Demokrasi
Dikorupsi
Bambang
Widjojanto ; Komisioner
Komisi Pemberantasan Korupsi
|
KOMPAS,
14 Mei 2014
Pemilu
legislatif dipastikan akan usai sepenuhnya. Kini KPU tengah menyelesaikan
penghitungan jumlah suara. Suara sumbang kian santer terucap karena adanya
sinyalemen soal kecurangan pada pemilu.
Yang
sangat mengkhawatirkan, kecurangan itu dilakukan sebagian peserta dan
penyelenggara pemilu yang sebagiannya juga melibatkan pemilih. Lebih-lebih
bila kecurangan itu didasarkan atas sikap dan perilaku koruptif dan kolusif.
Semua itu dipastikan kelak berujung pada kualitas legitimasi hasil pemilu dan
akhirnya akan berakibat pada kapasitas kinerja dan spiritualitas para legislator
terpilih.
Ada
keniscayaan, tidak ada demokrasi beserta prosesnya yang tidak memerlukan
partai, parlemen, anggota parlemen, dan proses pemilihan legislatif. Pokok
substansi masalahnya adalah pertama, apakah ada partai yang berkhidmat secara
amanah pada maksud kehadirannya?
Kedua,
seberapa banyak anggota parlemen yang memahami makna parlare secara utuh,
tidak sekadar ”representasi atau hak untuk bicara”, tetapi sungguh-sungguh
memperjuangkan kepentingan fundamental rakyat pada daerah pemilihannya.
Ketiga,
adakah proses timbal balik yang diakomodasi oleh sistem pemilihan yang
akuntabel di mana pemilih punya pengetahuan dan kesadaran atas siapa yang
layak dipilihnya serta si calon legislator memang pihak yang punya
kompetensi, ”kewarasan”, taklik pada alasan dan tujuan untuk apa dia dipilih.
Kejujuran dan keberanian
Hal
penting lain yang diperlukan dalam berdemokrasi, apakah kita mempunyai
kejujuran dan keberanian menentukan sejauh mana level demokratisasi yang kini
tengah ditempuh. Ini penting dilakukan agar kita dapat menentukan langkah dan
strategi untuk berupaya terus-menerus memperbaiki bahkan meningkatkan
kualitas demokratisasi Indonesia.
Korupsi
harus dimaknai sebagaimana arti sejatinya, sesuai dengan asal katanya, corruptio, yang secara umum dimaknai
sebagai suatu tindakan yang bersifat buruk, curang, busuk, dan memutar balik.
Ada cukup banyak studi dan tulisan yang mengkaji demokrasi dan korupsi,
tetapi sedikit sekali yang memberikan fokus pada korupsi di dalam proses
demokrasi itu sendiri. Definisi minimalis mengenai demokrasi adalah suatu
sistem yang dilembagakan di mana rakyat mengekspresikan preferensinya melalui
pemilihan umum (Shumpeter, 1950 dalam
Working Paper, Does Democracy Reduce Corruption?, Ivar Kolstad & Arne
Wiig, 2011, CHR Institute).
Korupsi demokrasi
acap kali terjadi pada fase awal pelembagaan dan konsolidasi demokrasi. Salah
satu ciri dari korupsi demokrasi adalah tindakan exclusion dari ”penguasa” atas keterlibatan publik, kepentingan,
dan norma yang ada dalam masyarakat dalam membuat kebijakan dan mengambil
keputusan. Setidaknya, ada tiga jenis korupsi yang terjadi dalam proses
demokrasi di Indonesia bila menggunakan makna korupsi tersebut di atas.
Pertama,
korupsi di dalam partai. Partai sebagai suatu instrumen penting dalam proses
demokrasi mempunyai kedudukan yang sangat strategis untuk menentukan kualitas
demokratisasi. Tingkat kualitas koruptif dan kolusif partai dalam pemilu dapat
dilihat pada tahap awal dari sejauh mana partai memiliki indikator, sistem
yang transparan dan akuntabel dalam menentukan siapa yang layak dicalonkan,
di mana daerah pemilihannya, serta urutan peringkat nomor urut calon.
Untuk
itu, partai dinyatakan tidak korupsi bilamana penguasa, elite partai, dan
penggenggam otoritas penentu daftar calon dan daerah pemilihan mempunyai
sistem, kesadaran, dan kemampuan membebaskan dirinya dari sikap dan perilaku
nepotistik, kolusif, favoritisme, dan politik uang di dalam menentukan calon
seperti disebut di atas. Bila hal itu tidak dilakukan, penguasa partai
sesungguhnya telah secara sengaja membajak proses demokrasi di dalam sistem
dan tubuh partainya sendiri.
Kedua,
korupsi dalam penyelenggaraan pemilu. Sistem proporsional terbuka dipakai
sebagai sistem pemilihan legislatif di Indonesia. Sistem ini, faktanya,
menyebabkan biaya politik menjadi tinggi dan kompetisi sangat terbuka, tetapi
tidak disertai dengan mekanisme kontrol yang kuat dan ketat atas kontestasi sehingga
dapat menyebabkan para calon dari satu partai dalam suatu daerah pemilihan
melakukan apa saja untuk memenangkan dirinya.
Ketika
suatu sistem sudah diketahui kelemahannya bahkan akibat yang ditimbulkannya,
tetapi tetap terus dibiarkan dan secara sengaja ”dipelihara” keberlanjutannya
karena menguntungkan kepentingan tertentu yang justru merugikan kepentingan
kemaslahatan publik, sesungguhnya kita telah sengaja dan bersama-sama
melakukan tindak keburukan dan kecurangan.
Semoga
saja akal sehat dan kesadaran untuk membangun sistem pemilu yang lebih baik
segera dilakukan karena bila tidak, sesungguhnya, demokrasi telah dikorupsi.
Lebih-lebih bila sistem pemilihan sebagai instrumen demokrasi telah secara
sadar dan sengaja dibuat ternyata tidak menghasilkan kualitas outcome yang
menghasilkan kemaslahatan bagi proses demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu,
sebelum ada perbaikan sistem, tidaklah bisa disalahkan bila ada calon
legislator yang ”banyak bicara dan omong kosong”, tidak ada prestasinya, dan
bahkan diindikasikan berperilaku koruptif ternyata tetap terpilih lagi dan
orang yang baik, berdedikasi, serta relatif bersih malah tersingkir dan tidak
terpilih.
Ketiga,
korupsi kewenangan konstitusional. Yang agak mengkhawatirkan sekali, di
tengah fakta bahwa anggota parlemen dihasilkan dari sistem yang masih
”bermasalah” di atas, ada intensi yang tak terbantahkan. Terjadi apa yang
disebut sebagai tendensi legislative
heavy. Ada cukup banyak kewenangan eksekutif yang ”diambil alih” parlemen
yang berpotensi menyebabkan terjadinya absolutisme kekuasaan di tangan
legislatif.
Tiada kewenangan konstitusional
Lihat
saja, misalnya, perekrutan pejabat publik dan penyelenggara negara juga
dilakukan oleh parlemen kendati tidak ada kewenangan konstitusional yang
secara eksplisit memberikan mandat itu. Padahal, sudah ada panitia seleksi
yang justru telah melibatkan unsur masyarakat dan mendorong keterlibatan
publik lebih luas untuk terlibat dalam perekrutan itu. Kita pernah mempunyai
pengalaman ketika terjadi pemusatan kekuasaan atau executive heavy yang pada
akhirnya menjadi cikal bakal perilaku koruptif dan kolusif dari kekuasaan.
Semoga saja kita punya
keberanian menyatakan bahwa demokrasi telah dikorupsi. Lalu, yang jauh lebih
penting lagi, ada kesadaran dan upaya strategis melakukan perbaikan yang
dimulai dengan kajian menentukan di titik dan tahap mana saja tingkat
kerawanan perilaku koruptif dan kolusif berpotensi terjadi dalam proses
demokrasi. Juga penting untuk terus menghidupkan optimisme bahwa selalu ada
ruang dan kesempatan bisa membangun kemaslahatan kendati di jalan terjal dan
berliku sekalipun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar