Patriotisme
BRIsat di Orbit Luar Angkasa
Dahlan
Iskan ; Menteri BUMN
|
JAWA
POS, 05 Mei 2014
DARI
Tual terbang ke Bali. Dulu jual sekarang beli. Itulah pantun yang tiba-tiba
diucapkan seorang tokoh saat berada di dalam lift kantor pusat Bank Rakyat
Indonesia (BRI).
Hari itu
Direktur Utama BRI Sofyan Basyir menandatangani kontrak pembelian satelit
dari perusahaan Amerika Serikat (AS) Space
System/Loral, LLC. Satelit
tersebut akan diluncurkan perusahaan Prancis
Arianespace.
Presiden
SBY hadir di acara itu meski tidak memberikan pidato sambutan. Saya dan Menkominfo
Tifatul Sembiring mendampingi beliau. Banyak pertanyaan wartawan setelah itu.
Perlukah BRI beli satelit sendiri? Mengapa dilakukan sekarang ketika mau
pilpres?
Saya
sudah biasa menerima pertanyaan yang menyelidik seperti itu. Jadi, jawabannya
pun sudah di luar kepala.
Yang
paling tahu perlu beli satelit sendiri atau tidak tentu manajemen BRI
sendiri. "Kalau Indonesia itu
seperti Tiongkok atau India, memang tidak perlu," jawab Sofyan
Basyir. Dua negara tersebut berupa daratan (mainland). Komunikasinya bisa lewat kabel
Tapi,
Indonesia ini berpulau-pulau, jarak dari barat sampai ke timurnya 5.200 km.
Jaringan BRI menyebar ke seluruh pelosok dan ke seluruh pulau. "Kalau BRI sudah puas seperti ini,
juga tidak perlu satelit," tambahnya.
Meski
sudah menjadi bank yang sangat besar, BRI harus terus berkembang. Besar untuk
ukuran Indonesia belum besar untuk ukuran dunia. BRI sudah menjadi micro
banking terbesar di dunia. Sistemnya harus benar-benar kuat. Sistem teknologi
informasinya harus benar-benar modern.
Masih
ada lagi. "Kalau harga satelit itu
mahal, juga tidak perlu," kata Sofyan. Bagi BRI, dengan laba tahun
lalu Rp 21,5 triliun, pengadaan satelit ini berada dalam jangkauan
kemampuannya. Apalagi, pengeluaran rutin untuk komunikasinya sudah mencapai
Rp 500 miliar setahun.
"Kalau punya satelit sendiri, pengeluaran itu
bisa turun menjadi kurang dari Rp 250 miliar setahun. Ada penghematan Rp 250
miliar setahun," ujar Sofyan.
Saya
memang menyetujui langkah besar BRI ini. Dengan demikian, BRI bisa memberikan
pelayanan lebih baik. Bahkan bisa leluasa membuka jaringan di pulau sejauh
apa pun dan seterpencil apa pun. Pulau-pulau yang jauh itu tidak lagi jauh
secara sistem. Semuanya bisa dikontrol secara tersentral dan real time.
Tapi,
mengapa dilakukan sekarang, ketika dekat pilpres? Pertanyaan ini sama sekali
tidak relevan. Sebuah korporasi harus tetap bergerak di saat apa pun. Sebelum
pilpres atau sesudah pilpres. Korporasi bukan institusi politik dengan siklus
politiknya.
Bila
kita melakukan sesuatu di hari Senin, akan ditanya mengapa tidak Selasa.
Dilakukan Selasa pun, pasti akan ditanya mengapa tidak Rabu! Tidak akan ada
habis-habisnya.
Saya
ingin terus mendorong BRI maju. Mumpung momentumnya tepat. Kadang momentum
muncul hanya sekali. Kalau tidak dimanfaatkan bisa lewat begitu saja.
Apalagi,
pembelian satelit oleh BRI ini mengandung unsur patriotisme dan kebanggaan
nasional yang tinggi. Ini bukan pidato tentang patriotisme. Ini langkah
nyata.
Kavling
orbit satelit ini dulunya milik Indonesia. Jelasnya milik Indosat. Namun,
ketika Indosat dijual pada 2002, satelit tersebut ikut terjual. Kavling
satelit itulah yang kini "direbut" kembali oleh BRI.
Tidak
gampang. Sulit. Sangat sulit. Saya bersyukur usaha yang ruwet itu akhirnya
berhasil.
BRI (dan
kita semua) sangat berterima kasih kepada Menkominfo Tifatul Sembiring.
Beliaulah yang berada di depan untuk berjuang mendapatkan kembali kavling
satelit itu. Tentu juga mendapat dukungan penuh Bapak Presiden SBY.
Perjuangan satelit ini tidak kalah heroiknya dibanding perjuangan mendapatkan
Inalum tahun lalu.
Seandainya
perjuangan "merebut" kembali kavling satelit ini tidak sulit, tidak
perlu memakan waktu. Pembelian satelit itu pun sudah bisa dilakukan tahun
lalu. Bukan menjelang pilpres begini.
Satelit
itu nanti diberi nama BRIsat. Akan diluncurkan dari pulau kecil Guyana di
pesisir Karibia, Amerika Selatan. Satelitnya sendiri dibuat di AS. Lalu
diangkut ke Prancis. Dari Prancis dinaikkan kapal feri ke Guyana, memakan waktu
lebih satu bulan. Bergantung cuaca dan gelombang laut.
Setelah
diluncurkan dari Guyana, hanya dalam waktu 29 menit BRIsat sudah berada di
ketinggian 35.000 km. Dari luar angkasa sana BRIsat bisa meng-cover wilayah
seluruh Indonesia, Asia Tenggara, sampai Australia Barat.
Lokasi
BRIsat adalah orbit terbaik. Orbit ini mestinya hanya bisa diisi 360 satelit.
Karena mereka harus dideretkan di tiap derajat dari 360 derajat keliling
bumi. Orbit ini jadi rebutan semua negara.
Saking
banyaknya negara yang mengincarnya, sampai-sampai kompromi harus dilakukan.
Lokasi yang mestinya diisi 360 satelit itu kini sudah diisi lebih dari 900
satelit! Alangkah padatnya. Alangkah berjejalnya. Betapa penuhnya orbit itu.
Satelit dari seluruh dunia. Itulah sebabnya apa yang dilakukan BRI ini
sungguh heroik! Terlambat sedikit, lokasi tersebut bisa jatuh ke negara lain.
Dengan
langkah ini pula BRI bisa menarik pulang ahli-ahli satelit kita yang selama
ini bekerja di luar negeri. Anak-anak bangsa itu dulunya disekolahkan Pak
Habibie ke luar negeri. Lalu tidak pulang karena kondisi ekonomi kita yang
terpuruk.
Salah
satu di antara mereka adalah Dr Ir Meiditomo Sutyarjoko MSEE. Dia benar-benar
ahli satelit yang dipercaya dunia maju. Suatu hari, dua tahun lalu, Meiditomo
liburan ke Jakarta. Dia memperkenalkan diri kepada saya. Meiditomo
mengatakan, suatu saat nanti Indonesia harus bisa meluncurkan satelitnya
sendiri. Dia merasa mampu.
Meiditomo
(adik kandung ahli nuklir kita Yudiutomo Imardjoko, Dirut PT Batantek) juga
sudah melakukan studi tentang pantai mana di Indonesia ini yang terbaik untuk
tempat peluncuran satelit. Lokasi itu, kata Meiditomo, "terbaik di dunia". Dia lantas menyebutkan nama lokasi
yang ternyata sudah pernah saya kunjungi. "Lurus
langsung menuju orbit," katanya. Kita punya lokasi peluncuran
satelit yang posisinya terbaik di dunia!
Kini ada
satu tim ahli satelit bangsa sendiri yang pulang ke Indonesia. Mereka menjadi
pegawai BRI. BRIsat memang akan dikelola BRI sendiri. Bukan dikelola,
misalnya, anak perusahaan. "Kami
ingin satelit ini tidak pernah dijual," tegas Sofyan. "Kalau dimiliki anak perusahaan,
bisa-bisa nanti ujung-ujungnya dijual," tambahnya. Saya dukung sepenuh-penuhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar