Kemarahan
Para Pemimpin Daerah
Rhenald
Kasali ; Pendiri Rumah
Perubahan
|
KORAN
SINDO, 15 Mei 2014
Saya
senang ketika Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo marah-marah. Memang
keterlaluan. Di depan matanya sendiri, ia melihat petugas di jembatan Timbang
Subah, Batang, Jawa Tengah menerima suap dari seorang kernet truk. Hari gini,
berseragam dinas masih nekad terima suap?
Gubernur
Ganjar pantas geram. Akibat suap tadi, truk-truk dengan kelebihan muatan
bebas lalu-lalang di jalan-jalan di wilayahnya. Akibatnya, jalan-jalan cepat
rusak. Dan, kerusakan jalan tersebut harus dibayar dengan harga yang sangat
mahal: kemacetan dan kecelakaan. Perbaikan jalan-jalan itu juga menghabiskan
biaya tidak sedikit. Perbaikan jalan di pantai utara (pantura), misalnya,
biayanya mencapai Rp1 triliun per tahun. Dan jauh sebelum bulan Ramadan,
tahukah Anda sekarang saja sudah kembali rusak parah.
(Saya
jadi teringat cerita tentang mafia Italia. Di sana, sang mafioso sengaja
membuat truk-truknya kelebihan muatan agar jalan-jalan menjadi cepat rusak.
Lalu, mafioso itu mendirikan perusahaan konstruksi yang proyek utamanya
adalah memperbaiki jalan-jalan yang rusak tadi. Jadi, uangnya berputar di
situ-situ saja. Mudah-mudahan yang terjadi di sini tidak seperti itu.)
Saya
juga senang ketika Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, marah-marah karena
Taman Bungkul rusak parah. Ia pantas marah. Taman yang dibangun selama
bertahun-tahun dan mendapat penghargaan sebagai taman terbaik se- Asia oleh
PBB itu diinjak-injak massa saat pembagian es krim gratis. Rakyat pasti
bertanya, siapa yang memberi ijin dan mengapa tak ada pencegahan?
Kemarahan
akibat aksi bagi-bagi es krim gratis oleh perusahaan yang sama juga dilakukan
oleh Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil. Aksi itu membuat Balai Kota Bandung
dipenuhi massa, sehingga memicu terjadinya kemacetan di mana-mana. Usai
acara, Balai Kota pun dipenuhi sampah bekas bungkus es krim. Di Jakarta,
rasanya kita sudah sering mendengar Wakil Gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok), memarahi jajaran bawahannya. Bahkan dengan cara yang berbeda,
Gubernur Joko Widodo pun demikian. Dulu JK juga begitu, yang dimarahi adalah
birokrat senior dan pejabat tinggi yang malas membuat keputusan, cari jalan
aman, dan membiarkan uang rakyat mengendap di bank. Di seluruh Indonesia ada
banyak masalah birokrasi yang sudah begitu akut. Ibarat mesin, sudah berkarat
pertanda lama tidak dipakai.
Shock Therapy
Saya
kira ada banyak alasan mengapa para pemimpin daerah belakangan harus
marah-marah. Dalam kasus Ganjar Pranowo, Risma, Ahok dan Jokowi, mereka harus
berhadapan dengan mesin birokrasi yang macet dan korup. Maka, kita harus
membaca kemarahan mereka dalam rangka membuat mesin atau organisasi itu
kembali bekerja dan masyarakat menghormati aturan. Jadi, kemarahan mereka
ibarat shock therapy. Dalam banyak
kasus, baik di lingkungan pemerintahan maupun perusahaan swasta dan BUMN, shock therapy memang cukup ampuh untuk
membongkar macetnya mesin organisasi.
Contohnya
di PT Garuda Indonesia Tbk. CEO Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, jengkel
setiap kali melihat kondisi pesawat yang kotor, terutama bagian dalamnya.
Dan, yang lebih menjengkelkan lagi, dulu, banyak karyawan yang kurang peduli
dengan masalah ini. Mungkin mereka menganggap itu urusan bagian lain. Untuk
menggugah kepedulian mereka, selepas tengah malam, saat pesawat tengah
istirahat, Emirsyah Satar dan jajaran manajemen Garuda lainnya turun langsung
membersihkan interiornya. Kru pesawat dan karyawan Garuda lainnya kaget dan
mereka akhirnya ikut membersihkan. Menurut saya, aksi shock therapy yang dilakukan Emir ada hasilnya. Sejak saat itu
saya melihat bagian dalam pesawat-pesawat Garuda relatif menjadi lebih bersih
dan terawat.
Di
organisasi pemerintahan, kondisinya lain lagi sehingga perubahan jauh lebih
sulit. Shock therapy atau berbagai
program lainnya harus diikuti dengan mekanisme pengawasan yang ketat. Jika
tidak, program itu bisa berhenti di tengah jalan atau tidak memberikan hasil
yang sesuai harapan. Contohnya, masalah uji kir yang berada di bawah kendali
Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Unit ini
mendapat shock therapy ketika
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga ada kasus korupsi di sana. Sayangnya
sampai sekarang tak jelas benar bagaimana tindak lanjut KPK atau dugaan
tersebut. Kita saat ini hanya bisa melihat ujungnya, sebagaimana tercermin
dari mudahnya kita melihat kendaraan-kendaraan umum tak lain jalan yang
begitu bebas beroperasi di jalan-jalan raya Ibu Kota. Kita juga masih kerap
mendengar terjadinya kecelakaan kendaraan umum karena rem blong. Bagaimana
mungkin kendaraan yang remnya blong bisa lolos uji kir?
Marah dan Perubahan
Marah-marah
ala Risma dan Ridwan Kamil mungkin lain nuansanya dengan kemarahan Ganjar
Pranowo dan Jokowi-Ahok. Risma dan Ridwan melakukannya agar masyarakat dan
para stakeholders mempunyai rasa
memiliki (sense of belonging)
terhadap fasilitas publik. Kasus di Taman Bungkul dan Balai Kota Bandung
jelas menggambarkan kurangnya rasa memiliki itu. Demi sepotong es krim,
mereka tega merusak taman dan mengotori balai kota. Saya juga agak terkejut
ketika perusahaan multinasional yang membagi-bagikan es krim mengaku tak
menduga kalau animo masyarakat dua kota tersebut sedemikian tingginya.
Bagaimana
bisa? Dan, saya juga tidak melihat antisipasi yang memadai dari perusahaan
itu ketika melihat membeludaknya animo publik. Bahkan ada pengamat pemasaran
yang berpendapat, kerusakan yang menimbulkan kemarahan walikota adalah sebuah
proses branding yang luar biasa.
Lho, kok begitu? Kini, kita semua sudah melihat dampaknya. Saya setuju dengan
kemarahan Risma dan Ridwan.
Hari
Senin yang lalu saya membawa mahasiswa saya bertemu wagub DKI, Basuki Tjahaja
Purnama. Saya mengerti Ahok kini jauh lebih berpengalaman dalam memarahi anak
buahnya. Ia lebih luwes, namun tetap genuine.
Padahal dulu saya sempat menasihatinya agar ”jangan membelah batu”. Tetapi sekarang saya justru mengingatkan,
”teruskan!” Masyarakat butuh contoh
perubahan yang riil, dan birokrasi harus cepat berubah, serta memperbaiki
pelayanan dan integritasnya. Bahkan proses manajemennya pun harus ditata
kembali.
Saya
senang mereka semua masih mau marah-marah. Jika kemarahan mereka memang
menghasilkan efek lebih baik ketimbang diam, maka saya sangat menganjurkan
keduanya—dan pemimpin daerah lainnya— untuk lebih berani memarahi siapapun
yang memang pantas dimarahi. Seperti kata Malcolm X, “…. ketika mereka marah, mereka membuat perubahan.” Jadi, biarlah
pemimpin kita marah-marah dan kita menuai hasilnya: perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar