Minggu, 11 Mei 2014

Ekses Pemilu Legislatif

Ekses Pemilu Legislatif

Slamet Sudjono  ;   Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Untag Semarang, Anggota KPU Jawa Tengah 2003-2008
SUARA MERDEKA, 09 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
TANPA mengurangi apresiasi terhadap keberhasilan penyelenggaraan pileg 9 April lalu, termasuk pemublikasian hasil kontestasi itu, masyarakat masih melihat sejumlah ekses. Mengemukakan ekses menjadi penting supaya menjadi catatan bersama sehingga ke depan penyelenggaraan pemilu bisa lebih baik lagi. Minimal ada lima ekses dalam penyelenggaraan yang perlu pembenahan. Pertama; praktik politik uang. Baik hasil beberapa survei maupun observasi di lapangan menunjukkan praktik politik uang justru makin merebak. Ibarat virus, penyebarannya sudah sampai kondisi darurat. Siapa yang salah? Sudah menjadi budaya masyarakatkah, dampak sistem, atau kedua-duanya?

Sebagai pembanding, semasa Orba sejak Pemilu 1971 sampai 1997, hampir tidak pernah terdengar isu politik uang. Faktor one party dominant menyebabkan peserta pemilu, yaitu PPP dan PDI (kini PDIP) menjadi tidak berdaya menghadapi dominasi Golkar. Bahkan golongan itu diprediksi menang berkat dukungan keluarga besar Golkar, yang terdiri atas jalur A (ABRI), B (birokrat/ pemerintah), dan G (Golkar). Berikutnya adalah sistem pemilu proporsional mendasarkan nomor urut sehingga otoritas penuh keterpilihan caleg ada pada partai. Andai caleg populer ditaruh pada nomor urut kecil itu lebih bersifat vote getter dan hanya dimiliki Golkar. Sistem ini dirasakan lebih oligarkis karena dominasi partai lebih kuat.

Faktor selanjutnya, pemilih dimobilisasi secara sistematis oleh A(ABRI), B (birokrat), dan G (Golkar) untuk memilih Golkar. Secara teknis dan ideologis, pemilih pun lebih mudah karena hanya ada 3 pilihan kontestan dan itu membuat mereka lebih mudah dimobilisasi guna menentukan pilihan. Artinya sistem itu tidak membuka ruang bagi berkembangnya isu politik uang, apalagi transaksional, sekalipun banyak dampak buruknya, antara lain tidak demokratis. Kedua; penggelembungan suara. Penggelembungan suara diprediksi terjadi sejak penghitungan di KPPS atau rekapitulasi di PPS dan seterusnya. Pada Pemilu 2004 semasa berlangsung sistem proporsional dengan nomor urut, sepertinya tak pernah terdengar isu penggelembungan suara, walaupun mungkin ada. Faktornya adalah rekapitulasi penghitungan suara hanya untuk partai sehingga tiap kader partai satu komando untuk mengamankan suara partainya. Sejak Pemilu 2009, sistem proporsional dengan suara terbanyak menyebabkan kontestasi ketat antarpartai sekaligus persaingan ketat antarcaleg separtai. Padahal penghitungan kursi ditentukan oleh perolehan partai, dan keterpilihan caleg mendasarkan perolehan suara terbanyak.

Hal itu mendorong oknum caleg menghalalkan segala cara, salah satunya berpolitik uang, dan menyuap oknum penyelenggara. Celah itu dimanfaatkan untuk menggelembungkan perolehan suara, terutama pada internal partai karena lebih aman dan menghindari pengawalan saksi andai memanipulasi perolehan suara dari partai lain. Saksi partai tampaknya pun tidak bisa menghindar untuk tunggal mengawal suara partai, apalagi bila ada pesanan dari caleg tertentu akibat persaingan ketat internal. Tidak Rasional Ketiga; bergugurannya caleg yang berasal dari partai. Menjadi ironi ketika pemilu yang pesertanya adalah partai tapi kader partai malah berguguran. Dilemanya adalah partai butuh loyalitas kader di samping ”amunisi”. Apabila yang terpilih adalah caleg ”penumpang baru”, nantinya lebih sulit mengharapkan dedikasi dan kontribusinya walaupun tidak semua mengingat partai juga butuh keduanya: ya kader ya ”amunisi”. Keempat; alternatif pilihan DCT yang tidak rasional.

Dalam tiap pileg, pemilih kurang lebih dituntut memilih satu di antara 70 caleg DPR, satu di antara 100 caleg DPRD provinsi, dan satu di antara 80 caleg DPRD kabupaten/kota, serta satu di antara 32 calon DPD (Pileg 2014) tanpa dukungan referensi yang objektif, kecuali kampanya sepihak para caleg yang penuh janji kosong. Kelima; peran bupati/wali kota sebagai kader partai, atau mereka yang jadi diusung oleh partai, sedikit banyak berperan dalam memengaruhi PNS dan perangkat desa untuk mendukung kemenangan partai atau caleg pilihannya: bisa istri, anak, saudara, atau orang dekat. Lantas apa bedanya dengan ”tindak administrasi birokrasi” pada masa Orba. Kita melihat hanya beda tipis, selain sekarang ada ruang kebebasan dan kesamaan hak politik, ada keragamaan karena tidak semua bupati/ wali kota dari satu partai. Namun itu sejatinya sama, masing-masing membela kepentingan partainya.

Hal itu serupa dengan peran bupati/wali kota semasa Orba sebagai dewan pembina Golkar. Jadi, selain melaksanakan tugas sebagai kepala daerah, ia mengemban amanat memenangkan Keluarga Besar Golkar (KBG). Penyelesaian atas lima ekses yang timbul itu menjadi tanggung jawab bersama, dan kita melihat fenomena itu dari perpaduan antara dampak sistem dan kesadaran politik pada masyarakat. Semua bersumber dari penerapan sistem proporsional terbuka dengan pola pemilihan partai dan caleg tapi keterpilihan caleg mendasarkan perolehan suara terbanyak, dan ini menjadi persoalan. Karena itu, semua pihak perlu membenahi celah-celah kekurangan itu pada masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar