Pesan
Damai Waisak di Tengah Kekerasan
Tom
Saptaatmaja ; Pernah
mengikuti kuliah agama Buddha dan filsafat Timur di STFT Widya Sasana Malang,
Alumnus Seminari St Vincent de Paul
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Mei 2014
DALAM menyambut Hari Raya Waisak
pada Kamis (15/2), Dewan Kepausan mengirim pesan sekaligus ucapan selamat
pada penganut Buddha di seluruh dunia. Seperti kita ketahui, ada tiga hal
penting yang dirayakan dalam Trisuci Waisak, yaitu lahirnya Pangeran
Siddharta di Taman Lumbini pada 623 SM, Pangeran Siddharta mencapai
Penerangan Agung dan menjadi Buddha pada usia 35 tahun pada 588 SM serta
Pangeran Siddharta wafat pada usia 80 tahun pada 543 SM.
Waisak selalu berisi ajakan
untuk senantiasa mengasah kembali kesadaran dan pengen dalian diri dari
perbuatan jahat. Pesan itu dilandasi konsep dhamma bahwa pikiran menjadi
lokomotif dari suatu tindakan. Jelas hal itu bisa menjadi inspirasi karena
sifat ajarannya yang universal. Artinya, tanpa perlu kita memeluk agama
Buddha, ajarannya bisa sangat bermanfaat bila kita implementasikan dalam
kehidupan. Misalnya bagaimana kita bijak dalam merespons beragam bentuk
kekerasan.
Pesan Waisak Dewan Kepausan
Ketua Dewan Kepausan untuk
Dialog Antaragama, Jean Louis Kardinal Tauran, dalam pesan Waisak tahun ini
antara lain menulis: “Kita semua hidup
di dunia terlalu sering terkoyak oleh penindasan, egoisme, paham kesukuan,
persaingan etnis, kekerasan, dan fundamentalisme agama, sebuah dunia dengan
`orang lain' diperlakukan sebagai rendahan, bukan pribadi, atau seseorang
yang disegani serta dilenyapkan jika mungkin.
Namun,
kita dipanggil, dalam semangat kerja sama dengan para peziarah lain dan
dengan orang-orang yang berkehendak baik, untuk menghormati dan membela
kemanusiaan kita bersama dalam berbagai konteks sosialekonomi, politik, dan
agama.
Mempergunakan
keyakinan agama kita yang berbeda, kita dipanggil terutama untuk menjadi
blak-blakan dalam mengecam semua penyakit sosial yang merusak persau daraan
tersebut; menjadi para penyembuh yang memungkinkan orang lain bertumbuh dalam
kemurahan hati tanpa pamrih, dan menjadi para pemersatu yang memecah tembok
perpecahan dan membina persaudaraan sejati antara pribadi-pribadi maupun
kelompok-kelompok dalam masyarakat.“
Pesan Dewan Kepausan itu tentu
relevan jika dikaitkan dengan maraknya kekerasan, khususnya kekerasan atas
nama agama, baik di level dunia maupun domestik. Kita bahkan mengelus dada
karena kekerasan sampai menyebabkan nyawa melayang. Dilakukan siapa pun,
disponsori lembaga apa pun, kekerasan itu sungguh merupakan sesuatu yang
biadab dan merendahkan martabat luhur manusia.
Kekerasan atas nama agama
menjadi bukti bahwa sebagian orang ternyata masih sulit menerima perbedaan.
Yang berbeda, yang lain dianggap sebagai sebuah aib dan pantas serta sah
untuk dilenyapkan. Simak saja yang disebut etnik Tionghoa atau `Kristen'
kerap dijadikan bahan dalam kampanye hitam untuk menjatuhkan seseorang.
Misalnya, Jokowi menjelang pilpres 9 Juli 2014 diserang dengan isu yang
mengaitkannya dengan etnik Tionghoa dan agama Kristen di media sosial.
Tulisan ini tidak berpretensi
mempromosikan Jokowi, tapi jelas kampanye hitam yang menyudutkan etnik dan
agama tertentu jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan merusak
bangunan kebangsaan kita. Kampanye hitam itu juga merupakan bentuk
pengkhianatan terhadap cita-cita para pendiri bangsa agar Indonesia bisa
menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi semua orang dari semua agama.
Padahal dulu negeri ini dikenal
sebagai negeri yang ramah dan warganya bisa saling menghargai perbedaan. Kini
tampaknya kita harus kembali dari nol untuk belajar menghargai keberagaman
dan perbedaan. Menjelang pilpres, bisa saja kita tergoda untuk semakin melam
piaskan kekerasan. Namun, setiap kali digoda untuk menggunakan kekerasan,
mari kita menggu nakan kesadaran dan pengendalian diri, sebagaimana diajarkan
dalam agama Buddha dan sudah disebutkan di awal tulisan ini.
Kesadaran dan pengendalian diri
adalah bukti akal sehat kita masih berfungsi. Pasalnya, akal sehat mati
ketika kekerasan kian marak.
Coba kalau kita sungguh berakal,
tentu kita prihatin. Jangankan mau menghunus pedang, mau mencubit sesama pun
pasti tidak akan jadi. Segala bentuk kekerasan sebenarnya merupakan tindakan
yang tidak manusiawi dan hanya mendegradasi harkat dan martabat kemanusiaan
kita.
Lagi pula, kalau orang gemar
mengobral kekerasan atas nama agama, sebenarnya itu menjadi promosi yang
buruk bagi agama yang kita anut. Kekerasan jelas merusak citra agama sebagai
pembawa pesan perdamaian. Jika tanpa kekerasan atas nama agama saja kita
sudah dibuat muak, kekerasan atas nama agama benar-benar membuat kita semakin
muak.
Kekerasan yang dilakukan
sebagian orang dengan membawa atribut agama, jika dikaji secara mendalam,
memang amat bertentangan dengan ajaran agama sebagai pembawa kebaikan,
keadilan, dan kedamaian. Kekerasan juga amat bertentangan dengan kemanusiaan
karena dalam setiap kekerasan pasti ada martabat manusia yang dilecehkan,
termasuk di dalamnya kaum perempuan dan anak-anak.
Biasanya yang dijadikan alasan
ialah masalah akidah atau dogma.
Padahal, sesat-tidaknya sebuah
agama biarlah menjadi urusan Sang Pencipta saja. Masalahnya bisa, tidak, kita
sebenarnya untuk menerima perbedaan? Silakan orang meyakini penafsiran
keagamaan model apa pun, tapi biarkan juga orang lain punya keyakinannya
sendiri.
Jangan menghakimi keyakinan
orang lain dengan paham kita, apalagi diekspresikan dalam tindak kekerasan
terhadap yang lain.
Maka kita perlu kembali belajar
untuk berbeda, tanpa perlu meletupkan kekerasan pada pihak lain. Semua agama
membawa pesan damai. Lagi, negara ini bukan negara agama dan bukan
dimaksudkan untuk melindungi satu agama atau aliran saja. Semua penganut
agama dijamin dalam konstitusi kita, khususnya UUD 1945 Pasal 28 E ayat 1 dan
2 serta UU No 39/1999 tentang HAM.
Sufi muslim Bawa Muhayaiddeen
Yang suka memuja kekerasan, mari
merenungkan kalimat Bawa Muhayaiddeen. Menurut sufi dari AS itu, setiap
penganut agama adalah musafir yang sedang mengembara di gurun pasir untuk
menuju suatu tempat keabadian. Kita ibaratnya sedang mencari air kesejukan di
sebuah oasis untuk bekal dalam perjalanan panjang ini.
Sesampai di oasis itu, sebagian
besar manusia lupa mengambil air kesejukan karena lebih suka melihat perbedaan
wadah air itu. Ada yang membawa wadah air dari logam, ada yang dari kuningan,
ada yang dari kayu, dan sebagainya.
Manusia saling menyalahkan bahwa
wadah yang dibawa orang lain salah karena seharusnya orang lain memakai wadah
seperti yang dimilikinya. Mereka juga sering beradu pendapat, berkelahi,
bahkan saling membunuh. Ketika waktunya telah habis, mereka tidak sempat
mengisi wadahnya dengan air kesejukan.
Jadi, mari kembali ke jati diri
agama sebagai pembawa cinta kasih dan damai, bukan pembawa kebencian dan
kekerasan. Teladan sang Buddha yang selama hidup selalu penuh belas kasih dan
cinta damai semoga menjadi inspirasi bagi kita, untuk tidak membalas
kekerasan dengan kekerasan.
Ketika kekerasan dibalas
kekerasan, lingkaran kekerasan akan terjadi. Lebih baik kita bersinergi untuk
mewujudkan perdamaian dalam negara, masyarakat, dan hidup kita. Selamat Hari Raya Waisak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar