Reproduksi
Sesat Pikir Bailout Century
Hendra
Fatkhurohman ; Wartawan Jawa
Pos
|
JAWA
POS, 16 Mei 2014
Sidang
kasus bailout Bank Century dengan tersangka mantan Deputi Gubernur Bank
Indonesia (BI) Budi Mulya tengah memasuki babak penting. Jaksa Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menghadirkan sejumlah saksi dengan tingkat
ketokohan tinggi seperti Boediono, mantan gubernur BI yang masih menjabat
wakil presiden. Juga, mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta
mantan Wapres Jusuf Kalla.
Sidang
kasus tersebut kita harapkan bisa mengungkap kebenaran di tengah simpang
siurnya informasi yang direguk masyarakat. Sayangnya, sidang yang berwenang
membuktikan kebenaran material tersebut tak ubahnya hanya memindah kegaduhan
informasi yang dulu pernah sama-sama kita saksikan saat DPR membentuk panitia
khusus (pansus) Bank Century.
Belum
ada informasi baru yang muncul. Tidak banyak pula informasi anyar yang
diungkap dalam rekaman-rekaman rapat yang diperdengarkan di pengadilan.
Seperti kita ketahui, rekaman tersebut bukan hasil sadapan. Itu adalah
rekaman yang sengaja didokumentasikan Bank Indonesia (BI) dan sebagian besar
sudah diungkap dalam Pansus DPR pada 2010.
Celakanya,
saat belum banyak informasi baru yang berhasil diungkap, sidang kasus Bank
Century kembali mereproduksi sejumlah sesat pikir dalam memandang kasus
tersebut. Berikut sejumlah sesat pikir tersebut:
Pertama,posisi
bank sentral dalam menyikapi krisis finansial 2008. BI dipertanyakan karena
saat ini berpendirian bahwa pada 2008 dampak krisis global telah menerpa
Indonesia. Sementara itu, dalam sejumlah dokumen publikasi pada masa itu, BI
menyatakan bahwa kondisi perbankan masih cukup kuat menahan dampak krisis. Kita
menjadi sesat pikir bila heran dengan dua perbedaan pandangan bank sentral
pada dua masa berbeda itu. Sebab, bank sentral negeri mana pun tidak akan
sembarangan mengumumkan kondisi krisis sebelum ekonomi benar-benar jatuh.
Sudah menjadi tabiat bank sentral untuk berhati-hati dalam menyampaikan
pernyataan dan berusaha menenteramkan pasar.
Kedua,larinya
dana bailout Rp 6,7 triliun yang dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Kata ’’lari’’ atau ’’mengalir’’ terus-menerus direproduksi seakan-akan uang
itu dikucurkan untuk sengaja dibawa kabur. Padahal, kita semua tahu bahwa
sejak 21 November 2008 Bank Century diambil alih LPS, lembaga yang notabene
merupakan kepanjangan tangan pemerintah. Artinya, siapa pun, apalagi anggota
DPR maupun penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bisa mengakses
informasi ke mana dana bailout Rp 6,7 triliun itu digunakan.
Dari
laporan LPS yang sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sudah jelas
peruntukan dana Rp 6,7 triliun itu. Sebanyak Rp 4,02 triliun digunakan untuk
membayar kewajiban bank kepada 8.577 nasabah. Lalu, Rp 2,25 triliun masih
utuh sebagai aset yang diwujudkan dalam beberapa instrumen. Yakni, giro wajib
minimum (GWM) (Rp 281,03 miliar), penempatan di Fasbi (Rp 545,48 miliar),
pembelian Surat Utang Negara (SUN) 900 (Rp 172 miliar), dan penempatan di
Sertifikat Bank Indonesia (Rp 528,24 miliar).
Kemudian,
yang Rp 303,09 miliar digunakan untuk membayar kewajiban pinjaman antarbank,
biaya RTGS dan denda GWM (Rp 289 juta), pembayaran pokok dan bunga fasilitas
pendanaan jangka pendek atau FPJP (Rp 152,25 miliar), serta transaksi valas
(Rp 32,9 miliar). Semua sudah klirdan diperiksa auditor negara. Tidak ada
alasan bagi pejabat ataupun ekonom yang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu
tentang informasi tersebut.
Keempat,
penggantian dana nasabah. Pengadilan yang menyidangkan tindak pidana
perbankan telah membuktikan bahwa mantan pemilik Bank Century Robert Tantular
bersalah. Saat bank tersebut sudah insolvent
(tak mampu memenuhi kewajiban) yang di antaranya disebabkan ulah pemilik
bank, LPS masuk dan mengambil alih. Nah, jika dana nasabah sudah menguap,
entah karena dimainkan dalam instrumen surat utang yang tak memenuhi
ketentuan ataupun sebab lain yang dilakukan pemilik lama, LPS tentu harus
menyediakan dana yang cukup untuk mengganti dana nasabah jika sewaktu-waktu
ditarik.
Dana
penggantian dana nasabah itu terbukti cukup besar, yakni Rp 4,02 triliun.
Namun, apakah upaya penggantian dana nasabah tersebut salah? Jawabannya
sederhana saja. Jika kita menyimpan uang di bank, lalu simpanan kita dibawa
kabur pemilik bank, tentu kita akan tetap menuntut agar uang kita
dikembalikan. Dengan demikian, upaya penggantian dana nasabah, siapa pun
nasabah itu, tidak bisa dikategorikan sebagai upaya memperkaya orang lain.
Dalam
kasus Bank Century, terdapat ironi yang cukup mencolok. DPR yang dikukuhkan
pengadilan memerintah Bank Mutiara membayar dana nasabah Antaboga, instrumen
investasi nonbank bermasalah yang dijual Bank Century. Jika nasabah Antaboga,
yang jelas-jelas bukan instrumen perbankan yang dijamin saja, diminta untuk
dibayar, mengapa penggantian dana nasabah bank justru dipermasalahkan?
Akhirnya,
kita berharap kasus ini bisa segera dituntaskan. Kita berharap pengadilan
tindak pidana korupsi (tipikor) bisa segera mengungkap kebenaran dan tidak
malah mereproduksi kegaduhan serta disinformasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar