Minggu, 11 Mei 2014

Amandemen Ulang UUD 1945

Amandemen Ulang UUD 1945

Bambang Sadono  ;   Calon anggota DPD, Wakil Ketua DPRD Jateng,
Dosen Program Magister Hukum Universitas Semarang
SUARA MERDEKA, 10 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
“Gerakan bisa dimulai dengan memperbanyak wacana publik, baik lewat media maupun diskusi di masyarakat, lembaga politik, atau kampus”

SALAH satu pesan dari para senior Pepabri, PP Polri, dan LVRI Kabupaten Purworejo ketika saya meminta dukungan sewaktu mencalonkan diri sebagai anggota DPD adalah kesediaan membawa aspirasi untuk kembali mengamendemen UUD 1945. Se­be­nar­nya, kegelisahan berkait hasil amendemen terkini, yang sebagian dianggap kebablasan, juga saya dengar dari berbagai kalangan.

Selain sebagai sesuatu yang normal, keinginan untuk kembali mengubah UUD 1945 pun konstitusional dan demokratis kendati harus melewati proses panjang dan tidak sederhana. Keinginan mengamendemen itu terkait Pasal 37 antara lain Ayat (1) mengenai usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR bila diajukan sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota majelis, dan Ayat (2) yaitu usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan bagian yang diusulkan diubah beserta alasannya.

Melihat prosedur konstitusionalnya, apa pun muatan amendemen ulang nanti, sebuah agenda harus dilakukan simultan, yakni pertama; menyosialisasikan gagasan supaya bisa diterima dan didukung minimal sepertiga anggota MPR hasil Pemilu 2014, yakni sekitar 231 dari 692 anggota.

Kedua; mempersiapkan materi atau bagian yang ingin diubah berikut alasan-asalannya, semacam naskah akademik yang mendasari perubahan itu. Untuk  hal pertama, dibutuhkan kebersamaan guna meyakinkan legislator yang baru terpilih, baik calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Melihat ancangan perubahan seperti dipandu Pasal 37 UUD 1945, gagasan paling radikal untuk kembali ke UUD 1945 asli, yang berarti mengamendemen seluruh (empat kali) perubahan, yakni pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, agaknya sulit dilakukan. Kecil kemungkinan mengajukan amendemen dengan mengubah seluruh pasal yang telah diubah.

Yang lebih moderat adalah mengajukan perubahan secara fundamental terhadap pengaturan sendi-sendi kehidupan negara, baik konsep, institusi pelaksana, maupun sistem dan tata kerjanya. Opsi ini lebih masuk akal, sebab selain mengakui banyak hal yang masih belum memuaskan dari hasil amendemen yang telah dilakukan, juga ada pengakuan dan penghormatan bahwa tak sedikit hal yang baik dan bermanfaat.

Setidak-tidaknya semangat fundamental untuk mewujudkan sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis dan melindungi hak asasi manusia. Walaupun setelah lebih dari 10 tahun dilaksanakan amendemen tersebut meninggalkan berbagai permasalahan yang solusi strategisnya bisa dilakukan dengan kembali mengubah atau menyempurnakan UUD 1945 itu.

Penyempurnaan Kembali

Pasti akan ada banyak hal dan gagasan, bagian mana yang perlu diamendemen ulang. Misal termuat dalam Pokok-pokok Pikiran Forum Bersama Kaji Ulang Perubahan UUD 1945 yang antara lain diteken  mantan wapres Try Sutrisno, yang antara lain berisi, pertama; dari segi konsep selama 15 tahun reformasi telah terjadi perubahan nilai-nilai Pancasila menjadi sistem kehidupan yang cenderung lebih liberalistik. Ini yang kemudian menuntut penyempurnaan kembali, semisal pasal-pasal sistem perekonomian, sistem pemilu, dan sebagainya.

Kedua; secara institusional amendemen terhadap lembaga tinggi dan tertinggi negara telah menjadikan lembaga itu, termasuk lembaga baru yang dikreasi bukan saja hanya kontraproduktif melainkan juga menambah persoalan. Misalnya perubahan MPR yang semula memegang posisi sebagai lembaga pengemban kedaulatan rakyat sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara biasa. Juga pro-kontra dihapuskannya konsep mengenai GBHN.

Ketiga; kehadiran lembaga tinggi negara, seperti DPD dan Komisi Yudisial (KY), yang banyak dinilai tidak diberi peran maksimal sehingga bisa berkontribusi optimal. Posisi Mahkamah Konstitusi (MK) juga banyak dipersoalkan karena hampir sama seperti lembaga tinggi negara lain, dan tidak jelas harus bertanggung jawab kepada siapa.   Keempat; dari segi sistem, amendemen yang sudah dilakukan, tidak mampu  merekonstruksi  kejelasan arah dan bentuk pemerintahan yang ingin dibangun: presidensial atau parlementer. Belum lagi sistem otda yang menimbulkan berbagai ekses kontraproduktif, jauh dari harapan mempercepat pemerataan pembangunan dan perwujudan kesejahteraan rakyat.

Sambil menjalankan agenda menata konsep dan gagasan materi perubahan, persyaratan formal proseduralnya juga harus dirancang. Minimal butuh 231 tanda tangan anggota baru DPR dan DPD. Artinya, pemangku kepentingan amendemen ulang harus secara terencana melakukan sosialiasi dan advokasi agar para wakil rakyat menyambut gagasan perubahan dan kaji ulang UUD 1945 itu dengan penuh semangat.

Gerakan bisa dimulai dengan memperbanyak wacana publik, baik melalui media maupun grup diskusi di masyarakat, lembaga politik, atau kalangan perguruan tinggi. Gagasan harus bisa dikerucutkan jadi satu naskah mencakup seluruh gagasan, yang disistematisasikan sehingga menjadi daftar isian masalah (DIM). Daftar itu bisa disandingkan dengan pasal-pasal yang ingin diubah, draf perubahan, atau bahkan usulan draf pasal baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar