Kasek-Guru
Mencuri Soal
Augustinus
Simanjuntak ; Dosen Etika
Bisnis Program Manajemen Bisnis
FE Universitas
Kristen Petra, Surabaya
|
JAWA
POS, 16 Mei 2014
Soal
ujian nasional (unas) untuk SMA ternyata sudah bocor dan kunci jawabannya
tersebar ke mana-mana setelah naskahnya dicuri sekitar 70 kepala sekolah
(Kasek) dan guru. Menurut kepolisian, para pelaku berasal dari SMA negeri
maupun swasta di Lamongan, Jawa Timur. Modusnya, para pendidik itu mengelabui
polisi yang mengawal distribusi naskah soal menuju polsek yang umumnya
menggunakan mobil Kasek atau guru.
Biasanya,
satu mobil dikawal seorang polisi. Lalu, tiga hingga lima guru ikut mengawal.
Saat di perjalanan itulah para guru tersebut beraksi dengan mengajak polisi
berhenti untuk makan di restoran. Kemudian, ada guru yang mencuri sebundel
amplop berisi 20 model naskah soal. Di Lamongan, kunci soal itu dibagikan
gratis, lalu di Surabaya dijual M. Nasrun Abid kepada Joki Gosok (DN Bagus
Danil B.) seharga Rp 150 juta. Abid mendapat kunci dari pamannya (guru SMAN 3
Lamongan) Edy Purnomo dan Wakil Kepala MTs Putra Putri Lamongan Ibnu
Mubarrok.
Lantas,
Joki Gosok menjual kunci jawaban kepada siswa di delapan SMAN di Surabaya
seharga Rp 25 juta–Rp 35 juta untuk setiap sekolah. Jaringan Joki Gosok
itulah yang sebelumnya dibongkar anggota Polrestabes Surabaya saat
pelaksanaan unas SMA 16 April lalu.
Kejahatan
para Kasek dan guru tersebut sungguh telah mencoreng profesi guru sebagai patron
moralitas sekaligus teladan murid maupun masyarakat. Mereka itu pendidik atau
pembodoh? Kalau Kasek/guru saja sudah curang, lalu muridnya bakal menjadi
apa?
Evaluasi Kualitas Unas
Berbagai
kalangan sebenarnya sudah sering mempersoalkan kualitas soal unas yang
berbentuk multiple choice (pilihan
ganda). Jawaban soal itu memang praktis dan mudah dikoreksi dengan
menggunakan scanner komputer. Lembar jawaban siswa se-Indonesia tinggal
dimasukkan ke dalam sistem scanner komputer, lalu dalam hitungan detik per
lembar soal bisa selesai dikoreksi.
Anggaran
unas tahun ini mencapai Rp 545 miliar (2014). Lalu, bagaimana kualitasnya?
Jangan sampai pendidikan di negeri ini terjebak pada nilai dan angka
kelulusan, sedangkan kualitas tidak pernah diuji.
Realitasnya,
pragmatisme unas telah membuka peluang terjadinya kecurangan, baik di pihak
guru, sekolah, maupun murid. Para joki pun memanfaatkan momen unas untuk
meraup keuntungan dari kejahatan yang dilakukan. Siswa juga berpeluang
berpikir pragmatis dalam menjawab soal dengan cara berspekulasi
(untung-untungan).
Tekanan
psikologis karena sistem unas bisa membuat banyak sekolah yang ingin muridnya
lulus 100 persen melakukan kecurangan masal dan sistematis. Jauh sebelum
kasus di Lamongan mencuat, dugaan kecurangan terjadi di Medan (2007) yang
diungkap sejumlah guru yang tergabung dalam Air Mata Guru. Juga, kasus salah
satu SMA di Ngawi (2009) yang seluruh muridnya tidak lulus gara-gara kunci
jawaban yang salah yang diduga berasal dari oknum perancang kecurangan.
Selain
problem kecurangan, siswa yang pintar dan menguasai pelajaran di sekolah
memang tidak perlu terjebak pada gambling. Tetapi, belum tentu semua yang dia
pelajari di sekolah dikeluarkan panitia di unas. Akibatnya, si siswa lebih
memilih menjawab soal dengan pola gambling
daripada tidak menjawab sama sekali. Peringkat siswa yang berprestasi dalam
tes essay di sekolah bisa jadi
hancur dalam unas karena tidak terbiasa dengan soal multiple choice.
Sementara
itu, siswa yang tidak cukup berprestasi dalam ujian essay bisa lulus unas karena beruntung mendapat nilai bagus.
Mungkin pula ada siswa yang tidak cukup berprestasi sehingga hanya berharap
meraih keberuntungan dari jawaban gambling atas soal multiple choice unas. Yang lebih parah, siswa yang prestasinya sangat
rendah sehingga hanya berharap pada kemujuran di unas, namun nasibnya tidak
mujur alias tidak lulus.
Intinya,
siswa yang pintar secara kualitatif harus siap batin bila suatu saat
kebanggaannya sebagai juara kelas akhirnya diruntuhkan di arena unas.
Sementara itu, siswa yang kurang berprestasi bisa berpeluang lulus dengan
skor nilai terbaik (kepintaran semu).
Dari
perspektif pembuatnya, soal multiple
choice itu bisa saja sudah dibuat sangat ketat dan dianggap bagus.
Tetapi, bagi sebagian siswa yang tidak mau berpikir pragmatis, soal tersebut
tetaplah merupakan bahan yang bisa di-gambling-kan. Siswa tentu tidak mau
tahu proses pembuatan soal tersebut.
Selain
itu, siswa yang sudah dikunci dengan jawaban terbatas pada pilihan (a) sampai
(e) dalam unas tidak mungkin lagi membuat jawaban inovasi/terobosan. Padahal,
pemerintah dan guru seharusnya bangga atau senang bila para siswa bisa
memberikan jawaban melampaui harapan. Jumlah peserta didik maupun
standardisasi materi/soal tidak patut dijadikan alasan oleh pemerintah untuk
mengunci kreativitas siswa dengan menerapkan soal multiple choice ala unas.
Pendidikan
tidak sekadar berorientasi pada nilai dan standar. Tetapi, aspek terpenting
adalah evaluasi karakter dan pola pikir siswa. Di sinilah kualitas moral dan
keilmuan guru menjadi sangat penting. Siswa seharusnya dilatih banyak
berpikir kreatif, progresif, dan inovatif dalam proses ujian, tidak malah
dipasung dengan jawaban (a) sampai (e).
Jangan
sampai kesuksesan dalam unas bersifat kemujuran karena soal multiple choice ala unas. Pengajaran
dan evaluasi belajar-mengajar seharusnya menggali pola pikir, integritas, dan
daya nalar siswa lewat uraian jawaban.
Karena
itu, ujian dan kelulusan siswa sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada sekolah
yang mendidik. Sedangkan penilaian atas kualitas kelulusan diserahkan kepada
masyarakat dan institusi pendidikan yang lebih tinggi. Biarlah setiap sekolah
berlomba mengejar kualitas riil siswa, baik aspek akademis maupun karakter.
Ujian tidak malah membunuh kreativitas dan karakter siswa, tetapi justru
menginspirasi untuk membuat jawaban terobosan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar