Pertaruhan
Sentralitas ASEAN
Ludiro
Madu ; Dosen Program
Studi Ilmu Hubungan Internasional
UPN ”Veteran”
Yogyakarta,
Peneliti dari
Indonesia Center for Democracy, Diplomacy, & Defence (IC3D) Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 16 Mei 2014
SENGKETA klaim atas Laut China
Selatan (LCS) makin memanas. Insiden terakhir antara kapal-kapal
Filipina-Tiongkok dan kapal Vietnam-Tiongkok telah menciptakan ekskalasi
konflik dan meningkatkan urgensinya bagi pembicaraan antaranggota ASEAN dalam
KTTke-24 di Myanmar. Selain dua negara itu, Malaysia dan Brunei Darussalam
juga memiliki klaim yang tumpang-tinding dengan Tiongkok di wilayah itu.
Peningkatan potensi konflik
tersebut mendorong ASEAN membicarakan lagi upaya-upaya diplomasi regional
guna mengelola konflik sekaligus mencari penyelesaian menyeluruh. Baku klaim
dengan Tiongkok ini menegaskan betapa mudah dinamika Laut China Selatan
mengarah ke konflik dan bahkan memecah-belah negara anggota ASEAN. Apalagi
kehadiran kembali AS melalui kebijakan rebalance atau pivot Asia telah
menjadikan wilayah ini sebagai salah satu hotspot di Asia.
Terlalu riskan untuk meminta
peran lebih dari AS dalam rangka peredaan ketegangan bilateral
Filipina-Tiongkok dan Vietnam-Tiongkok. AS telah berkomitmen mengembalikan
kehadiran militernya di Filipina melalui penandatangan kesepakatan kerja sama
pertahanan Enhanced Defence Cooperation
Aggreement (EDCA).
Bahkan AS berhasil mendekati
Vietnam untuk menyewa bekas pangkalan militer Uni Soviet di Cam Ran Bay.
Adapun Malaysia dan Brunei cenderung merapat ke AS ketimbang bersepakat
dengan Tiongkok mengenai sengketa itu. Peningkatan kehadiran AS dalam konflik
hanya akan memperkeras provokasi Tiongkok terhadap empat negara tersebut.
Situasi ini menjadi keprihatinan
bersama bagi negara-negara lain di kawasan tersebut dalam KTT Ke-24 ASEAN.
Ketimbang berunding secara bilateral dengan Tiongkok, keempat negara anggota
ASEAN yang berkonflik dengan Tiongkok berkait laut sebaiknya melanjutkan
diplomasi regional.
Mekanisme regional ini dipandang
lebih dapat diterima mengingat upaya ASEAN sejak konferensi serupa di
Denpasar pada November 2011 ketika Indonesia menjadi ketua. Krisis bilateral
Filipina-Tiongkok dan Vietnam-Tiongkok sekali lagi memperlihatkan kemelemahan
ASEAN dalam merespons secara aktif berkait konflik laut itu.
Alih-alih mengajukan
penyelesaian regional/ multilateral, ASEAN justru digiring Tiongkok untuk
menyelesaikan sengketa klaim secara bilateral. Sejak pertemuan menteri luar
negeri ASEAN di Kamboja pada pertengahan 2012, negara-negara anggota ASEAN
cenderung terbelah dalam menentukan sikap bersama terhadap Tiongkok dalam
masalah ini.
Negara-negara yang berkonflik
itu cenderung berkomitmen secara regional pada berbagai pertemuan ASEAN,
tetapi realitas konflik di laut tersebut lebih menunjukkan polapola resolusi
konflik bilateral dan internasonal tanpa keterlibatan ASEAN.
Sentralitas ASEAN dipertaruhkan
dalam menemukan pilihan-pilihan kebijakan regional demi mengelola potensi-potensi
konflik di laut itu. Kebuntuan diplomasi regional ASEAN menimbulkan
kekawatiran mengenai kemampuan pakta menyelesaikan persoalan ini di antara
mereka sendiri. Bahkan upaya perundingan informal juga dilakukan di antara
negara-negara ASEAN.
Sulit Mengakomodasi
Sejak awal 1990-an Indonesia
dengan dukungan lembaga internasional, mengambil inisiatif menyelenggarakan
pertemuan informal untuk mengelola potensi konflik di Laut China Selatan (Informal Meeting on Managing Potential
Conflicts in South China Sea).
Pertemuan itu berhasil mengajak
berbagai pihak yang bertikai duduk satu meja membicarakan berbagai peluang
kerja sama. Namun perkembangan terakhir menunjukkan kesulitan mengakomodasi
hasil-hasil pertemuan informal pada pertemuan formal antarpemerintah dalam
wadah ASEAN.
Hingga menjelang KTT ke-24 di
Nay Pyi Taw, Myanmar, negara anggota ASEAN tidak memberikan perhatian dan
kurang serius memperjuangkan draf nol sebagai mekanisme regional bagi
penyelesaian komprehensif atas baku klaim laut tersebut. Padahal konsep itu
bisa menjadi langkah besar ASEAN, melalui inisiatif Indonesia, untuk
mengedepankan diplomasi regionalnya.
Kepercayaan regional perlu
ditingkatkan dalam perundingan semacam itu, tanpa mengikutsertakan AS atau
negara-negara lain yang cenderung mengaburkan fokus masalah. Sebelum
berunding dengan Tiongkok secara formal, negara-negara ASEAN harus
menegaskana kembali komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik laut itu
secara regional. Menghadapi Tiongkok secara regional dapat memberikan keuntungan
relatif lebih besar daripada berhadapan secara bilateral dan langsung.
Forum perundingan ini dapat
mengambil betuk menyerupai perundingan atau kesepakatan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) dalam bidang ekonomi.
Akhirnya, ASEAN harus tetap berperan aktif dan konstruktif menjalankan
sentralitas posisinya dalam berbagai konflik dan kerja sama di kawasan ini,
termasuk baku klaim di Laut Tiongkok Selatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar