Selasa, 20 Mei 2014

Visi Kepemimpinan Bangsa

Visi Kepemimpinan Bangsa

Benny Susetyo  ;   Pemerhati Masalah Sosial
SUARA MERDEKA,  19 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
HINGGA sepanjang masa reformasi Indonesia masih sering dianggap berada pada masa transisi. Kita merindukan sosok pemimpin autentik dan berkeutamaan yang mampu membawa menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya.

Ia adalah pemimpin yang bisa menginsipirasi terjadinya revolusi mental. Revolusi mental dari bangsa yang tidak memiliki kepercayaan diri menuju Indonesia yang kuat dan tangguh. Indonesia adalah bangsa besar, namun seringkali itu hanya ada dalam angan-angan. Kenyataannyam kita sebagai bangsa kerap masih terjajah oleh bangsa lain.

Masih terlalu sedikit contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini. Justru yang banyak adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan layaknya pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi acap melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan. Tak jarang di dalamnya mengendap kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan kemakmuran rakyat semesta.

Pemimpin terbaik akan mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa yang kini meluntur seiring dengan waktu. Kita bisa bangkit melalui kepercayaan diri yang kuat. Perilaku politik para elite selama ini banyak melunturkan kepercayaan diri kita sebagai bangsa. Pemimpin hendaknya jadi tonggak supaya kita bisa kembali bangga menjadi Indonesia.

Keinginan memiliki pemimpin yang bisa mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa itu begitu kuat. Kita ingin menjadi contoh nyata bagi negara-negara lain di Asia ataupun dunia bahwa Indonesia bisa menjalankan demokrasi dengan baik. Bukan demokrasi yang melahirkan sosok pemimpin yang bisa dikendalikan oleh kepentingan modal dan bangsa lain.

Negeri Para Calo

Berproses menjadi Indonesia ini begitu pentingnya, dan poses menjadi bangsa ini belum selesai, seperti kata Max Lane. Proses ini meliputi tindakan untuk terus-menerus memperbaiki cara kita menjalankan kehi­dup­an sehari-hari sebagai warga bangsa.

Kepercayaan diri sebagai bangsa meluntur karena para elite negeri ini banyak berperan sebagai calo, bukan negarawan yang tulus. Kita bisa melihat praktik di negara yang mendeklarasikan ratusan tahun kebangkitan nasionalnya ini, adalah bagaimana semuanya bisa dibeli dan dijual. Tanpa mengesampingkan prestasi yang telah diraih, sejauh ini lebih banyak didominasi kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama yang bernama bangsa.

“Kebangsaan” kita adalah kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku. Banyak fenomena yang bisa menjelaskan mengapa perjalanan kita sebagai sebuah bangsa sering terseok-seok di tengah jalan. Kekayaan sumber daya alam melimpah tak kunjung bisa dinikmati demi kemakmuran rakyat, alih-alih dikuasai oleh kepentingan golongan tertentu.

Konflik sumber daya alam pada tahun-tahun terakhir justru terjadi sangat mengkhawatirkan. Sumber daya alam yang melimpah belum benar-benar digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak disadari bahwa makin hari kualitas hidup masyarakat makin menurun.

Kemiskinan, pengangguran, dan perbaikan kualitas pendidikan belum menjadi cita-cita bersama yang mendesak dicarikan jalan keluar. Kebijakan publik pun tidak disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh.

Lahirlah kenyataan apa yang sering disebut orang sebagai para calo politik (rent seeker). Di balik praktik percaloan itu ada kekuatan pemilik modal besar yang berperan. Kepentingan pemilik modal adalah untuk melestarikan bisnis-bisnis yang korup. Bisnis yang membesar hanya bila didukung dengan kebijakan yang menguntungkan secara khusus bagi mereka.

Menjadi pemimpin adalah panggilan. Berpolitik juga merupakan panggilan untuk menyejahterakan masyarakat. Namun partai kita justru gagal menciptakan situasi kondusif untuk kesejahteran rakyat. Partai gagal menata keadaban politiknya dan memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat.

Kini saatnya partai berubah secara mendasar supaya kembali diterima. Partai politik diharapkan lebih aktif mencari figur pemimpin yang memiliki keutamaan. Pemimpin yang memiliki keutamaan akan melayani rakyat karena itu merupakan panggilan nurani. Kita butuh pemimpin yang tulus mengabdi demi kesejahteraan bangsa. Pemimpin yang betul-betul memperhatikan nasib masa depan bangsa, bukan nasib dirinya.

Ketulusan menjadi dasar seseorang mengantarkan bangsa ini kepada masa depan yang dicitakan. Sikap tulus ini tentu harus disertai kecerdasan mengoordinasikan tujuan dan target. Tujuan yang ingin dicapai harus membebaskan masyarakat dari politik adu domba yang kerap dipicu oleh perilaku politik-kekuasaan. Justru negara seharusnya memfasilitasi pertumbuhan nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam peradaban para aparaturnya. Aparatur yang beradab selalu mengutamakan tertib sosial dan hukum.

Pemimpin yang terpilih selalu dicita-citakan sebagai pemimpin bangsa masa depan. Karena itu mereka harus berani menegakkan keadilan tanpa melupakan kebenaran. Kebenaran tanpa keadilan tidak akan menciptakan tata dunia baru. Tata dunia baru tercipta bila hukum memiliki kedaulatan di atas kepentingan politik. Politik harus tunduk pada moralitas. Inilah zaman yang diharapkan di mana lembaran baru tercipta demi keterwujudan cita-cita para pendiri bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar