Keterpecahbelahan
Ukraina
Chusnan
Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 10 Mei 2014
KRISIS Ukraina terus menyedot perhatian publik dunia menyusul
kian memanasnya suhu politik di republik terbesar eks Uni Soviet itu, akibat
semakin kuat tuntutan penduduk beretnis ataupun berbahasa Rusia terutama di
wilayah-wilayah (provinsi) timur Ukraina untuk memisahkan diri dari otoritas
Kiev.
Setelah Crimea lepas dan bergabung dengan Republik Federasi
Rusia pada Maret lalu, kini giliran Provinsi Donetsk bergolak keras menuntut
lepas dari payung kekuasaan Ukraina. Awal Mei lalu, kaum separatis bersenjata
beretnis Rusia memproklamasikan pembentukan Republik Rakyat Donetsk dan
berencana menggelar refernedum pada 11 Mei mendatang guna menentukan atau
memastikan keterpisahan Donnetsk dari Kiev.
Tentu, langkah kelompok separatis Donetsk pro-Rusia ini
dikhawatirkan bisa mengacaubalaukan pemilihan presiden (pilpres) Ukraina yang
akan diselenggarakan pada 25 Mei mendatang. Provinsi Donetsk memang bukanlah
provinsi besar. Luas keseluruhan teritorialnya hanya sekitar 83 km2 dengan
total penduduk saat ini 1.100.700 jiwa. Provinsi Donetsk membawahi 9
pemerintah daerah setingkat kabupaten.
Namun Donetsk dikenal memiliki pesona alam sangat indah dan
menakjubkan. Wisata sungai dalam kota dan wisata danau menjadi magnet
kuat menggaet wisatawan domestik
ataupun mancanegara. Sektor pariwisata di Donetsk dan di provinsi lain di
Ukraina pada umumnya memang berpotensi besar untuk dijadikan salah satu
sektor andalan dalam rangka mengatasi keterpurukan ekonomi nasional.
Tetapi Donetsk terlanjur bergolak dan tinggal menunggu hari saja
lepas dari yurisdiksi Ukraina. Jika referendum 11 Mei jadi digelar hampir
dipastikan mayoritas suara menyatakan setuju Donetsk lepas dari Kiev. Lebih
dari 50% penduduk Donetsk beretnis dan berbahasa Rusia.
Pertanyaannya, mengapa disintegrasi Ukraiana berlanjut? Sekurang-kurangnya
ada dua alasan. Pertama; kemelemahan pemerintahan interim Ukraina di bawah
Presiden Oleksandr Turchynov dan Perdana Menteri Arseniy Yatsenyuk.
Kemelemahan pemerintahan interim tersebut selain termanifestasi oleh
ketidakberdayaannya menggalang kekompakan aparat keamanan.
Bantuan IMF
Kondisi itu terlibat baik pada jajaran militer ataupun
kepolisian dalam menghadapi kaum separatis bersenjata pro-Rusia, ditambah
tiadanya ketercukupan anggaran untuk menjalankan kemudi pemerintahan.
Pemecatan sejumlah komandan militer ataupun polisi beberapa waktu lalu
mennyiratkan tiadanya kemampuan pemerintah interim menciptakan kekompakan
aparat keamanan dimaksud.
Di pihak lain, Barat (Uni Eropa dan Amerika Serikat) yang
notabene pendukung Ukraina tak kunjung memberikan bantuan militer secara
konkret kepada Kiev. Penerjunan pasukan North Atlantic Treaty Organization
(NATO) untuk menggelar latihan militer di Rumania, Hungaria, Polandia, dan
kawasan Baltik Januari-Februari tak lebih hanya semacam gertak sambal terhadap Rusia.
Adapun tiadanya ketercukupan anggaran tergambar dengan keputusan
Presiden Turchynov meminta bantuan keuangan kepada International Monetary
Fund (IMF). Awal Mei lalu Direktur Pelaksana IMF Christine Largade
mengumumkan akan segera mengucurkan dana bantuan 18,2 miliar dolar AS guna
membantu pemerintahan interim Ukraina menstabilkan perekonomian nasional di
tengah gejolak politik, khususnya di wilayah timur negeri.
Kedua; kuatnya tekanan politik dan militer Rusia terhadap Kiev.
Kremlin berkali-kali membantah tuduhan Kiev akan perannya sebagai provokator
dalam krisis Ukraina hingga membuat kelompok separatis pro-Rusia di
wilayah-wilayah Timur Ukraina makin menggelegak untuk menggerakkan aksi-aksi memisahkan diri dari
Kiev.
Namun keberadaan pria-pria berbadan kekar bersenjata, bertutup
kepala, berbahasa Rusia dan
terorganisasi rapi di wilayah-wilayah yang bergolak, mengindikasikan tuduhan
Kiev cukup beralasan, dan bantahan
Moskow hanyalah upaya untuk berkelit.
Jadi, tak diragukan Rusia benar-benar terlibat dalam aksi-aksi
kelompok separatis bersenjata di wilayah-wilayah Ukraina Timur untuk
memisahkan diri dari Kiev. Apalagi pada Maret lalu Negeri Tirai Besi itu
mengubah hukum dan undang-undang untuk memungkinkan Rusia mengintervensi
negara-negara eks Soviet guna melindungi warga negara beretnis ataupun
berbahasa Rusia (SM, 2/5/14). Rusia mendukung 100 persen wilayah-wilayah
Ukraina Timur berpenduduk mayoritas etnis Rusia membentuk republik-republik
sendiri, terpisah dari otoritas Kiev yang berkiblat ke Barat.
Bagi Negeri Beruang Merah itu, setelah orang kepercayaannya di
Kiev (Presiden Viktor Yanukovych) dilengserkan, lebih baik Ukraina
dipecah-belah menjadi republik-republik kecil pro-Moskow ketimbang tetap utuh
tapi menjadi antek Barat. Setelah Crimea dan Donetsk lepas, tak menutup
kemungkinan sejumlah provinsi lain di Ukraina Tiumur, seperti Odessa,
Lougansk, dan Kharkiv segera menyusul. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar