Selasa, 20 Mei 2014

Jendela Terbuka Bernama BIPA

Jendela Terbuka Bernama BIPA

Sudaryanto  ;   Pengajar Tamu Bahasa Indonesia di Guangxi University for Nationalities dan Xiangsihu College, Nanning, Guangxi, Tiongkok
HALUAN,  19 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Bahasa merupakan jendela informasi dunia. Demikian ung­kapan bijak yang pernah kita dengar. Sebagai pengajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing atau BIPA, penulis betul-betul mengamini ungkapan bijak tersebut. Pasalnya, melalui bahasa Indonesia, saya memperoleh informasi yang cukup banyak, terutama tentang masyarakat Tionghoa di Tiongkok. Perta­nyaannya kini, informasi apa-apa saja yang dapat diperoleh sekaligus dicatat di sini?

Pertama, perihal beda waktu antara Indonesia dan Tiongkok. Sekalipun hal itu terlihat sepele, tapi banyak orang sering menanyakannya kepada saya, baik lewat SMS, facebook, maupun surat elek­tronik (e-mail). Ternyata, beda waktu antara Indonesia dan Tiongkok berkisar satu jam. Misalnya, waktu di Jakarta (WIB) menunjukkan pukul 07.30, sementara waktu di Tiongkok berada di pukul 08.30, satu jam lebih cepat atau mirip Waktu Indonesia Tengah (WITA).

Terkait itu, saya pun memperoleh informasi dari mahasiswa saya, Intan atau Xiang Jia Hua, bahwa waktu di seluruh daerah di Tiongkok sama. Sewaktu saya dan istri berlibur ke Kota Beijing pada Februari lalu, waktu di hand­phone saya sama dengan waktu di Kota Nanning, tempat tinggal kami saat ini. Padahal, Kota Beijing terletak di sebelah utara, sementara Kota Nanning terletak di sebelah selatan yang sangat dekat dengan Vietnam.

Perihal Keluarga Tionghoa

Kedua, perihal nama dan garis keturunan masyarakat Tionghoa di Tiongkok. Melalui perkuliahan Percakapan Bahasa Indonesia II, saya peroleh informasi dari mahasiswa saya, Permata atau Wu Junhong, perihal nama dan garis keturunannya sebagai orang Tiong­hoa. Dia bercerita dalam bahasa Indonesia, namanya (Wu Junhong) dan nama adiknya, Wu Fengcheng mengi­kuti nama keluarga dari ayahnya, Wu Junwei.

Dalam pelajaran Antropologi di SMA dulu, saya masih ingat bahwa menarik garis ketu­runan dari ayah disebut sebagai patrilineal. Di Indo­nesia, suku Batak meru­pakan salah satu suku bangsa yang menganut prinsip patrilineal, artinya menarik garis ketu­runan dari ayah, mirip dengan ma­syarakat Tionghoa di Tiongkok. Lain halnya dengan suku Minang­kabau yang menganut prinsip matrilineal, artinya menarik garis keturunan dari ibu.

Ketiga, terkait poin kedua, perihal jumlah anak atau keturunan dalam masyarakat Tionghoa di Tiongkok. Adagium “banyak anak banyak rezeki” pernah dianut oleh masyarakat Tionghoa, baik yang peranakan di Indonesia maupun yang tinggal di Tiongkok. Tetangga saya di Bekasi punya lima orang anak. Di Tiongkok sendiri, lewat cerita mahasiswa saya, ada keluarga yang ayah atau ibunya memiliki empat-lima orang saudara kandung.

Lewat cerita mahasiswa juga, saya peroleh informasi bahwa Pemerintah Tiongkok menerapkan aturan “satu keluarga satu anak” di tahun 1990-an. Tapi, belakangan aturan tersebut direvisi. Apabila ayah dan ibu merupakan anak tunggal (anak semata wayang), maka mereka boleh memiliki dua anak. Tapi, jika ayah dan ibu memiliki saudara kandung lebih dari satu atau banyak, maka mereka hanya boleh memiliki satu anak.

Keempat, perihal pekerjaan orang tua. Umumnya, peker­jaan orang tua mahasiswa saya, baik di kampus Guangxi University for Nationalities (GXUN) maupun di kampus Xiangsihu College, sebagai pengusaha, dokter, dan pegawai bank. Dilihat dari strata sosial-ekonomi, rata-rata mereka tergolong keluarga menengah atau berkecukupan. Meskipun begitu, ada juga mahasiswa saya yang sangat giat untuk bekerja sampingan guna memperoleh tambahan uang.

Selain itu, ada hal menarik yang patut dicermati bahwa sebagian besar mahasiswa saya yang belajar bahasa Indonesia ternyata tertarik untuk membuka peluang bisnis di Indo­nesia. Jika sang ayah me­rupakan pengusaha mebel di Tiongkok, misalnya, kelak anaknya disuruh untuk mem­buka peluang bisnis yang sama di Indonesia. Karena itu, anaknya akan dengan tekun belajar bahasa Indonesia agar mudah bernegosiasi atau menjalin kerja sama dengan orang kita.

Perihal Dunia Sekolah

Kelima, perihal kegiatan belajar di sekolah. Mahasiswa saya, Hendri atau He Qinan, bercerita tentang penga­la­mannya bersekolah dulu. Katanya, dia belajar di sekolah sejak pukul 07.50 sampai dengan pukul 12.00. Kemudian, dari pukul 12.00 hingga pukul 14.30, ia beristirahat di rumah. Selanjutnya, dari pukul 14.30 sampai dengan pukul 17.40, ia belajar lagi di sekolah. Pulang ke rumah untuk mandi dan kembali ke sekolah pada pukul 19.50 sampai dengan pukul 22.10.

Saya tergelitik untuk bertanya kepadanya. “Kamu tidak bosan belajar terus, Hendri?” tanya saya. Dia pun menjawab spontan, “Ya, sangat bosan, Pak.” Saya pun me­nyambungnya, “Meski bosan tapi harus dijalani ya.” Hendri memanggut-manggutkan kepala seraya tersenyum kecil. Ya, begitulah potret kegiatan belajar anak-anak di Tiongkok. Bagi Hendri dan seluruh anak di Tiongkok, potret masa kecil hingga remaja hanya diisi kegiatan tunggal bernama belajar!

Potret serupa juga terjadi di bangku kuliah. Mahasiswa saya di Jurusan Bahasa Indonesia GXUN tak hanya mengikuti mata kuliah-mata kuliah yang berkaitan dengan bahasa Indonesia, tetapi juga mata kuliah-mata kuliah umum seperti Pemikiran Mao Zedong, Sejarah Tiongkok, dan Hubungan Indonesia-Tiongkok. Juga, mereka diwajibkan mengikuti mata kuliah di bidang olah raga, kesenian, dan bahasa asing lainnya.

Bisa Anda bayangkan, betapa padatnya kegiatan belajar para siswa dan mahasiswa S-1 di Tiongkok. Mereka pun terkondisikan untuk belajar, belajar, dan belajar. Namun begitu, mereka juga menjadwalkan untuk berolah raga setiap sore hari. Tak ayal, para mahasiswa di Tiongkok memiliki fisik kuat dan prima karena rutin berolah raga dan memakan makanan yang bergizi. Pun, mereka memiliki waktu istirahat yang cukup di sela-sela kegiatan belajar di sekolah atau kampus.

Akhir kata, kelima infor­masi yang saya peroleh di atas berkat dan/atau melalui pembe­lajaran BIPA yang saya ampu di kelas. Melalui bahasa Indonesia, para mahasiswa saya asal Tiongkok dapat bercerita banyak hal kepada saya. Sebaliknya, melalui bahasa Indonesia pula dan sedikit bahasa Mandarin, saya dapat bercerita tentang Indonesia kepada mereka. Barangkali, inilah yang saya sebut sebagai “simbiosis mutualisme BIPA”. Bagaimana pendapat Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar