Kamis, 15 Mei 2014

Idealisme Politik sang Pangeran

Idealisme Politik sang Pangeran

Haryadi Baskoro  ;   Peneliti Kebudayaan;
Pemimpin 3H Advocates & Consultants Jogjakarta
JAWA POS,  15 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Hari Raya Waisak 2558 yang jatuh pada 15 Mei 2014 ini menjadi momen introspeksi dalam tahun politik yang menjelang pilpres ini suhunya kian panas. Tiga peristiwa penting (Trisuci Waisak) tentang Pangeran Siddharta –kelahirannya (623 SM), momen dirinya menjadi Buddha (588 SM), dan wafatnya (543 SM)– memberikan teladan mulia tentang idealisme politik.

Idealisme sang pangeran menjadi kaca benggala bagi para politikus, kandidat, dan petahana politik masa kini. Ketika semua orang berebut kekuasaan, mengejar takhta, dan melakukan segala daya untuk menguasai istana, Pangeran Siddharta justru bertindak sebaliknya. Dengan penuh kesadaran, dia memutuskan untuk meninggalkan istana dan memilih hidup bersahaja sebagai rohaniwan. Padahal, dia mempunyai semua peluang, fasilitas, dan kapasitas. Para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala bahkan sudah memprediksi putra mahkota Sri Baginda Raja Suddhodana itu berpotensi menjadi seorang raja besar.

Serigala Buas

Mengapa sang pangeran melakukan ’’manuver politik’’ yang menurut banyak orang dianggap bodoh seperti itu? Jawabannya, dia memiliki idealisme. Dia tidak memikirkan dan menyikapi politik secara pragmatis. Dalam sebuah perenungan introspektifnya, dia melihat seekor katak yang dicaplok seekor ular. Belum sampai si ular menelannya, ketika si katak masih terjepit di mulut ular, seekor burung elang menyambar dan memangsa ular tersebut. Penglihatan itu menyadarkan dirinya tentang sifat manusia yang serakah. Yang kuat selalu memusnahkan yang lemah.

Introspeksi politik Pangeran Sidharta pada ratusan tahun sebelum Masehi itu sejatinya merupakan pencerahan yang seharusnya mendasari perilaku dan budaya politik manusia. Sejarah raja-raja dan kerajaan-kerajaan di dunia yang berkembang kemudian tidak lagi mawas diri.

Pikiran politik yang introspektif-idealis baru timbul lagi setelah lebih dari seribuan tahun berikutnya, ketika Thomas Hobbes (1588–1679) menyimpulkan bahwa manusia itu serigala buas bagi sesama (homo homini lupus). Kebuasan tersebut mengakibatkan kehidupan manusia senantiasa dipenuhi perang. Hobbes menyebutnya sebagai ’’perang semua melawan semua’’ (bellum omnium contra onmes). Artinya, di dunia politik tidak pernah ada kawan. Semua adalah musuh. Karena itu, menurut Hobbes, negara ibarat ’’Leviathan’’ atau hewan purba yang amat buas, dahsyat, dan perkasa. Negara adalah ’’Deus Mortalis’’ atau sejenis dewa yang dapat mati.

Teori politik hermeneutik sebagaimana disitir Lugo (2009) menyatakan, para pemimpin (elite politik) cenderung ingin menguasai atau menghegemoni untuk mewujudkan kepentingannya dengan meminggirkan kepentingan orang-orang lain. Artinya, para politikus cenderung ambisius. Menjegal lawan, menjatuhkan musuh, dan mengempaskan sahabat demi kekuasaan menjadi cerminan maniak kekuasaan.

Visi Rohani

Idealisme politik Pangeran Sidharta tumbuh bukan ketika dia sudah senior dan tua secara usia. Sang Pangeran mengambil keputusan-keputusan idealis itu ketika masih muda. Bahkan, dia sudah mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha di Bodhgaya pada usia 35 tahun (588 SM). Bandingkan dengan para pemimpin muda kita, tercengkeram roh-roh pragmatisme, hedonisme, serta materialisme.

Dalam perjalanan spiritualnya, saat dia melihat langsung penderitaan seorang tua yang bongkok dan rapuh karena digerogoti usia, visi hidupnya berubah. Setelah melihat seorang pandita yang berbusana bersahaja namun hidupnya tenang karena telah melepaskan diri dari segala hawa nafsu keduniawian, sang pangeran bertekad meninggalkan istana dan menjalani laku spiritual. Enam tahun sesudah itu, ketika duduk di bawah pohon Bodhi di Bodhgaya, dia menjadi seorang Buddha, yaitu pribadi ’’yang telah mencapai pencerahan sempurna’’.

Sang pangeran memberikan teladan kepada kita tentang visi dan tujuan hidup rohani yang berlandasan cinta kasih kepada sesama serta keberpihakan kepada mereka yang menderita. Visi rohani yang murni itu harus menjadi dasar motivasi, baik bagi kita yang terpanggil menjadi rohaniwan maupun yang terpanggil menjadi politikus. Sebab, banyak rohaniwan yang ternyata justru ’’tidak rohani’’. Tidak sedikit agamawan yang korup dan penuh tipu muslihat dalam hidup dan pelayanannya. Agama menjadi komoditas, dikelola secara kapitalistik berorientasi profit.

Bagi kita yang terpanggil menjadi politisi, visi rohani harus menjadi dasar kiprah di panggung kekuasaan. Dengan visi rohani, kita memiliki energi untuk menjadi politikus yang bermartabat, pemimpin yang berintegritas, serta penguasa yang berpihak kepada rakyat. Indonesia membutuhkan politisi berhati pandita.

Sejarah budaya Jawa mencatat, dalam sistem monarki pun, raja-raja menerapkan politik yang sangat bermartabat. Meskipun merupakan hak bagi seorang raja untuk berkuasa seumur hidup, konsep lengser telah menjadi bagian penting dalam kepemimpinan. Frase ’’lengser’’, lebih lengkapnya ungkapan filosofis lengser keprabon, madeg pandhito, berarti penguasa (raja) turun takhta untuk naik menjadi seorang pendeta. Itulah yang dilakukan Raja Astina Prabu Kresna Dwipayana dalam kisah pewayangan. Kresna mengundurkan diri dari takhta, menyerahkan tongkat estafet kepemimpinannya kepada sang Pandu, lalu menuju pertapaan Saptaharga untuk menjadi brahmana agung dengan gelar Resi Wiyasa.

Artinya, kesuksesan seorang pemimpin tidak hanya terletak pada bagaimana dia memperoleh, memperbesar, dan memperluas serta mempertahankan kekuasaan saja. Puncak pencapaian seorang pemimpin (penguasa) adalah ketika berhasil mengalihkan tongkat estafet kepemimpinannya dan lalu naik level menjadi pribadi yang berkapasitas serta berperan moral-spiritual yang tinggi.

Dengan prinsip lengser keprabon, madeg pandhito itu juga, selama masih menjabat, pemimpin sudah harus mengembangkan diri menjadi pribadi yang arif bijaksana dengan standar moralitas dan spiritualitas unggul. Seorang pemimpin adalah seorang kandidat brahmana yang berarti sudah harus memiliki integritas, karakter, keutamaan moral, dan visi spiritual. Lengser bagi pemimpin yang seperti itu adalah kemuliaan. Adapun lengser bagi seorang koruptor adalah jalan pintas menuju bui!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar