Jumat, 16 Mei 2014

Pesan Damai Waisak di Tengah Kekerasan

Pesan Damai Waisak di Tengah Kekerasan

Tom Saptaatmaja  ;   Pernah mengikuti kuliah agama Buddha dan filsafat Timur di STFT Widya Sasana Malang, Alumnus Seminari St Vincent de Paul
MEDIA INDONESIA,  16 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DALAM menyambut Hari Raya Waisak pada Kamis (15/2), Dewan Kepausan mengirim pesan sekaligus ucapan selamat pada penganut Buddha di seluruh dunia. Seperti kita ketahui, ada tiga hal penting yang dirayakan dalam Trisuci Waisak, yaitu lahirnya Pangeran Siddharta di Taman Lumbini pada 623 SM, Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha pada usia 35 tahun pada 588 SM serta Pangeran Siddharta wafat pada usia 80 tahun pada 543 SM.

Waisak selalu berisi ajakan untuk senantiasa mengasah kembali kesadaran dan pengen dalian diri dari perbuatan jahat. Pesan itu dilandasi konsep dhamma bahwa pikiran menjadi lokomotif dari suatu tindakan. Jelas hal itu bisa menjadi inspirasi karena sifat ajarannya yang universal. Artinya, tanpa perlu kita memeluk agama Buddha, ajarannya bisa sangat bermanfaat bila kita implementasikan dalam kehidupan. Misalnya bagaimana kita bijak dalam merespons beragam bentuk kekerasan.

Pesan Waisak Dewan Kepausan

Ketua Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama, Jean Louis Kardinal Tauran, dalam pesan Waisak tahun ini antara lain menulis: “Kita semua hidup di dunia terlalu sering terkoyak oleh penindasan, egoisme, paham kesukuan, persaingan etnis, kekerasan, dan fundamentalisme agama, sebuah dunia dengan `orang lain' diperlakukan sebagai rendahan, bukan pribadi, atau seseorang yang disegani serta dilenyapkan jika mungkin.

Namun, kita dipanggil, dalam semangat kerja sama dengan para peziarah lain dan dengan orang-orang yang berkehendak baik, untuk menghormati dan membela kemanusiaan kita bersama dalam berbagai konteks sosialekonomi, politik, dan agama.

Mempergunakan keyakinan agama kita yang berbeda, kita dipanggil terutama untuk menjadi blak-blakan dalam mengecam semua penyakit sosial yang merusak persau daraan tersebut; menjadi para penyembuh yang memungkinkan orang lain bertumbuh dalam kemurahan hati tanpa pamrih, dan menjadi para pemersatu yang memecah tembok perpecahan dan membina persaudaraan sejati antara pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat.“

Pesan Dewan Kepausan itu tentu relevan jika dikaitkan dengan maraknya kekerasan, khususnya kekerasan atas nama agama, baik di level dunia maupun domestik. Kita bahkan mengelus dada karena kekerasan sampai menyebabkan nyawa melayang. Dilakukan siapa pun, disponsori lembaga apa pun, kekerasan itu sungguh merupakan sesuatu yang biadab dan merendahkan martabat luhur manusia.

Kekerasan atas nama agama menjadi bukti bahwa sebagian orang ternyata masih sulit menerima perbedaan. Yang berbeda, yang lain dianggap sebagai sebuah aib dan pantas serta sah untuk dilenyapkan. Simak saja yang disebut etnik Tionghoa atau `Kristen' kerap dijadikan bahan dalam kampanye hitam untuk menjatuhkan seseorang. Misalnya, Jokowi menjelang pilpres 9 Juli 2014 diserang dengan isu yang mengaitkannya dengan etnik Tionghoa dan agama Kristen di media sosial.

Tulisan ini tidak berpretensi mempromosikan Jokowi, tapi jelas kampanye hitam yang menyudutkan etnik dan agama tertentu jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan merusak bangunan kebangsaan kita. Kampanye hitam itu juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita para pendiri bangsa agar Indonesia bisa menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi semua orang dari semua agama.

Padahal dulu negeri ini dikenal sebagai negeri yang ramah dan warganya bisa saling menghargai perbedaan. Kini tampaknya kita harus kembali dari nol untuk belajar menghargai keberagaman dan perbedaan. Menjelang pilpres, bisa saja kita tergoda untuk semakin melam piaskan kekerasan. Namun, setiap kali digoda untuk menggunakan kekerasan, mari kita menggu nakan kesadaran dan pengendalian diri, sebagaimana diajarkan dalam agama Buddha dan sudah disebutkan di awal tulisan ini.

Kesadaran dan pengendalian diri adalah bukti akal sehat kita masih berfungsi. Pasalnya, akal sehat mati ketika kekerasan kian marak.

Coba kalau kita sungguh berakal, tentu kita prihatin. Jangankan mau menghunus pedang, mau mencubit sesama pun pasti tidak akan jadi. Segala bentuk kekerasan sebenarnya merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan hanya mendegradasi harkat dan martabat kemanusiaan kita.

Lagi pula, kalau orang gemar mengobral kekerasan atas nama agama, sebenarnya itu menjadi promosi yang buruk bagi agama yang kita anut. Kekerasan jelas merusak citra agama sebagai pembawa pesan perdamaian. Jika tanpa kekerasan atas nama agama saja kita sudah dibuat muak, kekerasan atas nama agama benar-benar membuat kita semakin muak.

Kekerasan yang dilakukan sebagian orang dengan membawa atribut agama, jika dikaji secara mendalam, memang amat bertentangan dengan ajaran agama sebagai pembawa kebaikan, keadilan, dan kedamaian. Kekerasan juga amat bertentangan dengan kemanusiaan karena dalam setiap kekerasan pasti ada martabat manusia yang dilecehkan, termasuk di dalamnya kaum perempuan dan anak-anak.

Biasanya yang dijadikan alasan ialah masalah akidah atau dogma.
Padahal, sesat-tidaknya sebuah agama biarlah menjadi urusan Sang Pencipta saja. Masalahnya bisa, tidak, kita sebenarnya untuk menerima perbedaan? Silakan orang meyakini penafsiran keagamaan model apa pun, tapi biarkan juga orang lain punya keyakinannya sendiri.

Jangan menghakimi keyakinan orang lain dengan paham kita, apalagi diekspresikan dalam tindak kekerasan terhadap yang lain.

Maka kita perlu kembali belajar untuk berbeda, tanpa perlu meletupkan kekerasan pada pihak lain. Semua agama membawa pesan damai. Lagi, negara ini bukan negara agama dan bukan dimaksudkan untuk melindungi satu agama atau aliran saja. Semua penganut agama dijamin dalam konstitusi kita, khususnya UUD 1945 Pasal 28 E ayat 1 dan 2 serta UU No 39/1999 tentang HAM.

Sufi muslim Bawa Muhayaiddeen

Yang suka memuja kekerasan, mari merenungkan kalimat Bawa Muhayaiddeen. Menurut sufi dari AS itu, setiap penganut agama adalah musafir yang sedang mengembara di gurun pasir untuk menuju suatu tempat keabadian. Kita ibaratnya sedang mencari air kesejukan di sebuah oasis untuk bekal dalam perjalanan panjang ini.

Sesampai di oasis itu, sebagian besar manusia lupa mengambil air kesejukan karena lebih suka melihat perbedaan wadah air itu. Ada yang membawa wadah air dari logam, ada yang dari kuningan, ada yang dari kayu, dan sebagainya.

Manusia saling menyalahkan bahwa wadah yang dibawa orang lain salah karena seharusnya orang lain memakai wadah seperti yang dimilikinya. Mereka juga sering beradu pendapat, berkelahi, bahkan saling membunuh. Ketika waktunya telah habis, mereka tidak sempat mengisi wadahnya dengan air kesejukan.
Jadi, mari kembali ke jati diri agama sebagai pembawa cinta kasih dan damai, bukan pembawa kebencian dan kekerasan. Teladan sang Buddha yang selama hidup selalu penuh belas kasih dan cinta damai semoga menjadi inspirasi bagi kita, untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.

Ketika kekerasan dibalas kekerasan, lingkaran kekerasan akan terjadi. Lebih baik kita bersinergi untuk mewujudkan perdamaian dalam negara, masyarakat, dan hidup kita. Selamat Hari Raya Waisak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar