Ekses
Pemilu Legislatif
Slamet
Sudjono ; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Untag Semarang, Anggota
KPU Jawa Tengah 2003-2008
|
SUARA
MERDEKA, 09 Mei 2014
TANPA mengurangi apresiasi terhadap keberhasilan penyelenggaraan
pileg 9 April lalu, termasuk pemublikasian hasil kontestasi itu, masyarakat
masih melihat sejumlah ekses. Mengemukakan ekses menjadi penting supaya
menjadi catatan bersama sehingga ke depan penyelenggaraan pemilu bisa lebih
baik lagi. Minimal ada lima ekses dalam penyelenggaraan yang perlu
pembenahan. Pertama; praktik politik uang. Baik hasil beberapa survei maupun
observasi di lapangan menunjukkan praktik politik uang justru makin merebak.
Ibarat virus, penyebarannya sudah sampai kondisi darurat. Siapa yang salah?
Sudah menjadi budaya masyarakatkah, dampak sistem, atau kedua-duanya?
Sebagai pembanding, semasa Orba sejak Pemilu 1971 sampai 1997,
hampir tidak pernah terdengar isu politik uang. Faktor one party dominant
menyebabkan peserta pemilu, yaitu PPP dan PDI (kini PDIP) menjadi tidak
berdaya menghadapi dominasi Golkar. Bahkan golongan itu diprediksi menang
berkat dukungan keluarga besar Golkar, yang terdiri atas jalur A (ABRI), B
(birokrat/ pemerintah), dan G (Golkar). Berikutnya adalah sistem pemilu
proporsional mendasarkan nomor urut sehingga otoritas penuh keterpilihan
caleg ada pada partai. Andai caleg populer ditaruh pada nomor urut kecil itu
lebih bersifat vote getter dan hanya dimiliki Golkar. Sistem ini dirasakan
lebih oligarkis karena dominasi partai lebih kuat.
Faktor selanjutnya, pemilih dimobilisasi secara sistematis oleh
A(ABRI), B (birokrat), dan G (Golkar) untuk memilih Golkar. Secara teknis dan
ideologis, pemilih pun lebih mudah karena hanya ada 3 pilihan kontestan dan
itu membuat mereka lebih mudah dimobilisasi guna menentukan pilihan. Artinya
sistem itu tidak membuka ruang bagi berkembangnya isu politik uang, apalagi
transaksional, sekalipun banyak dampak buruknya, antara lain tidak demokratis.
Kedua; penggelembungan suara. Penggelembungan suara diprediksi terjadi sejak
penghitungan di KPPS atau rekapitulasi di PPS dan seterusnya. Pada Pemilu
2004 semasa berlangsung sistem proporsional dengan nomor urut, sepertinya tak
pernah terdengar isu penggelembungan suara, walaupun mungkin ada. Faktornya
adalah rekapitulasi penghitungan suara hanya untuk partai sehingga tiap kader
partai satu komando untuk mengamankan suara partainya. Sejak Pemilu 2009,
sistem proporsional dengan suara terbanyak menyebabkan kontestasi ketat
antarpartai sekaligus persaingan ketat antarcaleg separtai. Padahal
penghitungan kursi ditentukan oleh perolehan partai, dan keterpilihan caleg
mendasarkan perolehan suara terbanyak.
Hal itu mendorong oknum caleg menghalalkan segala cara, salah
satunya berpolitik uang, dan menyuap oknum penyelenggara. Celah itu
dimanfaatkan untuk menggelembungkan perolehan suara, terutama pada internal
partai karena lebih aman dan menghindari pengawalan saksi andai memanipulasi
perolehan suara dari partai lain. Saksi partai tampaknya pun tidak bisa
menghindar untuk tunggal mengawal suara partai, apalagi bila ada pesanan dari
caleg tertentu akibat persaingan ketat internal. Tidak Rasional Ketiga;
bergugurannya caleg yang berasal dari partai. Menjadi ironi ketika pemilu
yang pesertanya adalah partai tapi kader partai malah berguguran. Dilemanya
adalah partai butuh loyalitas kader di samping ”amunisi”. Apabila yang
terpilih adalah caleg ”penumpang baru”, nantinya lebih sulit mengharapkan
dedikasi dan kontribusinya walaupun tidak semua mengingat partai juga butuh
keduanya: ya kader ya ”amunisi”. Keempat; alternatif pilihan DCT yang tidak
rasional.
Dalam tiap pileg, pemilih kurang lebih dituntut memilih satu di
antara 70 caleg DPR, satu di antara 100 caleg DPRD provinsi, dan satu di
antara 80 caleg DPRD kabupaten/kota, serta satu di antara 32 calon DPD (Pileg
2014) tanpa dukungan referensi yang objektif, kecuali kampanya sepihak para
caleg yang penuh janji kosong. Kelima; peran bupati/wali kota sebagai kader partai,
atau mereka yang jadi diusung oleh partai, sedikit banyak berperan dalam
memengaruhi PNS dan perangkat desa untuk mendukung kemenangan partai atau
caleg pilihannya: bisa istri, anak, saudara, atau orang dekat. Lantas apa
bedanya dengan ”tindak administrasi birokrasi” pada masa Orba. Kita melihat
hanya beda tipis, selain sekarang ada ruang kebebasan dan kesamaan hak
politik, ada keragamaan karena tidak semua bupati/ wali kota dari satu
partai. Namun itu sejatinya sama, masing-masing membela kepentingan
partainya.
Hal itu serupa dengan peran bupati/wali kota semasa Orba sebagai
dewan pembina Golkar. Jadi, selain melaksanakan tugas sebagai kepala daerah,
ia mengemban amanat memenangkan Keluarga Besar Golkar (KBG). Penyelesaian
atas lima ekses yang timbul itu menjadi tanggung jawab bersama, dan kita
melihat fenomena itu dari perpaduan antara dampak sistem dan kesadaran
politik pada masyarakat. Semua bersumber dari penerapan sistem proporsional
terbuka dengan pola pemilihan partai dan caleg tapi keterpilihan caleg
mendasarkan perolehan suara terbanyak, dan ini menjadi persoalan. Karena itu,
semua pihak perlu membenahi celah-celah kekurangan itu pada masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar