Jumat, 16 Mei 2014

Di Simpang Jalan

Di Simpang Jalan

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  16 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
BILA menyangkut persoalan calon presiden (capres) mana yang akan kita pilih, saat ini kita sedang ada di simpang jalan. Tersebutlah sejumlah capres, tetapi Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto rasanya masih menonjol menjelang saat terakhir pendaftaran. Siapa di antara para capres akan unggul, tergantung pendukungnya. Secara realistis dan objektif, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan.

Yang mungkin meminta perhatian, bagaimana elektorat memberikan respons terhadap mereka? Untuk itu, ada baiknya kita teliti elektorat seperti apa yang kita miliki. Heterogenitas tidak memungkinkan mereka menganut satu pendapat sama. 
Rumitnya lagi, heterogenitas itu bukan hanya ditentukan oleh ideologi politik yang dilandasi wawasan yang luasnya setara. Pendidikan yang tidak merata; latar belakang sosial dengan ketimpangan besar di sana-sini, yang pada gilirannya membentuk kepentingan ekonomi yang berbeda-beda; selain tinggi rendahnya emosi karena keyakinan spiritual dan adat istiadat; pastilah menyulitkan terbentuknya pendapat satu arah. Bahkan, di negara-negara maju dan modern pun, yang elektoratnya relatif setara dalam banyak hal, toh sulit memperoleh kesatuan pendapat. Apalagi di masyarakat seperti yang ada di negeri ini.

Kalangan politikus menyadari kenyataan tersebut. Sebagian memanfaatkan ciri-ciri yang dimiliki kalangan elektorat untuk kepentingan masing-masing, yang mungkin ujung-ujungnya ialah mendapatkan kekuasaan atau kemauan mereka; bukan kemauan seluruh rakyat. Itu menjelaskan mengapa pemilu legislatif digambarkan sebagai yang paling brutal selama ini; dan mengapa kita masih juga mempertimbangkan pasangan pimpinan tertinggi paling tepat negeri ini dengan pembedaan: Jawa dengan non-Jawa, partai Islam atau bukan, sipil atau militer, dan unsur-unsur primordial lainnya. Kita ingat ketika Megawati Soekarnoputri masuk pertarungan, masalah laki-laki dan perempuan pun menjadi perdebatan, bahkan dengan memasukkan keyakinan agama.

Kita belum masyarakat modern

Sebenarnya sampai sekarang belum ada perumusan tentang manusia modern yang disetujui semua pihak. Akan tetapi, menurut Profesor Alex Inkeles (1920-2010), ahli sosiologi dari Harvard University, yang mencirikan manusia modern ialah kesediaannya membuka diri terhadap pengalaman baru, inovasi, dan perubahan. Orang modern lebih demokratis karena dia menyadari keragaman sikap dan pendapat yang ada di lingkungannya. Dia tidak bersikap otokratis dan hierarkis. Untuk itu diperlukan tranformasi, dan satu-satunya cara tercepat untuk mengadakan tranformasi ialah lewat pendidikan, formal maupun nonformal, di sekolah maupun di rumah. Dalam rangka berpolitik, rasanya partai-partai politik berkewajiban bukan hanya mendidik kader-kadernya tentang tata cara berpolitik, melainkan juga mendidik elektorat umumnya. Bukan malahan mengombang-ambingkan mereka dalam emosi yang bersifat primordial.

Dalam rangka kampanye politik tahap kedua di 2014 ini, saya kutip ungkapan Ginanjar Kartasasmita (GK); “Loyalitas jangan mengorbankan kepentingan yang lebih besar.” GK mengungkapkannya berkenaan dengan tuduhan bahwa sebagai Menteri Ekuin zaman Pak Harto, dia menjadi penggerak sikap yang akhirnya menutup babak pemerintahan Orde Baru. Padahal baginya mungkin bila sikap politiknya maju-mundur hanya menambah keruwetan. Pendapat GK disampaikan di sini untuk mengurangi keraguan dalam pemilihan pasangan RI-1 dan RI-2 Juli nanti.

Selain itu, dengan merujuk pada pandangan modern, kita tidak hanya membatasi 
wawasan pada lingkungan dekat, tetapi juga mampu melebarkan wawasan ke cakrawala lain. Sebab, semakin tradisional atau kolot seseorang, semakin sempit bidang yang menarik perhatiannya. Dia hanya tertarik pada hal-hal yang menyangkut kepentingan diri dan lingkungannya. Komunikasi politik internasional, misalnya, masih belum terpikir olehnya.

Jangan ada megalomania                                      

Yang kita harapkan, jangan ada megalomania di antara para capres. Jangan ada yang bersikap kekanak-kanakan dengan menganggap dirinya superior. Tokoh sehebat apa pun tidak mungkin menuntaskan segudang permasalahan yang dihadapi penduduk berjumlah sekitar seperempat miliar. Sikap megalomania mungkin masih bisa meloloskannya dari pertarungan mendapatkan posisi RI-1 atau wakilnya, tetapi selanjutnya akan sulit mendapatkan kerja sama sempurna dari para pembantu dekatnya; yang pastinya orang-orang hebat juga.

Merujuk pada epik Mahabarata dari India yang mengisahkan pertarungan antara para Pandawa dan Bala Kurawa, kita bisa memetik pelajaran bahwa kerajaan Amarta bukan ditopang oleh kekuasaan seorang Pandawa tunggal, betapa pun hebatnya tokoh itu; melainkan ditopang oleh kekuatan bersama Pandawa Lima (lima Pandawa). Masing-masing memberikan sumbangsih sesuai dengan kemampuannya.

Idealnya, jauh-jauh hari kita sebagai elektorat pun sudah mempunyai bayangan siapa-siapa pembantu terdekat RI-1, selain wakilnya nanti. Siapa, misalnya, yang akan menduduki jabatan-jabatan penting di kabinet. Apakah bentuknya zaken kabinet yang beranggotakan tokoh-tokoh profesional di bidang masing-masing, atau kabinet transaksional yang diisi orang-orang politik anggota koalisi? Dengan bayangan tentang kemungkinan-kemungkinannya, elektorat akan mendapat gambaran lebih utuh kelompok pimpinan mana yang akan dipilihnya.

Mudah mengatakannya, tak mudah melaksakannya, karena koalisi atau kerja sama mengandaikan kesepakatan mengenai pemilihan pembantu-pembantu terdekat RI-1. Tetapi siapa tahu itu dimungkinkan terjadi sebelum 9 Juli. Sementara itu, sejak sekarang elektorat sedang menanti-menanti apa yang ditawarkan partai-partai politik. Banyak yang ditawarkan, pilihan ada di tangan elektorat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar