Strategi
Militer dalam Politik
Seno
Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
TEMPO.CO,
19 Mei 2014
Terhadap
strategi militer, telah dilakukan banyak adaptasi, agar strategi itu dapat
diterapkan dalam pertempuran di dunia sipil. Dengan kata lain, selain untuk
bisnis dan manajemen, strategi militer dapat diberlakukan dalam persaingan
politik. Dari khazanah klasik, Seni Perang karya Sun Tzu (544-496 SM) dan Buku Lima Cincin karya
Miyamoto Musashi (1584-1645) adalah yang paling populer, sehingga tergolong
pembunuh waktu luang yang banyak dijual di bandara. Tidak kurang dari pendiri
pabrik kelontong elektronik Panasonic, Konosuke Matsushita (1894-1989),
mencatat: "Segenap anggota staf
kami wajib membaca Seni Perang karya Suhu Sun dan menerapkan ajarannya secara
luwes, sehingga perusahaan saya akan berkembang." (Minford, 2008:
ix).
Sebaliknya,
Mao Zedong (1893-1976), yang bersama Tentara Merah telah melakukan long march
selama setahun (1934-1935) dari Ruijin ke Xi'an, maupun berbagai pertempuran
melawan tentara fasis Jepang dan nasionalis Kuomintang, ternyata sampai 1936
belum pernah membaca Sun Tzu-kecuali sejumlah kutipan dalam "Catatan-catatan dalam Kelas"
(Jikun, 1993: 4). Ini menunjukkan bahwa, bagi Mao, yang sebetulnya adalah
pemimpin dan ideolog partai, persoalannya bukanlah perbedaan militer dengan
sipil, melainkan bahwa dalam kedua ranah itu sama-sama diperlukan strategi.
Meski disebut sebagai jenius strategi perang, sebetulnya yang bekerja adalah
imajinasi tentang strategi berdasarkan bakat politik Mao.
Dengan
begitu, strategi perang militer bisa diterapkan dalam politik, dan sebaliknya
kiat-kiat politik yang rumit bukan tak berguna dalam pemenangan perang. Dalam
berbagai wacana operasi militer, sering terdengar istilah "pendekatan
teritorial" yang sangat politis, ketika pihak militer dituntut untuk
"bertempur" dengan memenangkan keberpihakan sipil di wilayah yang
dikuasainya. Bahkan Sun Tzu pun berpikir bahwa perang adalah kemungkinan
terakhir, sehingga, meskipun berjudul Seni Perang, konteks pertempurannya tak
selalu dalam pemahaman militer menghadapi medan.
Postulat
Sun Tzu terkenal: "Bertempur seratus
kali dan mendapat seratus kemenangan bukanlah yang terbaik dari yang terbaik.
Menundukkan lawan tanpa sekalipun bertempur adalah yang terbaik dari yang
terbaik." Artinya, betapa pun politik itu merupakan alternatif yang
lebih baik daripada perang. Ini juga mengarah kepada pengertian bahwa dunia
politik bisa menjadi penyaluran bakat para ahli siasat, ahli taktik, dan
strategi militer. Baik dalam keadaan para ahli ini sudah pensiun maupun
karena kasus tertentu lantas tidak menjadi anggota militer lagi. Keanggotaan
terbatasi aturan, tapi militerisme jelas tak akan lepas hanya karena
berstatus sipil. Bukan tak mungkin, politik identitasnya di dunia politik
justru mengandalkan militerisme sebagai ideologi!
Masalahnya,
benarkah alih wahana dari strategi militer menuju strategi politik ini bisa
menghilangkan ciri kekerasan yang merupakan unikum militer? Dalam hal orang
sipil yang terpaksa berperang seperti Mao, dikatakannya, "Kami tidak membawa satu pun buku ketika kami bertempur. Yang
kami lakukan adalah menganalisis situasi pertarungan antara musuh dan diri
kami, (yakni) kondisi aktualnya." (ibidem). Meskipun buku yang
dimaksud Mao itu adalah buku-buku siasat perang dari zaman klasik Tiongkok,
misalnya Kisah Tiga Negara (Luo Guanzhong, abad ke-14), tetapi yang harus
dicatat: Mao tidak membawa-bawa kesipilannya dalam ranah militer. Mungkinkah
jika posisinya dibalik akan berlangsung kesetaraan serupa, bahwa dalam ranah
sipil para praktisi siasat militer melucuti diri dari kemiliteran, dalam
pengertian melepas faktor kekerasannya?
Perkara
ini merupakan kasus adaptasi atau alih wahana. Dengan meminjam kasus alih
wahana dari teks ke film dan sebaliknya, dapat diacu bahwa secara teoretis
terdapat tiga garis besar tipe-tipe alih wahana, yakni (a) transposisi
(nyaris tanpa penyesuaian), (b) commentary (keasliannya dinegosiasikan), dan
(c) analogi (terleburkan dalam wahana tujuan, sampai tak dikenali meski tetap
terhubungkan) (Cartmell & Whelehan, 1999: 8). Adapun alih wahana itu
sendiri merupakan proses hibrida, yang berlangsung dengan berbagai faktor
determinan, seperti (1) keaslian, (2) kesetiaan, dan (3) faktor sosial
historis (ketiganya terhubungkan kepada nostalgia sejarah), serta (4)
pemujaan dan (5) ideologi (keduanya terhubungkan kepada makna, kesenangan,
dan kebutuhan akan identitas sosial).
Dalam
penerapan strategi militer para eks-jenderal yang "mendadak
dangdut" (baca: mendadak jadi politikus) di dunia politik, para pengamat
dapat membaca dan memperkirakan strategi politiknya berdasarkan konstruksi
teoretik tersebut. Akan dapat diperbincangkan, apakah dalam strategi politik
itu militerismenya masih dominan, bernegosiasi dengan cara-cara sipil, atau
melebur sama sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar