Jumat, 16 Mei 2014

Reproduksi Sesat Pikir Bailout Century

Reproduksi Sesat Pikir Bailout Century

Hendra Fatkhurohman  ;   Wartawan Jawa Pos
JAWA POS,  16 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sidang kasus bailout Bank Century dengan tersangka mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Budi Mulya tengah memasuki babak penting. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menghadirkan sejumlah saksi dengan tingkat ketokohan tinggi seperti Boediono, mantan gubernur BI yang masih menjabat wakil presiden. Juga, mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta mantan Wapres Jusuf Kalla.

Sidang kasus tersebut kita harapkan bisa mengungkap kebenaran di tengah simpang siurnya informasi yang direguk masyarakat. Sayangnya, sidang yang berwenang membuktikan kebenaran material tersebut tak ubahnya hanya memindah kegaduhan informasi yang dulu pernah sama-sama kita saksikan saat DPR membentuk panitia khusus (pansus) Bank Century.

Belum ada informasi baru yang muncul. Tidak banyak pula informasi anyar yang diungkap dalam rekaman-rekaman rapat yang diperdengarkan di pengadilan. Seperti kita ketahui, rekaman tersebut bukan hasil sadapan. Itu adalah rekaman yang sengaja didokumentasikan Bank Indonesia (BI) dan sebagian besar sudah diungkap dalam Pansus DPR pada 2010.

Celakanya, saat belum banyak informasi baru yang berhasil diungkap, sidang kasus Bank Century kembali mereproduksi sejumlah sesat pikir dalam memandang kasus tersebut. Berikut sejumlah sesat pikir tersebut:

Pertama,posisi bank sentral dalam menyikapi krisis finansial 2008. BI dipertanyakan karena saat ini berpendirian bahwa pada 2008 dampak krisis global telah menerpa Indonesia. Sementara itu, dalam sejumlah dokumen publikasi pada masa itu, BI menyatakan bahwa kondisi perbankan masih cukup kuat menahan dampak krisis. Kita menjadi sesat pikir bila heran dengan dua perbedaan pandangan bank sentral pada dua masa berbeda itu. Sebab, bank sentral negeri mana pun tidak akan sembarangan mengumumkan kondisi krisis sebelum ekonomi benar-benar jatuh. Sudah menjadi tabiat bank sentral untuk berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan dan berusaha menenteramkan pasar.

Kedua,larinya dana bailout Rp 6,7 triliun yang dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kata ’’lari’’ atau ’’mengalir’’ terus-menerus direproduksi seakan-akan uang itu dikucurkan untuk sengaja dibawa kabur. Padahal, kita semua tahu bahwa sejak 21 November 2008 Bank Century diambil alih LPS, lembaga yang notabene merupakan kepanjangan tangan pemerintah. Artinya, siapa pun, apalagi anggota DPR maupun penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bisa mengakses informasi ke mana dana bailout Rp 6,7 triliun itu digunakan.

Dari laporan LPS yang sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sudah jelas peruntukan dana Rp 6,7 triliun itu. Sebanyak Rp 4,02 triliun digunakan untuk membayar kewajiban bank kepada 8.577 nasabah. Lalu, Rp 2,25 triliun masih utuh sebagai aset yang diwujudkan dalam beberapa instrumen. Yakni, giro wajib minimum (GWM) (Rp 281,03 miliar), penempatan di Fasbi (Rp 545,48 miliar), pembelian Surat Utang Negara (SUN) 900 (Rp 172 miliar), dan penempatan di Sertifikat Bank Indonesia (Rp 528,24 miliar).

Kemudian, yang Rp 303,09 miliar digunakan untuk membayar kewajiban pinjaman antarbank, biaya RTGS dan denda GWM (Rp 289 juta), pembayaran pokok dan bunga fasilitas pendanaan jangka pendek atau FPJP (Rp 152,25 miliar), serta transaksi valas (Rp 32,9 miliar). Semua sudah klirdan diperiksa auditor negara. Tidak ada alasan bagi pejabat ataupun ekonom yang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang informasi tersebut.

Keempat, penggantian dana nasabah. Pengadilan yang menyidangkan tindak pidana perbankan telah membuktikan bahwa mantan pemilik Bank Century Robert Tantular bersalah. Saat bank tersebut sudah insolvent (tak mampu memenuhi kewajiban) yang di antaranya disebabkan ulah pemilik bank, LPS masuk dan mengambil alih. Nah, jika dana nasabah sudah menguap, entah karena dimainkan dalam instrumen surat utang yang tak memenuhi ketentuan ataupun sebab lain yang dilakukan pemilik lama, LPS tentu harus menyediakan dana yang cukup untuk mengganti dana nasabah jika sewaktu-waktu ditarik.

Dana penggantian dana nasabah itu terbukti cukup besar, yakni Rp 4,02 triliun. Namun, apakah upaya penggantian dana nasabah tersebut salah? Jawabannya sederhana saja. Jika kita menyimpan uang di bank, lalu simpanan kita dibawa kabur pemilik bank, tentu kita akan tetap menuntut agar uang kita dikembalikan. Dengan demikian, upaya penggantian dana nasabah, siapa pun nasabah itu, tidak bisa dikategorikan sebagai upaya memperkaya orang lain.

Dalam kasus Bank Century, terdapat ironi yang cukup mencolok. DPR yang dikukuhkan pengadilan memerintah Bank Mutiara membayar dana nasabah Antaboga, instrumen investasi nonbank bermasalah yang dijual Bank Century. Jika nasabah Antaboga, yang jelas-jelas bukan instrumen perbankan yang dijamin saja, diminta untuk dibayar, mengapa penggantian dana nasabah bank justru dipermasalahkan?

Akhirnya, kita berharap kasus ini bisa segera dituntaskan. Kita berharap pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) bisa segera mengungkap kebenaran dan tidak malah mereproduksi kegaduhan serta disinformasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar