Idealisme
Politik sang Pangeran
Haryadi
Baskoro ; Peneliti Kebudayaan;
Pemimpin 3H
Advocates & Consultants Jogjakarta
|
JAWA
POS, 15 Mei 2014
Hari
Raya Waisak 2558 yang jatuh pada 15 Mei 2014 ini menjadi momen introspeksi
dalam tahun politik yang menjelang pilpres ini suhunya kian panas. Tiga
peristiwa penting (Trisuci Waisak) tentang Pangeran Siddharta –kelahirannya
(623 SM), momen dirinya menjadi Buddha (588 SM), dan wafatnya (543 SM)–
memberikan teladan mulia tentang idealisme politik.
Idealisme
sang pangeran menjadi kaca benggala bagi para politikus, kandidat, dan
petahana politik masa kini. Ketika semua orang berebut kekuasaan, mengejar
takhta, dan melakukan segala daya untuk menguasai istana, Pangeran Siddharta
justru bertindak sebaliknya. Dengan penuh kesadaran, dia memutuskan untuk
meninggalkan istana dan memilih hidup bersahaja sebagai rohaniwan. Padahal,
dia mempunyai semua peluang, fasilitas, dan kapasitas. Para pertapa di bawah
pimpinan Asita Kaladewala bahkan sudah memprediksi putra mahkota Sri Baginda
Raja Suddhodana itu berpotensi menjadi seorang raja besar.
Serigala Buas
Mengapa
sang pangeran melakukan ’’manuver politik’’ yang menurut banyak orang
dianggap bodoh seperti itu? Jawabannya, dia memiliki idealisme. Dia tidak
memikirkan dan menyikapi politik secara pragmatis. Dalam sebuah perenungan
introspektifnya, dia melihat seekor katak yang dicaplok seekor ular. Belum
sampai si ular menelannya, ketika si katak masih terjepit di mulut ular,
seekor burung elang menyambar dan memangsa ular tersebut. Penglihatan itu
menyadarkan dirinya tentang sifat manusia yang serakah. Yang kuat selalu
memusnahkan yang lemah.
Introspeksi
politik Pangeran Sidharta pada ratusan tahun sebelum Masehi itu sejatinya
merupakan pencerahan yang seharusnya mendasari perilaku dan budaya politik
manusia. Sejarah raja-raja dan kerajaan-kerajaan di dunia yang berkembang
kemudian tidak lagi mawas diri.
Pikiran
politik yang introspektif-idealis baru timbul lagi setelah lebih dari
seribuan tahun berikutnya, ketika Thomas Hobbes (1588–1679) menyimpulkan
bahwa manusia itu serigala buas bagi sesama (homo homini lupus). Kebuasan
tersebut mengakibatkan kehidupan manusia senantiasa dipenuhi perang. Hobbes menyebutnya
sebagai ’’perang semua melawan semua’’ (bellum omnium contra onmes). Artinya,
di dunia politik tidak pernah ada kawan. Semua adalah musuh. Karena itu,
menurut Hobbes, negara ibarat ’’Leviathan’’ atau hewan purba yang amat buas,
dahsyat, dan perkasa. Negara adalah ’’Deus Mortalis’’ atau sejenis dewa yang
dapat mati.
Teori
politik hermeneutik sebagaimana disitir Lugo (2009) menyatakan, para pemimpin
(elite politik) cenderung ingin menguasai atau menghegemoni untuk mewujudkan
kepentingannya dengan meminggirkan kepentingan orang-orang lain. Artinya,
para politikus cenderung ambisius. Menjegal lawan, menjatuhkan musuh, dan
mengempaskan sahabat demi kekuasaan menjadi cerminan maniak kekuasaan.
Visi Rohani
Idealisme
politik Pangeran Sidharta tumbuh bukan ketika dia sudah senior dan tua secara
usia. Sang Pangeran mengambil keputusan-keputusan idealis itu ketika masih
muda. Bahkan, dia sudah mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha di
Bodhgaya pada usia 35 tahun (588 SM). Bandingkan dengan para pemimpin muda
kita, tercengkeram roh-roh pragmatisme, hedonisme, serta materialisme.
Dalam
perjalanan spiritualnya, saat dia melihat langsung penderitaan seorang tua
yang bongkok dan rapuh karena digerogoti usia, visi hidupnya berubah. Setelah
melihat seorang pandita yang berbusana bersahaja namun hidupnya tenang karena
telah melepaskan diri dari segala hawa nafsu keduniawian, sang pangeran
bertekad meninggalkan istana dan menjalani laku spiritual. Enam tahun sesudah
itu, ketika duduk di bawah pohon Bodhi di Bodhgaya, dia menjadi seorang
Buddha, yaitu pribadi ’’yang telah mencapai pencerahan sempurna’’.
Sang
pangeran memberikan teladan kepada kita tentang visi dan tujuan hidup rohani
yang berlandasan cinta kasih kepada sesama serta keberpihakan kepada mereka yang
menderita. Visi rohani yang murni itu harus menjadi dasar motivasi, baik bagi
kita yang terpanggil menjadi rohaniwan maupun yang terpanggil menjadi
politikus. Sebab, banyak rohaniwan yang ternyata justru ’’tidak rohani’’.
Tidak sedikit agamawan yang korup dan penuh tipu muslihat dalam hidup dan
pelayanannya. Agama menjadi komoditas, dikelola secara kapitalistik
berorientasi profit.
Bagi
kita yang terpanggil menjadi politisi, visi rohani harus menjadi dasar kiprah
di panggung kekuasaan. Dengan visi rohani, kita memiliki energi untuk menjadi
politikus yang bermartabat, pemimpin yang berintegritas, serta penguasa yang
berpihak kepada rakyat. Indonesia membutuhkan politisi berhati pandita.
Sejarah
budaya Jawa mencatat, dalam sistem monarki pun, raja-raja menerapkan politik
yang sangat bermartabat. Meskipun merupakan hak bagi seorang raja untuk
berkuasa seumur hidup, konsep lengser telah menjadi bagian penting dalam
kepemimpinan. Frase ’’lengser’’, lebih lengkapnya ungkapan filosofis lengser
keprabon, madeg pandhito, berarti penguasa (raja) turun takhta untuk naik
menjadi seorang pendeta. Itulah yang dilakukan Raja Astina Prabu Kresna
Dwipayana dalam kisah pewayangan. Kresna mengundurkan diri dari takhta,
menyerahkan tongkat estafet kepemimpinannya kepada sang Pandu, lalu menuju
pertapaan Saptaharga untuk menjadi brahmana agung dengan gelar Resi Wiyasa.
Artinya,
kesuksesan seorang pemimpin tidak hanya terletak pada bagaimana dia
memperoleh, memperbesar, dan memperluas serta mempertahankan kekuasaan saja.
Puncak pencapaian seorang pemimpin (penguasa) adalah ketika berhasil
mengalihkan tongkat estafet kepemimpinannya dan lalu naik level menjadi
pribadi yang berkapasitas serta berperan moral-spiritual yang tinggi.
Dengan
prinsip lengser keprabon, madeg pandhito itu juga, selama masih menjabat,
pemimpin sudah harus mengembangkan diri menjadi pribadi yang arif bijaksana
dengan standar moralitas dan spiritualitas unggul. Seorang pemimpin adalah
seorang kandidat brahmana yang berarti sudah harus memiliki integritas,
karakter, keutamaan moral, dan visi spiritual. Lengser bagi pemimpin yang
seperti itu adalah kemuliaan. Adapun lengser bagi seorang koruptor adalah
jalan pintas menuju bui!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar