Amandemen
Ulang UUD 1945
Bambang
Sadono ; Calon anggota DPD, Wakil Ketua DPRD Jateng,
Dosen Program Magister Hukum Universitas Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 10 Mei 2014
“Gerakan bisa dimulai
dengan memperbanyak wacana publik, baik lewat media maupun diskusi di
masyarakat, lembaga politik, atau kampus”
SALAH satu pesan dari para senior Pepabri, PP Polri, dan LVRI
Kabupaten Purworejo ketika saya meminta dukungan sewaktu mencalonkan diri
sebagai anggota DPD adalah kesediaan membawa aspirasi untuk kembali
mengamendemen UUD 1945. Sebenarnya, kegelisahan berkait hasil amendemen
terkini, yang sebagian dianggap kebablasan, juga saya dengar dari berbagai
kalangan.
Selain sebagai sesuatu yang normal, keinginan untuk kembali
mengubah UUD 1945 pun konstitusional dan demokratis kendati harus melewati
proses panjang dan tidak sederhana. Keinginan mengamendemen itu terkait Pasal
37 antara lain Ayat (1) mengenai usul perubahan pasal-pasal UUD dapat
diagendakan dalam sidang MPR bila diajukan sekurang-kurangnya sepertiga dari
jumlah anggota majelis, dan Ayat (2) yaitu usul perubahan pasal-pasal UUD
diajukan secara tertulis dan ditunjukkan bagian yang diusulkan diubah beserta
alasannya.
Melihat prosedur konstitusionalnya, apa pun muatan amendemen
ulang nanti, sebuah agenda harus dilakukan simultan, yakni pertama;
menyosialisasikan gagasan supaya bisa diterima dan didukung minimal sepertiga
anggota MPR hasil Pemilu 2014, yakni sekitar 231 dari 692 anggota.
Kedua; mempersiapkan materi atau bagian yang ingin diubah
berikut alasan-asalannya, semacam naskah akademik yang mendasari perubahan
itu. Untuk hal pertama, dibutuhkan
kebersamaan guna meyakinkan legislator yang baru terpilih, baik calon anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Melihat
ancangan perubahan seperti dipandu Pasal 37 UUD 1945, gagasan paling radikal
untuk kembali ke UUD 1945 asli, yang berarti mengamendemen seluruh (empat
kali) perubahan, yakni pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, agaknya sulit
dilakukan. Kecil kemungkinan mengajukan amendemen dengan mengubah seluruh
pasal yang telah diubah.
Yang lebih moderat adalah mengajukan perubahan secara
fundamental terhadap pengaturan sendi-sendi kehidupan negara, baik konsep,
institusi pelaksana, maupun sistem dan tata kerjanya. Opsi ini lebih masuk
akal, sebab selain mengakui banyak hal yang masih belum memuaskan dari hasil
amendemen yang telah dilakukan, juga ada pengakuan dan penghormatan bahwa tak
sedikit hal yang baik dan bermanfaat.
Setidak-tidaknya semangat fundamental untuk mewujudkan sistem
ketatanegaraan yang lebih demokratis dan melindungi hak asasi manusia.
Walaupun setelah lebih dari 10 tahun dilaksanakan amendemen tersebut
meninggalkan berbagai permasalahan yang solusi strategisnya bisa dilakukan
dengan kembali mengubah atau menyempurnakan UUD 1945 itu.
Penyempurnaan Kembali
Pasti akan ada banyak hal dan gagasan, bagian mana yang perlu
diamendemen ulang. Misal termuat dalam Pokok-pokok Pikiran Forum Bersama Kaji
Ulang Perubahan UUD 1945 yang antara lain diteken mantan wapres Try Sutrisno, yang antara
lain berisi, pertama; dari segi konsep selama 15 tahun reformasi telah
terjadi perubahan nilai-nilai Pancasila menjadi sistem kehidupan yang cenderung
lebih liberalistik. Ini yang kemudian menuntut penyempurnaan kembali, semisal
pasal-pasal sistem perekonomian, sistem pemilu, dan sebagainya.
Kedua; secara institusional amendemen terhadap lembaga tinggi
dan tertinggi negara telah menjadikan lembaga itu, termasuk lembaga baru yang
dikreasi bukan saja hanya kontraproduktif melainkan juga menambah persoalan.
Misalnya perubahan MPR yang semula memegang posisi sebagai lembaga pengemban
kedaulatan rakyat sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi
negara biasa. Juga pro-kontra dihapuskannya konsep mengenai GBHN.
Ketiga; kehadiran lembaga tinggi negara, seperti DPD dan Komisi
Yudisial (KY), yang banyak dinilai tidak diberi peran maksimal sehingga bisa
berkontribusi optimal. Posisi Mahkamah Konstitusi (MK) juga banyak
dipersoalkan karena hampir sama seperti lembaga tinggi negara lain, dan tidak
jelas harus bertanggung jawab kepada siapa.
Keempat; dari segi sistem, amendemen yang sudah dilakukan, tidak
mampu merekonstruksi kejelasan arah dan bentuk pemerintahan yang
ingin dibangun: presidensial atau parlementer. Belum lagi sistem otda yang
menimbulkan berbagai ekses kontraproduktif, jauh dari harapan mempercepat
pemerataan pembangunan dan perwujudan kesejahteraan rakyat.
Sambil menjalankan agenda menata konsep dan gagasan materi
perubahan, persyaratan formal proseduralnya juga harus dirancang. Minimal
butuh 231 tanda tangan anggota baru DPR dan DPD. Artinya, pemangku
kepentingan amendemen ulang harus secara terencana melakukan sosialiasi dan
advokasi agar para wakil rakyat menyambut gagasan perubahan dan kaji ulang
UUD 1945 itu dengan penuh semangat.
Gerakan bisa dimulai dengan memperbanyak wacana publik, baik
melalui media maupun grup diskusi di masyarakat, lembaga politik, atau kalangan
perguruan tinggi. Gagasan harus bisa dikerucutkan jadi satu naskah mencakup
seluruh gagasan, yang disistematisasikan sehingga menjadi daftar isian
masalah (DIM). Daftar itu bisa disandingkan dengan pasal-pasal yang ingin
diubah, draf perubahan, atau bahkan usulan draf pasal baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar