Minangkabau
dan Dunia Melayu (5)
Mochtar
Naim ; Sosiolog
|
HALUAN,
13 Mei 2014
Yang bermain di belakang ini jangan-jangan adalah pihak yang tidak
menginginkan adanya kesatuan dan keserasian antara dua suku bangsa Melayu
dan dua negara Melayu yang berjiranan ini, yang berkebetulan di dua negara
berjiran ini mereka menguasai ekonomi, perdagangan dan industrinya. Istilah
lamanya : “devide et empera” demi kekuasaan adalah sebuah lagu lama yang
berlaku di mana-mana di sepanjang sejarah manusia.
Di sisi lain, denyut yang makin
bermakna dari tammadun dunia Islam gelombang ke-3 di abad ke-21‘dst. Ini mau
tak mau akan juga mempertemukan dunia Melayu di Asia tenggara ini makin
dekat antara sesama ke masa depan. Kerjasama-kerjasama di berbagai bidang
dan berbagai tingkat diharapkan akan makin mempertemukan puak-puak dari dunia
Melayu ini ke masa depan.
Makin menonjolnya penguasaan
ekonomi, bisnis perdagangan dan industri dari dunia kuning, sejalan dengan
makin berkembangnya mereka sebagai negara termaju di dunia ke masa depan,
menggantikan supermasi dunia kapitalis barat selama ini, pada gilirannya
sebagai reaksi sebaliknya, dunia Melayupun akan makin mendapatkan pegangan
yang makin kuat, yang terlahir dengan bermacam kerjasama di berbagai bidang
kehidupan itu. Dan di atas semua itu DMDI yang sekarang masih berupa impian,
nanti akan menjadi kenyataan. Siapa tau, yang diimpikan oleh Jhoserizal, Tan
Malaka dan Tuaku Abdul Rahman, Yusuf Ishaq di masa lalu, ke masa depan akan
menjadi kenyataan, dan kenyataan sejarah dipenggal dari abad ke
21 Masehi ini.
Suku melayu Minangkabau
sejak dari hulunya memang sudah tergolong kepada suku Melayu yang tertinggi
tingkat mobilitas sosialnya. Dorongan ke arah mobilitas sosial yang
tinggi ini juga terkait kepada sistem sosialnya yang mengharuskan anak
mudanya merantau terlebih dahulu” selagi di rumah berguna belum” sesuai
dengan bunyi liriknya : “karatau madang di hulu, berbuah berbunga belum,
merantau bujang dahulu di rumah berguna belum”. Akibatnya, lebih dari
separuh orang Minang, yang jumlah totalnya sekitar 10 juta, berdiaspora
keluar kampung halamannya, bertebaran ke mana-mana di segenap penjuru dunia
Melayu, bahkan ke banyak negara di dunia ini.
Karena oriantasi budayanya
adalah sentrifugal, bukan sentripetal, di samping juga egaliter-demokratis,
mereka juga kemampuan yang tinggi untuk menyesuaikan diri dengan situasi
setempat. “di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung”… ”menyauk di
hilir-hilir, mandi di bawah-bawah”…”nan di orang diiyakan, nan di awak
dilalukan “ dst. Karenanya jadilah dia seorang Yusuf Ishaq dan Zubir Syaid di
Singapura, Rais Yatim dan sekian banyak yang lainnya di Malaysia. Datuk yang
bertiga di Sulawesi Selatan- Datuk RI Bandang, Datuk RI Tiro, Datuk RI
Pattimang-yang mengembangkan Islam di Sulawesi, serta Raja Baginda di Suluh,
Raja Sulaiman di Manila, yang mengembangkan Islam di Filipina. Dekaan dan
pelopor – pendiri NKRI, yang dalam persentase perbandingannya adalah suku
yang tertinggi dalam memberikan konstribusinya. Belum pula kalau kita
turun ke bawah, ke tingkat menengah sampi ke akar rumput sekalipun di seluruh
nusantara dan dunia Melayu ini, sesuai dengan kemampuan serta
minat dan himmat masing-masing. Ini semua karena bertemunya adat dan
budaya Minang dengan Islam yang kedua-duanya ternyata punya banyak kesamaan
dalam pandangan wetan schauung-nya yang beroreantasi global-universal dan terbuka, yang “kalau dibalun sabalun kuku, kalau
dikembang selebar alam”
Namun, karena jalur sejarah
itu memang beriak- bergelombang, sejak peristiwa PRRI di dekade 1950-an
sampai ke masa kini, performasi orang Minang sudah banyak meluntur dan
meluncur, sehingga sudah sukar untuk melihat mana dari ketokohan mereka yang
menonjol di pelataran nasioanal maupun daerah sekalipun, seperti sebelumnya.
Faktor penyebabnya ternyata
juga banyak : internal dan eksternal. Internal, ternyata tali tempat
berpegangan mereka, yaitu budaya adat dan Islam itu sendiri, sudah banyak
yang dilepas tak bertali, sehingga banyak adat dan agama itu banyak yang
tinggal hanya formalitasnya. Rata-rata generasi muda sekarang tak lagi mengetahui
isi dan inti hakikat dari budaya ABS-SBK itu.
Eksternal, dalam pakaian hidup
sehari-hari mereka sudah lebih banyak melihat keluar, ke ajaran nasional yang
disalurkan melalui pelajaran sifik-kewarganegaraan di sekolah-sekolah dan
jajaran budaya global melalui komputer dan jaringan teknologi hiper-canggih
lainnya sekarang ini. Semua yang memperjauh mereka dari nilai-nilai luhur
yang diajarkan oleh adat dan agama mereka.
Dengan upaya mengangkatkan
kembali nilai-nilai luhur yang dibuhul dalam bentuk filosofi hidup: ABS-SBK,
kita mengharapkan, inilah nanti yang akan menjadi suluh bendang dalam
mengangkatkan kembali marwah dan semangat juang dari suku Minang dan lalu
umumnya dalam menghadapi tantangan ke masa depan itu.
Dengan filosofi
ABS-SBK itu punya kita mengharapkan agar futurism DMDI akan bergerak menuju
ke cita luhurnya yaitu bersatunya dunia Melayu dalam genggaman ajaran Islam
dalam konteks dunia Islam. Peranan potensial dari suku Melayu Minangkabau dan
memajukan dunia Melayu dalam konteks dunia Islam ke masa depan adalah
tantangan terbesar yang kita harapkan kepada suku Minang di daerah dan
di rantau di manapun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar