Visi
Kepemimpinan Bangsa
Benny
Susetyo ; Pemerhati
Masalah Sosial
|
SUARA
MERDEKA, 19 Mei 2014
HINGGA
sepanjang masa reformasi Indonesia masih sering dianggap berada pada masa transisi.
Kita merindukan sosok pemimpin autentik dan berkeutamaan yang mampu membawa
menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup
berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya.
Ia
adalah pemimpin yang bisa menginsipirasi terjadinya revolusi mental. Revolusi
mental dari bangsa yang tidak memiliki kepercayaan diri menuju Indonesia yang
kuat dan tangguh. Indonesia adalah bangsa besar, namun seringkali itu hanya
ada dalam angan-angan. Kenyataannyam kita sebagai bangsa kerap masih terjajah
oleh bangsa lain.
Masih
terlalu sedikit contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri
ini. Justru yang banyak adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan
layaknya pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi acap
melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan. Tak jarang di dalamnya
mengendap kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan kemakmuran
rakyat semesta.
Pemimpin
terbaik akan mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa yang kini meluntur
seiring dengan waktu. Kita bisa bangkit melalui kepercayaan diri yang kuat.
Perilaku politik para elite selama ini banyak melunturkan kepercayaan diri
kita sebagai bangsa. Pemimpin hendaknya jadi tonggak supaya kita bisa kembali
bangga menjadi Indonesia.
Keinginan
memiliki pemimpin yang bisa mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa itu
begitu kuat. Kita ingin menjadi contoh nyata bagi negara-negara lain di Asia
ataupun dunia bahwa Indonesia bisa menjalankan demokrasi dengan baik. Bukan
demokrasi yang melahirkan sosok pemimpin yang bisa dikendalikan oleh
kepentingan modal dan bangsa lain.
Negeri Para Calo
Berproses
menjadi Indonesia ini begitu pentingnya, dan poses menjadi bangsa ini belum
selesai, seperti kata Max Lane. Proses ini meliputi tindakan untuk
terus-menerus memperbaiki cara kita menjalankan kehidupan sehari-hari
sebagai warga bangsa.
Kepercayaan
diri sebagai bangsa meluntur karena para elite negeri ini banyak berperan
sebagai calo, bukan negarawan yang tulus. Kita bisa melihat praktik di negara
yang mendeklarasikan ratusan tahun kebangkitan nasionalnya ini, adalah
bagaimana semuanya bisa dibeli dan dijual. Tanpa mengesampingkan prestasi
yang telah diraih, sejauh ini lebih banyak didominasi kepentingan pribadi dan
mengabaikan kepentingan bersama yang bernama bangsa.
“Kebangsaan”
kita adalah kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku. Banyak fenomena
yang bisa menjelaskan mengapa perjalanan kita sebagai sebuah bangsa sering
terseok-seok di tengah jalan. Kekayaan sumber daya alam melimpah tak kunjung
bisa dinikmati demi kemakmuran rakyat, alih-alih dikuasai oleh kepentingan
golongan tertentu.
Konflik
sumber daya alam pada tahun-tahun terakhir justru terjadi sangat
mengkhawatirkan. Sumber daya alam yang melimpah belum benar-benar digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak disadari bahwa makin hari kualitas
hidup masyarakat makin menurun.
Kemiskinan,
pengangguran, dan perbaikan kualitas pendidikan belum menjadi cita-cita
bersama yang mendesak dicarikan jalan keluar. Kebijakan publik pun tidak
disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh.
Lahirlah
kenyataan apa yang sering disebut orang sebagai para calo politik (rent seeker). Di balik praktik
percaloan itu ada kekuatan pemilik modal besar yang berperan. Kepentingan
pemilik modal adalah untuk melestarikan bisnis-bisnis yang korup. Bisnis yang
membesar hanya bila didukung dengan kebijakan yang menguntungkan secara
khusus bagi mereka.
Menjadi
pemimpin adalah panggilan. Berpolitik juga merupakan panggilan untuk
menyejahterakan masyarakat. Namun partai kita justru gagal menciptakan
situasi kondusif untuk kesejahteran rakyat. Partai gagal menata keadaban
politiknya dan memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat.
Kini
saatnya partai berubah secara mendasar supaya kembali diterima. Partai
politik diharapkan lebih aktif mencari figur pemimpin yang memiliki
keutamaan. Pemimpin yang memiliki keutamaan akan melayani rakyat karena itu
merupakan panggilan nurani. Kita butuh pemimpin yang tulus mengabdi demi
kesejahteraan bangsa. Pemimpin yang betul-betul memperhatikan nasib masa
depan bangsa, bukan nasib dirinya.
Ketulusan
menjadi dasar seseorang mengantarkan bangsa ini kepada masa depan yang
dicitakan. Sikap tulus ini tentu harus disertai kecerdasan mengoordinasikan
tujuan dan target. Tujuan yang ingin dicapai harus membebaskan masyarakat
dari politik adu domba yang kerap dipicu oleh perilaku politik-kekuasaan.
Justru negara seharusnya memfasilitasi pertumbuhan nilai-nilai kemanusiaan
yang tercermin dalam peradaban para aparaturnya. Aparatur yang beradab selalu
mengutamakan tertib sosial dan hukum.
Pemimpin
yang terpilih selalu dicita-citakan sebagai pemimpin bangsa masa depan.
Karena itu mereka harus berani menegakkan keadilan tanpa melupakan kebenaran.
Kebenaran tanpa keadilan tidak akan menciptakan tata dunia baru. Tata dunia
baru tercipta bila hukum memiliki kedaulatan di atas kepentingan politik.
Politik harus tunduk pada moralitas. Inilah zaman yang diharapkan di mana
lembaran baru tercipta demi keterwujudan cita-cita para pendiri bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar