Minggu, 11 Mei 2014

Terimakasih, Pak SBY!

Terimakasih, Pak SBY!

Teuku Kemal Fasya  ;   Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
SINAR HARAPAN, 09 Mei 2014

                                                
                                                                                         
                                                      
Sudah selayaknya kita mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik sebagai presiden, negarawan, atau orang tua bangsa.

Ucapan terima kasih ini adalah bentuk ketulusan yang keluar dari relung hati, tanpa pretensi politik-ekonomi. Ini berbeda dengan ucapan terima kasih palsu yang biasa diucapkan kepada seseorang yang baru terpilih untuk tujuan mendapatkan posisi politik-ekonomi.

Bahkan, sebenarnya ucapan terima kasih harus lebih sering disampaikan ketika Pak SBY sudah berada di ujung kekuasaan. Di tepi post power syndrome yang melena siapa pun, ucapan ini bisa melegakan jiwa orang yang beranjak ke dunia pensiun. Ucapan terima kasih untuk SBY sekaligus menyelamatinya yang akan menjadi warga biasa kembali, tanpa privileged entitlement, seperti pengawalan voorijder, tiket kelas bisnis, dan akomodasi super. Selain itu, tak ada lagi pidato yang selalu dikritik publik dan pengamat politik. Masa penuh tensi itu akan segera ditinggalkan.

Sebab-sebab

Pertama, terima kasih seharusnya menjadi perilaku normal kebudayaan dan harus masuk ke politik normalisasi bahasa demi menghidupkan nilai kesopansantunan.

Saking kaprahnya kata “terima kasih”, ia menjadi bahasa paling populer dan mudah diingat dari pelbagai bahasa dunia, seperti thank you very much (Inggris), merci beaucoup (Prancis), syukran jaziila (Arab), khwap khun khrap (Thai), xie xie (Mandarin), dan danke schoen (Jerman)

Kedua, sudah seharusnya kita mulai membangun peradaban tinggi dalam politik. Jangan jadikan politik sekadar persaingan Hobbesianistik, tapi harus ditradisikan sebagai penuh adab dan tata krama. Puisi Khalil Gibran pernah menyindir bangsa yang menyambut pemimpinnya dengan trompet kehormatan, tapi melepaskannya dengan cacian dan kutukan. Itulah seburuk-buruknya bangsa versi Gibran.

Tidak! Jangan sampai itu terjadi kepada SBY! Jangan sampai terjadi seperti di kampung saya (lagi), ketika seorang mantan gubernur ditinju hingga terjengkang dan berdarah dalam sebuah seminar, yang dia diundang sebagai tamu. Jangan juga seperti kisah seorang mantan gubernur demi menghormati gubernur penggantinya rela menghadiri acara pelantikan. Namun, apa yang ia dapatkan? “Ketupat Bengkulu” dan makian tak pantas.

Ketiga, kebesaran hati SBY yang langsung memberikan ucapan selamat bagi pemenang Pemilihan Legislatif (Pileg)  9 April pada hari pemungutan suara layak diapresiasi. Ia tak menunggu hari berbilang. Hanya berdasarkan quick count lembaga survei, SBY langsung menyelamati dan berterima kasih untuk pemilu yang aman dan damai. Bayangkan, dalam situasi psikologis yang remuk redam ketika Demokrat hanya ada di urutan ke empat, ia masih bisa bersikap gentleman. Sulit mencari figur seperti SBY di era politik elektoral yang semakin liberal, mahal, dan culas seperti sekarang ini.

Keempat, dengan segala lebih dan “kurang”, SBY sudah membawa bangsa ini pada satu titik yang dapat dikatakan membaik. Meskipun pada masa-masa akhir pemerintahan banyak yang melorot, seperti kurs rupiah, pertumbuhan ekonomi, indeks harga saham gabungan (IHSG), utang luar negeri, dan indeks demokrasi tidak elok memvonis SBY-Boediono galau dan gagal total!

Meskipun kasus intoleransi masih terjadi dan arsip pelanggaran HAM, seperti kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 98 masih tersusun rapi, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan SBY. Harus juga dilihat kiprah para menteri, dewan pertimbangan presiden, dan pembisiknya ikut menyebabkan beberapa hal semakin sulit. Aksi kamisan masih berlangsung hingga hari ini. Keluarga korban pelanggaran HAM masih setia mengingatkan SBY dengan aksi bisunya di depan istana. Mereka sampai hari ini belum disapa. Padahal, sang jenderal pelaku masih hidup dan cukup berkuasa, meski telah pensiun.

Kita jangan hanya mengingat era termehek-mehek SBY bersama Boediono. Ingat juga era pertama bersama Jusuf Kalla yang membuat banyak terobosan. Masa itu SBY berhasil menguatkan KPK, kisah sukses perdamaian dan rekonstruksi Aceh pascatsunami, konversi bahan bakar, pembentukan standar nasional pendidikan (SNP), dan reformasi kelistrikan (meskipun kini mandek).

Kudeta Naif

Ketika politik hasut dan fitnah semakin menyolok dan menyilaukan mata menjelang pemilihan presiden (pilpres), SBY bergeming dengan politik santunnya. Sama seperti Jokowi yang rendah hati dan altruistis, kesopanan SBY juga bukan buatan. Itu adalah natur dan kultur yang dibentuk pendidikan dan habituasi sejak belia.

Karena itu, susah menerima opini SBY akan melakukan tindakan “nekat” menjelang pilpres. Demikian juga dengan analisis tentang itu cukup berdentang-dentang. Rasionalnya adalah karena Prabowo dan Jokowi yang terlihat aktif menjelang tenggat penentuan nama capres-cawapres. SBY tak ingin terlihat seperti pemain pendukung atau figuran. Sebagai orang politik, wajar ia ingin menjadi tokoh penting dalam penyusunan poros pilpres.

Daripada membiarkan pemenang pilpres hanya pada dua poros, Jokowi atau Prabowo, SBY dan Demokrat sesungguhnya punya langkah untuk menggagalkan kedua calon presiden paling populer itu. Caranya, ya membuat poros tersendiri dengan menarik para teman lama yang “loyal” untuk berkoalisi. Ingat, suara Demokrat, meskipun berada di posisi keempat pemenang pileg (9,7 persen), tidak begitu jauh dengan Golkar (14,6 persen) dan Gerindra (11,8 persen) berdasarkan versi LSI. Jika poros Golkar gagal membentuk koalisi, sumber daya yang ada di dalam partai pohon beringin itu bisa digunakan Demokrat untuk mengambil alih lokomotif dan menjalankan strategi pemenangan. Dengan cara itu, SBY bisa efektif “mengudeta” Jokowi dan Prabowo.

Bisa juga melalui langkah ala petapa. SBY bisa menunggu momen seperti ular desis (rattlesnake/Crotalus atrox). Satu kali saja kecurangan dilakukan, baik oleh salah satu maupun kedua kubu saat pilpres, ada alasan konstitusional untuk tidak mengesahkan hasil. Dengan alasan menyelamatkan demokrasi, SBY bisa menetapkan kondisi darurat dan status quo. Meskipun analisis kudeta ini terlalu sering dimunculkan, saya sulit memercayainya dan menganggapnya naif. Rekam jejak psikologi politik SBY dan genealogi kudeta (coup d’Etat) menolak tesis itu.

Kudeta di lingkungan militer biasa dipimpin kolonel atau pangkat lebih rendah, bukan oleh jenderal. Idealisme perubahan di dada kolonel begitu membuncah, berbeda dengan jenderal yang telah “selesai”.

Lihat riwayat kudeta Kolonel von Stauffenberg di Jerman, Kolonel Moammar Ghadafi di Libia, Kolonel Ely Ould Mohamed Vall di Mauritania, serta Letkol Untung dan Kolonel Sadikin di Indonesia. SBY terlihat sulit untuk menjadi pengecualian, apalagi ia mulai ditahbis sebagai tokoh demokrasi di dunia internasional.

Akhirnya, kata terima kasih ini layak diberikan untuk komitmen SBY mengupayakan pilpres yang demokratis, jujur, dan adil. Ia dapat melengkapi curriculum vitae-nya dengan mengantarkan penggantinya sebagai presiden Indonesia ke depan pintu gerbang persaingan global bangsa-bangsa dunia. Semoga tidak ada drama pada Pilpres 9 Juli mendatang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar