Iman,
Penjara, Suluh
Azis
Anwar Fachrudin ; Santri di Jaringan GusDurian, Yogyakarta
|
TEMPO.CO,
05 Mei 2014
Sikap
sebagian orang Islam negeri ini terhadap Syiah baru saja tertuang dalam
deklarasi dengan istilah yang tampak megah, tapi mengancam: Aliansi Nasional Anti-Syiah. Kata
"aliansi" dan "anti" mengingatkan saya pada dua metafora
yang dipakai Goenawan Mohamad (GM), dalam Catatan Pinggir-nya di majalah
Tempo (11/01/2010) yang berjudul Gus
Dur, tentang iman: sebagai benteng dan sebagai suluh.
"Benteng
kukuh dan tertutup," tulis GM, "bahkan dilengkapi senjata untuk
menangkis apa saja yang lain yang diwaspadai." Benteng ialah sebuah
konstruksi. Ia berdiri; bisa untuk melindungi, tapi lebih sering karena
kecemasan: yang dibentengi merasa rapuh maka ia membutuhkan tameng pelindung
kerapuhannya.
Hari-hari
ini kita melihat iman diperlakukan laksana benteng. Metafora ini, saya pikir,
bisa dilanjutkan dengan kata yang lebih mendalam, yaitu penjara: iman
terperangkap dalam dogma atau akidah. Akidah, yang berasal dari bahasa Arab ('aqidah), artinya ikatan. Ia mengikat,
dan lebih sering memenjara. Iman menjadi sekumpulan batu-bata argumen. Akidah
membuat iman jadi kaku, susah bergerak, sangat terlarang untuk keluar.
Akidah
sebagai penjara mengharamkan sang mukmin, yang dipenjara itu, untuk
mencoba-coba masuk ke ceruk-ceruk keraguan. Keraguan itu sendiri adalah
musuh. Ragu, yang dipandang sebagai ancaman iman, dilarang menyebar dan
karena itu mesti diberangus.
Hari-hari
ini kita melihat iman di negeri ini, khususnya dalam agama Islam, terpenjara
dalam dogma mazhab mayoritas, Sunni. Islam mengerucut, atau menyempit, jadi benteng,
atau tepatnya penjara akidah. Konstruksinya ialah argumen-argumen tekstual
yang tertulis di masa lampau-sebuah konstruksi yang akhir-akhir ini kerap
jadi palu untuk menghancurkan hampir ke setiap yang berbeda.
Lalu
kita melihat konstruksi itu makin rigid, bahkan menegasikan mereka yang
sedikit berbeda saja dengan sikap anti: vonis kafir bagi mereka yang berada
di luar benteng itu. Sebagian bilang, itu akibat menguatnya politik identitas
di tubuh umat Islam hari ini: umat Islam merasa diancam-diserang oleh
sekumpulan nilai di sekitarnya sehingga, agar teguh identitasnya, perbedaan
mesti dipertegas. Konstruksi akidah mengeras.
Kenyataannya,
Sunni yang mayoritas ini masih memerlukan benteng. Kita menyimak, dari
retorika anti-Syiah yang mengemuka tampak ada perasaan keterancaman. Mungkin,
para ulama anti-Syiah itu begitu peduli pada kerapuhan iman umatnya, sehingga
khawatir pada serangan argumentasi Syiah, yang minoritas-sebuah kerapuhan
yang, menurut saya, sering tak pada tempatnya karena, kita tahu, mayoritas
orang Islam negeri ini tak tahu persis beda Sunni dengan Syiah.
Akidah
menjadi amunisi. Mazhab, dalam taraf tertentu, menjadi politis: sengketa sektarian adalah kata lain
dari rebutan umat. Padahal, saya
berharap, iman lebih diperlakukan, dalam metafor kedua GM, sebagai suluh: "Sang mukmin membawanya dalam
perjalanan menjelajah," tulis GM, "menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal." Iman sebagai suluh bukan untuk menyingkirkan gelap.
Justru, gelap butuh ada agar sinar suluh makin tampak terang. Iman sebagai
suluh tak khawatir pada ceruk-ceruk ragu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar