Jendela
Terbuka Bernama BIPA
Sudaryanto ;
Pengajar Tamu Bahasa Indonesia di
Guangxi University for Nationalities dan Xiangsihu College, Nanning, Guangxi,
Tiongkok
|
HALUAN,
19 Mei 2014
Bahasa merupakan jendela informasi dunia. Demikian ungkapan bijak yang
pernah kita dengar. Sebagai pengajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing atau
BIPA, penulis betul-betul mengamini ungkapan bijak tersebut. Pasalnya,
melalui bahasa Indonesia, saya memperoleh informasi yang cukup banyak,
terutama tentang masyarakat Tionghoa di Tiongkok. Pertanyaannya kini,
informasi apa-apa saja yang dapat diperoleh sekaligus dicatat di sini?
Pertama, perihal beda waktu
antara Indonesia dan Tiongkok. Sekalipun hal itu terlihat sepele, tapi banyak
orang sering menanyakannya kepada saya, baik lewat SMS, facebook, maupun surat elektronik
(e-mail). Ternyata, beda waktu
antara Indonesia dan Tiongkok berkisar satu jam. Misalnya, waktu di Jakarta
(WIB) menunjukkan pukul 07.30, sementara waktu di Tiongkok berada di pukul
08.30, satu jam lebih cepat atau mirip Waktu Indonesia Tengah (WITA).
Terkait itu, saya pun
memperoleh informasi dari mahasiswa saya, Intan atau Xiang Jia Hua, bahwa
waktu di seluruh daerah di Tiongkok sama. Sewaktu saya dan istri berlibur ke
Kota Beijing pada Februari lalu, waktu di handphone saya sama dengan waktu di
Kota Nanning, tempat tinggal kami saat ini. Padahal, Kota Beijing terletak di
sebelah utara, sementara Kota Nanning terletak di sebelah selatan yang sangat
dekat dengan Vietnam.
Perihal Keluarga Tionghoa
Kedua, perihal nama dan garis
keturunan masyarakat Tionghoa di Tiongkok. Melalui perkuliahan Percakapan
Bahasa Indonesia II, saya peroleh informasi dari mahasiswa saya, Permata atau
Wu Junhong, perihal nama dan garis keturunannya sebagai orang Tionghoa. Dia
bercerita dalam bahasa Indonesia, namanya (Wu Junhong) dan nama adiknya, Wu
Fengcheng mengikuti nama keluarga dari ayahnya, Wu Junwei.
Dalam pelajaran Antropologi di
SMA dulu, saya masih ingat bahwa menarik garis keturunan dari ayah disebut
sebagai patrilineal. Di Indonesia, suku Batak merupakan salah satu suku
bangsa yang menganut prinsip patrilineal, artinya menarik garis keturunan
dari ayah, mirip dengan masyarakat Tionghoa di Tiongkok. Lain halnya dengan
suku Minangkabau yang menganut prinsip matrilineal, artinya menarik garis
keturunan dari ibu.
Ketiga, terkait poin kedua,
perihal jumlah anak atau keturunan dalam masyarakat Tionghoa di Tiongkok.
Adagium “banyak anak banyak rezeki” pernah dianut oleh masyarakat Tionghoa,
baik yang peranakan di Indonesia maupun yang tinggal di Tiongkok. Tetangga
saya di Bekasi punya lima orang anak. Di Tiongkok sendiri, lewat cerita
mahasiswa saya, ada keluarga yang ayah atau ibunya memiliki empat-lima orang
saudara kandung.
Lewat cerita mahasiswa juga,
saya peroleh informasi bahwa Pemerintah Tiongkok menerapkan aturan “satu
keluarga satu anak” di tahun 1990-an. Tapi, belakangan aturan tersebut
direvisi. Apabila ayah dan ibu merupakan anak tunggal (anak semata wayang),
maka mereka boleh memiliki dua anak. Tapi, jika ayah dan ibu memiliki saudara
kandung lebih dari satu atau banyak, maka mereka hanya boleh memiliki satu
anak.
Keempat, perihal pekerjaan
orang tua. Umumnya, pekerjaan orang tua mahasiswa saya, baik di kampus
Guangxi University for Nationalities (GXUN) maupun di kampus Xiangsihu
College, sebagai pengusaha, dokter, dan pegawai bank. Dilihat dari strata
sosial-ekonomi, rata-rata mereka tergolong keluarga menengah atau
berkecukupan. Meskipun begitu, ada juga mahasiswa saya yang sangat giat untuk
bekerja sampingan guna memperoleh tambahan uang.
Selain itu, ada hal menarik
yang patut dicermati bahwa sebagian besar mahasiswa saya yang belajar bahasa
Indonesia ternyata tertarik untuk membuka peluang bisnis di Indonesia. Jika
sang ayah merupakan pengusaha mebel di Tiongkok, misalnya, kelak anaknya
disuruh untuk membuka peluang bisnis yang sama di Indonesia. Karena itu,
anaknya akan dengan tekun belajar bahasa Indonesia agar mudah bernegosiasi atau
menjalin kerja sama dengan orang kita.
Perihal Dunia Sekolah
Kelima, perihal kegiatan
belajar di sekolah. Mahasiswa saya, Hendri atau He Qinan, bercerita tentang
pengalamannya bersekolah dulu. Katanya, dia belajar di sekolah sejak pukul
07.50 sampai dengan pukul 12.00. Kemudian, dari pukul 12.00 hingga pukul
14.30, ia beristirahat di rumah. Selanjutnya, dari pukul 14.30 sampai dengan
pukul 17.40, ia belajar lagi di sekolah. Pulang ke rumah untuk mandi dan
kembali ke sekolah pada pukul 19.50 sampai dengan pukul 22.10.
Saya tergelitik untuk bertanya
kepadanya. “Kamu tidak bosan belajar terus, Hendri?” tanya saya. Dia pun
menjawab spontan, “Ya, sangat bosan, Pak.” Saya pun menyambungnya, “Meski
bosan tapi harus dijalani ya.” Hendri memanggut-manggutkan kepala seraya
tersenyum kecil. Ya, begitulah potret kegiatan belajar anak-anak di Tiongkok.
Bagi Hendri dan seluruh anak di Tiongkok, potret masa kecil hingga remaja
hanya diisi kegiatan tunggal bernama belajar!
Potret serupa juga terjadi di
bangku kuliah. Mahasiswa saya di Jurusan Bahasa Indonesia GXUN tak hanya
mengikuti mata kuliah-mata kuliah yang berkaitan dengan bahasa Indonesia,
tetapi juga mata kuliah-mata kuliah umum seperti Pemikiran Mao Zedong,
Sejarah Tiongkok, dan Hubungan Indonesia-Tiongkok. Juga, mereka diwajibkan
mengikuti mata kuliah di bidang olah raga, kesenian, dan bahasa asing
lainnya.
Bisa Anda bayangkan, betapa
padatnya kegiatan belajar para siswa dan mahasiswa S-1 di Tiongkok. Mereka
pun terkondisikan untuk belajar, belajar, dan belajar. Namun begitu, mereka
juga menjadwalkan untuk berolah raga setiap sore hari. Tak ayal, para
mahasiswa di Tiongkok memiliki fisik kuat dan prima karena rutin berolah raga
dan memakan makanan yang bergizi. Pun, mereka memiliki waktu istirahat yang
cukup di sela-sela kegiatan belajar di sekolah atau kampus.
Akhir kata, kelima informasi
yang saya peroleh di atas berkat dan/atau melalui pembelajaran BIPA yang
saya ampu di kelas. Melalui bahasa Indonesia, para mahasiswa saya asal
Tiongkok dapat bercerita banyak hal kepada saya. Sebaliknya, melalui bahasa
Indonesia pula dan sedikit bahasa Mandarin, saya dapat bercerita tentang
Indonesia kepada mereka. Barangkali, inilah yang saya sebut sebagai
“simbiosis mutualisme BIPA”. Bagaimana pendapat Anda? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar