Mencegah
Pembobolan ATM
Nugroho
SBM ; Dosen Fakultas
Ekonomika dan Bisnis (FEB)
Universitas
Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 13 Mei 2014
DUNIA
perbankan Indonesia kembali terguncang menyusul aksi pembobolan rekening Rp
21 miliar lewat ATM yang dilakukan Didik Agung Hermawan, pengusaha farmasi
dan istrinya, keduanya tinggal di Solo. Tersangka memanfaatkan jaringan
transaksi bank tersebut yang waktu itu sedang di-update (SM, 9/5/14).
Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengganti Bank Indonesia, yang bertanggung jawab
mengawasi bank harus cepat mengatasi kejahatan perbankan, khususnya
pembobolan bank melalui ATM. Hal itu mengingat bisnis perbankan sangat
mengandalkan kepercayaan. Sebagian dana di bank berasal dari pihak ketiga
(deposan).
Peraturan
Bank Indonesia (PBI) mensyaratkan modal sendiri bank, yang dikenal dengan capital adequacy ratio (CAR), hanya
8%. Bila kepercayaan masyarakat (deposan) hilang, dipastikan terjadi penarikan
dana secara besar-besaran. Andai hal itu terjadi, perekonomian secara
keseluruhan akan terganggu. Otoritas Jasa Keuangan perlu mengambil beberapa
langkah dan kebijakan guna mencegah pembobolan bank lewat ATM.
Pertama;
OJK menyeragamkan standar teknologi pengamanan untuk semua bank. Saat ini
tiap bank memiliki teknologi pengamanan dana nasabah yang berbeda-beda. Misal
untuk pengambilan uang di ATM. Ada bank yang jika kartu ATM nasabah itu belum
dicabut, bisa disalahgunakan (dipakai) oleh orang berikutnya, untuk
bertransaksi dari mesin ATM yang sama.
Tetapi
ada pula bank yang memakai mesin ATM yang sudah memproteksi nasabah. Artinya
bila sebuah transaksi sudah selesai tapi kartu ATM kita tertinggal maka orang
lain tidak bisa memakai kartu itu untuk bertransaksi karena ia pasti tidak
tahu nomor PIN-nya.
Untuk
menyeragamkan teknologi pengamanan bank, OJK bisa menyewa konsultan teknologi
informasi, dan tiap periode mereka harus meng-up date sistem atau teknologi
itu. OJK bisa meminta iuran dari perbankan guna membiayai. Pihak bank juga
bisa menyisihkan, misal 5% dari keuntungan, untuk mendukung program tersebut.
Kedua;
bank lebih berhati-hati memilih rekanan yang diminta membuat aplikasi
teknologi perbankan. Kasus pembobolan bank di Solo memang masih dalam
penyelidikan. Artinya, bisa saja hal itu terjadi karena ”kekacauan” sistem
sewaktu dalam masa recovery setelah sistem itu di-up date, atau hanya ”karena
kebetulan”.
Pasalnya,
hal itu bisa saja ”disengaja” oleh penyedia aplikasi teknologi, yang bekerja
sama dengan pembobol. Hampir semua bank saat ini memilih memakai aplikasi
buatan developer, bukan buatan programmer internal. Pembelian aplikasi dari
developer yang notabene pihak luar, membuka peluang bagi developer software,
terutama programmer-nya untuk mengakali bank-bank dengan menggunakan aplikasi
yang mereka buat.
Uji Aplikasi
Untuk
mengelabui para pemakai aplikasi, biasanya mereka berkongkalikong dengan
orang lain. Oknum itu kemudian diminta melakukan transfer lewat ATM dengan
nomor rekening yang tidak akan mendebet saldo setelah transaksi berlangsung.
Nomor rekening yang dipakai oknum itu pun buatan programmer developer, dan
modus operandi tersebut tidak bisa cepat dideteksi oleh bank yang memakai
aplikasi buatan developer nakal
itu.
Supaya
kejadian ini tidak terulang, sebaiknya bank mengunakan jasa tester dan
implementator dari perusahaan ternama atau perguruan tinggi terkenal yang
memang punyai prodi/fakultas khusus TIK. Tester bisa dimintai jasa untuk
menguji aplikasi yang akan dibeli oleh bank dari pihak luar (developer/programmer).
Ketiga;
OJK secara berkala mengaudit sistem keamanan transaksi pada bank-bank umum,
khususnya di tingkat cabang. Selama ini, BI sebelum digantikan oleh OJK,
kesulitan melakukan hal itu karena keterbatasan jumlah auditor internal.
Untuk mengatasi hal tersebut, belajar dari pengalaman BI, OJK bisa menggunakan auditor independen dari
kantor akuntan publik.
Cara itu
tidak menyalahi aturan karena sesuai dengan Pasal 31A UU Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan yang telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 dan sesuai dengan Pasal 30 Ayat 1 UU Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan audit rutin
tersebut diharapkan kejahatan bank bisa dideteksi lebih dini dan dicegah.
Keempat;
pihak bank harus mengaudit internal secara berkala. Audit dilakukan oleh
lembaga semisal satuan pemeriksa internal (SPI), dan hasil pemeriksaan
disampaikan kepada dewan komisaris bank dan OJK. Hasil audit bisa dijadikan
bahan verifikasi oleh OJK.
Kelima;
calon karyawan bank wajib menjalani serangkaian tes psikologi untuk
memastikan watak yang baik. Bank bisa bekerja sama dengan biro konsultan
psikologi/fakultas psikologi mengingat disiplin ilmu psikologi pun berkembang
pesat.
Keenam;
karyawan lama diwajibkan tes ulang psikologi untuk mengetahui konsistensi
sikapnya. Ada kemungkinan karyawan yang dulunya baik (lolos tes psikologi
saat melamar) berubah jadi tidak baik karena berbagai faktor, misal pengaruh
lingkungan kerja atau pergaulan. Contoh dari karyawan yang berubah sikap
adalah Melinda Dee yang membobol Citibank setelah 17 tahun bekerja di bank itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar