatkan dalam proses pendidikan. Artinya,
kebijakan dan pelaksanaannya dikomunikasikan kepada orangtua melalui
pertemuan dan evaluasi secara rutin sehingga orangtua akrab dengan dan
mempunyai rasa memiliki sekolah. Karena itu, mereka nyaman untuk menyampaikan
kritik dan usul-usul demi perbaikan pelayanan pendidikan.
Jadi, mereka tidak berperan
hanya sebagai pemasok peserta didik dan dana, seperti yang biasa terjadi di
kebanyakan sekolah. Keakraban dan kenyamanan dengan sekolah paling tidak akan
menjadi modal bagi kedua pihak untuk siap sedia duduk bersama dalam
menyelesaikan setiap persoalan. Bukan berdiri berhadap-hadapan sambil
menggulung lengan baju, lantas saling menuduh, mencerca, menuntut,
menyalahkan, serta mengancam. Pelibatan pihak luar lain, entah resmi atau
tidak, dimungkinkan sejauh dibutuhkan sungguh untuk perbaikan bukan
pembinasaan.
Komunitas pendidik
Tampaknya janggal, tetapi inilah
yang lazim terjadi. Di setiap awal tahun ajaran atau dalam kesempatan
memperkenalkan diri entah kepada pihak luar ataupun orangtua beserta peserta
didik, yang dikedepankan ialah para guru dan kepala sekolahnya. Apalagi bila
gurunya berprestasi atau menyandang gelar tertentu, merekalah yang
ditonjolkan sebagai penjamin mutu sekolah. Mengapa keberadaan karyawan dan
perannya tidak pernah atau jarang sekali diperkenalkan?
Sesungguhnya sebuah sekolah
ialah sebuah lembaga yang berarti bahwa seluruh unsur yang terlibat di
dalamnya berfungsi dalam kesalingan. Oleh karenanya, seluruh unsur harus
mengenal benar apa dan mengapa tentang sekolah agar mereka dapat menjalankan
fungsinya dalam kesa lingan atau sinergi penuh hasrat dalam mendidik sehingga
terwujud komunitas pendidik.
Yang hendak penulis kemukakan
ialah apakah setiap karyawan dilibatkan dalam pembangunan visi-misi sekolah, apalagi
terhadap yang outsourcing?
Visi-misi beserta langkah konkret pelaksanaan sehari-hari harus dimengerti
dan diwujudkan secara bersama. Karyawan bukanlah pihak luar sekolah. Mereka
mempunyai peran dalam pendidikan, bukan sekadar pembantu yang melaksanakan
perintah dan mendapatkan upah. Penyebutan mereka sebagai ten aga kependidikan
sangatlah tepat dan beralasan. Itu harus disadari betul bahwa mereka
mempunyai peran dalam mendidik. Pengaman sekolah, tukang kebun, petugas
kebersihan, pesuruh, dan petugas administrasi melaksanakan tugas dalam rangka
memperlancar proses pendidikan.
Pelibatan, kesadaran, dan
penghargaan terhadap keberadaan mereka sebagai tenaga kependidikan yang
mempunyai peran sebagai pendidik dalam bidang masing masing, dan apalagi bila
tumbuh kebanggaan mereka atas sekolah, merupakan modal bagi kukuhnya pagar,
bukan yang memakan tanaman, meski itu bukanlah jaminan satu-satunya. Tentu,
itu semua membutuhkan usaha pendam pingan yang prima dan terus menerus. Dalam
kerangka inilah Kemendikbud lebih dinantikan perannya, lebih daripada mengawasi sekolah--membina daripada membinasakan sekolah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar