Dinamika
Politik Nasional
Vishnu
Juwono ; Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia
|
KORAN
JAKARTA, 05 Mei 2014
Setelah
pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masyarakat disibukkan
berbagai aksi para elite partai politik (parpol) menyusun langkah politik
selanjutnya pemilihan presiden, 9 Juli mendatang.
Berdasarakan
hasil quick count dari berbagai lembaga survei diperkirakan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) Perjuangan memenangi pemilihan legislatif (DPR) dengan jumlah
suara sekitar 19 persen. Dia diikuti Partai Golkar (15 persen) dan Gerindra
(12 persen). Perolehan hasil pemilu yang cukup mengecewakan dialami Partai
Demokrat yang tergerus suaranya tinggal 10 persen, setengah dari Pemilu 2009.
Selain
itu, juga terjadi kejutan di pemilu DPR 2014 ini yaitu partai-partai Islam,
di luar perkiraan, suaranya naik seperti Partai Kebangkitan Bangsa (9
persen), Partai Amanat Nasional (7,5 persen), Partai Keadilan Sejahtera (6,9
persen), serta Partai Persatuan Pembangunan (6,7 persen).
Dengan
demikan, kekuatan politik sangat terfragmentasi di DPR karena tidak ada
parpol yang menguasai kursi mayoritas DPR secara sendirian. Akibatnya, tidak
heran, para pemimpin parpol, saat ini, terus manuver mencari mitra koalisi,
sementara baru PDIP yang telah berhasil menggandeng Partai Nasional Demokrat
(Nasdem). Bila suara keduanya digabung, sekitar 25 persen, cukup memenuhi
syarat minimum mencalonkan pasangan presiden dan wakil.
Sementara
itu, Partai Gerindra yang sejak berdiri enam tahun lalu mencalonkan Prabowo
Subianto menjadi calon presiden mengalami pukulan politik karena perpecahan
internal dalam tubuh partai PPP sehingga mereka menarik kembali dukungannya
terhadap Prabowo, sementara partai terbesar kedua, Golkar, dengan calon
Presiden Aburizal Bakrie (ARB), tampaknya kesulitan mencari mitra koalisi
karena elektabilitas RB sulit untuk menyaingi dua kandidat yang lebih
populer, seperti Jokowi dan Prabowo.
Terdapat
keinginan dari calon presiden Jokowi berkeras membentuk koalisi terbatas di
DPR, baik dalam memajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden maupun
dalam menjalankan pemerintahan pada periode 2014-2015. Namun sayang, dengan
hasil pemilu legislatif dari PDIP yang tidak memenuhi target 27 persen, usaha
untuk membentuk koalisi terbatas dan efektif di DPR menjadi tantangan besar.
Dapat
dibayangkan kondisi seperti Presiden Abdurrahman Wahid Gus 1999-2001 yang
kerepotan menghadapi manver-manuver parpol lawan melalui DPR hingga akhirnya
harus lengser dari kursi kepresidenan.
Atau
masa awal periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2004-2005
juga kerepotan menghadapi manuver DPR. Salah satunya mengenai pengajuan calon
panglima TNI, sebelum Wakil Presiden Jusuf Kalla mengambil alih Partai Golkar
dengan menjadi ketua umumnya (Crouch,
2010).
Sepertinya,
Jokowi ingin mengulang kesuksesannya “menaklukkan” parlemen, walau hanya
didukung minoritas seperti saat menjadi Wali Kota Solo pada tahun 2005-2012
dan Gubernur DKI Jakarta dari 2012 hingga sekarang.
Terlepas
dari kisruh yang melanda PPP, sepertinya Prabowo Subianto sebagai calon
presiden partai Gerindra akan lebih memungkinkan berkoalisi dengan partai
Islam, di luar PKB, seperti PKS, PPP, atau PAN. Sebab Prabowo yang di masa
orde baru dikenal sebagai salah satu tokoh dari faksi Islam (Schwarz, 2000).
Namun
pernyataan Ketua Partai Demokrat, SBY, yang mempertimbangkan opsi mengajukan
calon presiden , tentu dapat mengubah peta koalisi partai politik di luar
Jokowi. Dengan pengalaman memenangi dua pemilihan presiden, tahun 2004 dan
2009, tentu langkah politik SBY patut diperhitungkan.
Penyelenggaraan
konvensi calon presiden Partai Demokrat sesungguhnya merupakan eksperimen
proses demokrasi yang patut dipuji karena menyediakan mekanisme pemilihan
calon presiden betul-betul berdasarkan keinginan masyarakat dibanding
mekanisme internal partai yang sering kali tertutup, kurang transparan, dan
tidak akuntabel.
Akan
tetapi, calon presiden yang berkompetisi dalam konvensi tidak ada yang
memiliki tingkat elektibilitas setinggi Jokowi dan Prabowo. Bahkan, lebih
rendah dari kandidat Partai Golkar, Aburizal Bakrie. Akibatnya Partai
Demokrat akan kesulitan menarik minat parpol papan tengah yang didominasi
partai Islam.
Ideal
Kondisi
Indonesia memang tidak bisa dibandingkan dengan masa lalu mengingat
kompleksitas masalah yang dimiliki baik domestik maupun global. Namun, harus
diakui, dulu ada pemimpin yang mempunyai kompetensi, visi kenegaraan kuat,
jiwa kepemimpinan tinggi, dan yang paling penting adalah integritas pribadi
yang teguh.
Saat
ini, meminjam istilah salah satu Indonesianis terkemuka Herbert Feith,
dibutuhkan pemimpin yang mampu membangkitkan semangat solidaritas atau
solidarity makers sekaligus kehebatan manajemen administrasi. Dwitunggal
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah memainkan peranan
solidarity makers (Soekarno) dan administrator (Hatta) dengan sangat efektif.
Namun, akibat perbedaan politik yang tidak bisa dijembatani, Mohammad Hatta
mengundurkan diri sebagai wakil presiden tahun 1956 (Feith, 1962).
Jokowi
dan Prabowo, bisa dikatakan, berkarakterisik sebagai solidarity maker. Jokowi dengan ciri khas “blusukan” mampu
membangkitkan solidaritas dan simpati masyarakat, tindakannya demi melindungi
masyarakat terpinggirkan, sedangkan Prabowo telah berhasil memosisikan diri
sebagai pemimpin tegas dengan program ekonomi kerakyatan.
Dia menitikberatkan
membangkitkan sektor pertanian guna mewujudkan visi menjadikan Indonesia
sebagai macan Asia. Komunikasi efektif inilah yang menjadikan salah satu
faktor meningkatkan jumlah suara Gerindra sekitar tiga kali dari Pemilu 2009.
Bahkan,
sebelum Jokowi menjadi sebuah fenomena nasional semenjak terpilih menjadi
Gubernur DKI, tahun 2012, Prabowo selalu memiliki tingkat elektabilitas
tertinggi sebagai calon presiden di berbagi lembaga survei.
Maka,
sebagai solidarity makers, Jokowi
dan Prabowo sebaiknya didukung calon wapres berkarakteristik administrator
andal. Tentu saja pertimbangan dukungan politik di parlemen tak boleh
ditinggalkan. Namun, bila memilih wakil presiden hanya berdasarkan
pertimbangan dukungan politik parlemen tanpa memperhitungkan kompetensi serta
kecocokan bekerja sama, bisa dipastikan presiden terpilih akan kesulitan
mengeksekusi program-program. Ini berakibat tidak terselesaikannya
masalah-masalah besar bangsa.
Selain
itu, keahlian mengelola ekonomi dan keuangan negara juga perlu menjadi faktor
pertimbangan dalam memilih wakil presiden sebab kondisi perekonomian dan
pelayanan publik merupakan bidang yang bersentuhan langsung dengan kehidupan
masyarakat terutama orang miskin. Perlu diakui keberhasilan pemerintahan
Presiden SBY selama hampir 10 tahun ini dalam mempertahankan pertumbuhan
ekonomi di kisaran 5–6 persen dengan kondisi makro-ekonomi cukup stabil.
Akan
tetapi, masih banyak perbaikan yang perlu dilakukan dalam bidang ekonomi
seperti tingkat kesenjangan antara kaya dan miskin yang semakin meningkat,
biaya hidup semakin tinggi, dan masih borosmua
anggaran.
Rekam
jejak kinerja seorang wapres akan sangat membantu presiden menjalankan tugas
kenegaraaan. Presiden ketiga Republik Indonesia, Prof BJ Habibie, sudah
memberi clue agar calon presiden
Indonesia 2014–2019 berumur 40-60. Pendapat ini bagus dan dalam konteks
regenerasi kepemimpinan nasional tentu saja ini juga berlaku bagi kandidat
wakil presiden.
Kandidat
yang mendekati kriteria tersebut antara lain mantan Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Gubernur Bank
Indonesia Agus Martowardoyo, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham
Samad, dan Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar