Terimakasih,
Pak SBY!
Teuku
Kemal Fasya ; Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
|
SINAR
HARAPAN, 09 Mei 2014
Sudah selayaknya kita mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik sebagai presiden, negarawan,
atau orang tua bangsa.
Ucapan terima kasih ini adalah bentuk ketulusan yang keluar dari
relung hati, tanpa pretensi politik-ekonomi. Ini berbeda dengan ucapan terima
kasih palsu yang biasa diucapkan kepada seseorang yang baru terpilih untuk
tujuan mendapatkan posisi politik-ekonomi.
Bahkan, sebenarnya ucapan terima kasih harus lebih sering
disampaikan ketika Pak SBY sudah berada di ujung kekuasaan. Di tepi post power syndrome yang melena siapa
pun, ucapan ini bisa melegakan jiwa orang yang beranjak ke dunia pensiun.
Ucapan terima kasih untuk SBY sekaligus menyelamatinya yang akan menjadi
warga biasa kembali, tanpa privileged
entitlement, seperti pengawalan voorijder,
tiket kelas bisnis, dan akomodasi super. Selain itu, tak ada lagi pidato yang
selalu dikritik publik dan pengamat politik. Masa penuh tensi itu akan segera
ditinggalkan.
Sebab-sebab
Pertama, terima kasih seharusnya menjadi perilaku normal
kebudayaan dan harus masuk ke politik normalisasi bahasa demi menghidupkan
nilai kesopansantunan.
Saking kaprahnya kata “terima kasih”, ia menjadi bahasa paling
populer dan mudah diingat dari pelbagai bahasa dunia, seperti thank you very much (Inggris), merci beaucoup (Prancis), syukran jaziila (Arab), khwap khun khrap (Thai), xie xie (Mandarin), dan danke schoen (Jerman)
Kedua, sudah seharusnya kita mulai membangun peradaban tinggi
dalam politik. Jangan jadikan politik sekadar persaingan Hobbesianistik, tapi
harus ditradisikan sebagai penuh adab dan tata krama. Puisi Khalil Gibran
pernah menyindir bangsa yang menyambut pemimpinnya dengan trompet kehormatan,
tapi melepaskannya dengan cacian dan kutukan. Itulah seburuk-buruknya bangsa
versi Gibran.
Tidak! Jangan sampai itu terjadi kepada SBY! Jangan sampai
terjadi seperti di kampung saya (lagi), ketika seorang mantan gubernur
ditinju hingga terjengkang dan berdarah dalam sebuah seminar, yang dia
diundang sebagai tamu. Jangan juga seperti kisah seorang mantan gubernur demi
menghormati gubernur penggantinya rela menghadiri acara pelantikan. Namun,
apa yang ia dapatkan? “Ketupat Bengkulu” dan makian tak pantas.
Ketiga, kebesaran hati SBY yang langsung memberikan ucapan
selamat bagi pemenang Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April pada hari pemungutan suara layak
diapresiasi. Ia tak menunggu hari berbilang. Hanya berdasarkan quick count lembaga survei, SBY
langsung menyelamati dan berterima kasih untuk pemilu yang aman dan damai.
Bayangkan, dalam situasi psikologis yang remuk redam ketika Demokrat hanya
ada di urutan ke empat, ia masih bisa bersikap gentleman. Sulit mencari figur
seperti SBY di era politik elektoral yang semakin liberal, mahal, dan culas
seperti sekarang ini.
Keempat, dengan segala lebih dan “kurang”, SBY sudah membawa
bangsa ini pada satu titik yang dapat dikatakan membaik. Meskipun pada
masa-masa akhir pemerintahan banyak yang melorot, seperti kurs rupiah,
pertumbuhan ekonomi, indeks harga saham gabungan (IHSG), utang luar negeri,
dan indeks demokrasi tidak elok memvonis SBY-Boediono galau dan gagal total!
Meskipun kasus intoleransi masih terjadi dan arsip pelanggaran
HAM, seperti kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 98 masih
tersusun rapi, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan SBY. Harus juga dilihat
kiprah para menteri, dewan pertimbangan presiden, dan pembisiknya ikut
menyebabkan beberapa hal semakin sulit. Aksi kamisan masih berlangsung hingga
hari ini. Keluarga korban pelanggaran HAM masih setia mengingatkan SBY dengan
aksi bisunya di depan istana. Mereka sampai hari ini belum disapa. Padahal,
sang jenderal pelaku masih hidup dan cukup berkuasa, meski telah pensiun.
Kita jangan hanya mengingat era termehek-mehek SBY bersama Boediono. Ingat juga era pertama
bersama Jusuf Kalla yang membuat banyak terobosan. Masa itu SBY berhasil
menguatkan KPK, kisah sukses perdamaian dan rekonstruksi Aceh pascatsunami,
konversi bahan bakar, pembentukan standar nasional pendidikan (SNP), dan
reformasi kelistrikan (meskipun kini mandek).
Kudeta Naif
Ketika politik hasut dan fitnah semakin menyolok dan menyilaukan
mata menjelang pemilihan presiden (pilpres), SBY bergeming dengan politik
santunnya. Sama seperti Jokowi yang rendah hati dan altruistis, kesopanan SBY
juga bukan buatan. Itu adalah natur dan kultur yang dibentuk pendidikan dan
habituasi sejak belia.
Karena itu, susah menerima opini SBY akan melakukan tindakan
“nekat” menjelang pilpres. Demikian juga dengan analisis tentang itu cukup
berdentang-dentang. Rasionalnya adalah karena Prabowo dan Jokowi yang
terlihat aktif menjelang tenggat penentuan nama capres-cawapres. SBY tak
ingin terlihat seperti pemain pendukung atau figuran. Sebagai orang politik,
wajar ia ingin menjadi tokoh penting dalam penyusunan poros pilpres.
Daripada membiarkan pemenang pilpres hanya pada dua poros,
Jokowi atau Prabowo, SBY dan Demokrat sesungguhnya punya langkah untuk
menggagalkan kedua calon presiden paling populer itu. Caranya, ya membuat
poros tersendiri dengan menarik para teman lama yang “loyal” untuk
berkoalisi. Ingat, suara Demokrat, meskipun berada di posisi keempat pemenang
pileg (9,7 persen), tidak begitu jauh dengan Golkar (14,6 persen) dan
Gerindra (11,8 persen) berdasarkan versi LSI. Jika poros Golkar gagal
membentuk koalisi, sumber daya yang ada di dalam partai pohon beringin itu
bisa digunakan Demokrat untuk mengambil alih lokomotif dan menjalankan
strategi pemenangan. Dengan cara itu, SBY bisa efektif “mengudeta” Jokowi dan
Prabowo.
Bisa juga melalui langkah ala petapa. SBY bisa menunggu momen
seperti ular desis (rattlesnake/Crotalus
atrox). Satu kali saja kecurangan dilakukan, baik oleh salah satu maupun
kedua kubu saat pilpres, ada alasan konstitusional untuk tidak mengesahkan hasil.
Dengan alasan menyelamatkan demokrasi, SBY bisa menetapkan kondisi darurat
dan status quo. Meskipun analisis
kudeta ini terlalu sering dimunculkan, saya sulit memercayainya dan
menganggapnya naif. Rekam jejak psikologi politik SBY dan genealogi kudeta (coup d’Etat) menolak tesis itu.
Kudeta di lingkungan militer biasa dipimpin kolonel atau pangkat
lebih rendah, bukan oleh jenderal. Idealisme perubahan di dada kolonel begitu
membuncah, berbeda dengan jenderal yang telah “selesai”.
Lihat riwayat kudeta Kolonel von Stauffenberg di Jerman, Kolonel
Moammar Ghadafi di Libia, Kolonel Ely Ould Mohamed Vall di Mauritania, serta
Letkol Untung dan Kolonel Sadikin di Indonesia. SBY terlihat sulit untuk
menjadi pengecualian, apalagi ia mulai ditahbis sebagai tokoh demokrasi di
dunia internasional.
Akhirnya, kata terima kasih ini layak diberikan untuk komitmen
SBY mengupayakan pilpres yang demokratis, jujur, dan adil. Ia dapat
melengkapi curriculum vitae-nya
dengan mengantarkan penggantinya sebagai presiden Indonesia ke depan pintu
gerbang persaingan global bangsa-bangsa dunia. Semoga tidak ada drama pada Pilpres 9 Juli mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar