Rabu, 14 Mei 2014

Yang Terlempar dan yang Tertawa

Yang Terlempar dan yang Tertawa

Indra Tranggono  ;   Sastrawan dan Pemerhati Kebudayaan
KOMPAS,  14 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Lakon wayang Sumantri Ngenger (mengabdi) bisa jadi contoh yang bagus untuk pileg kali ini. Banyak elite parpol gagal ke Senayan. Perolehan suara mereka jeblok. Mereka ibarat tokoh Sumantri yang hendak melakukan mobilitas vertikal jadi priayi agung di lingkaran kekuasaan.

Bedanya, Sumantri bisa minta tolong kepada adiknya, Sukrasana si buruk rupa nan sakti, untuk mengabdi kepada Raja Harjuna Sasrabahu, sedangkan  para elite parpol tidak bisa minta bantuan rakyat. Rakyat justru tak memberikan dukungan maksimal kepada mereka.

Rakyat, yang identik dengan sosok Sukrasana, memang telah berubah perangai dan perilaku. Mereka bukan lagi entitas sosial yang gampang dieksploitasi secara emosional oleh kelompok elite politik yang melamar jadi wakil rakyat. Rakyat tak lagi seperti Sukrasana yang gampang kena rayuan Sumantri hingga mau memindahkan Taman Sriwedari ke Keraton Maespati atas permintaan Harjuna Sasrabahu. Atas bantuan itu, Sumantri mendapat tiket kepriayian.

Rakyat tertawa melihat tokoh- tokoh elite yang gagal masuk parlemen. Ada beberapa motif tawa. Pertama, apatisme politik. Di mata mayoritas rakyat, eksistensi lembaga eksekutif kabur alias antara ada dan tiada. Lembaga itu tak memberi nilai yang signifikan untuk menegakkan kedaulatan rakyat. Mereka yang mestinya melahirkan legislasi, menjalankan politik anggaran, dan mengontrol pemerintahan justru condong jadi tukang stempel kekuasaan yang memberi angin kepada kuasa modal baik domestik maupun asing. Daulat rakyat berubah menjadi daulat juragan dan daulat pasar.

Banyak pula orang parlemen yang kemaruk menggaruk uang negara melalui korupsi sistemik. Mereka menganggap duit APBN adalah duit simbahnya, nenek moyangnya. Etika politik dan etika sosial lenyap. Para legislator korup kehilangan imajinasi sosialnya hingga yang ada hanyalah hasrat menyejahterakan diri, keluarga, dan geng politik-ekonominya.

Kesakralan politik

Pemilu pun kehilangan ”kesakralan” politis. Legitimasinya pun pelan-pelan menguap. Rakyat tidak lagi terlibat secara ideologis dan emosional, melainkan sekadar teknis. Ya, sekadar mencoblos demi dianggap sebagai warga negara yang mau menjalankan titah konstitusi atau tidak diharamkan otoritas agama.

Kedua, menguapnya legitimasi pemilu membikin rakyat cenderung berdemokrasi tanpa beban etik dan moral. Maka, ketika muncul tawaran politik uang dari para caleg berduit, mereka pun merespons dengan sukacita. Uang politik dari siapa pun mereka terima dengan khidmat. Mereka menggunakan prinsip duit dulu coblos belakangan. Terjadilah transaksi.

Dalam pemilu yang kelam itu tak lagi berlaku ukuran kualitas caleg. Siapa pun yang mampu memborong suara rakyat, merekalah yang menang. Banyak tokoh politik yang punya integritas, komitmen, dan kapabilitas harus tersingkir, kalah bersaing dengan caleg berdeposito besar. Jangan heran jika legislator yang  nangkring di Senayan nanti  menyerupai rombongan kor atau grup vokal yang patuh pada notasi dan partitur yang sudah ditentukan para juragan parpol.

Politik uang dalam demokrasi terbuka, liberal, dan transaksional akhirnya memunculkan kutukan. Pertama, hancurnya martabat rakyat hingga mau menjual kedaulatannya kepada para politikus bermental penguasa kapital. Sistem ijon (pembayaran di depan sebelum panen)  menjadikan rakyat bunuh diri secara konstitusional. Mereka tak bisa menuntut orang-orang parlemen menjadi penyambung lidah rakyat dalam memperjuangkan amanah konstitusi.

Kedua, orang-orang parlemen cenderung tak lagi punya kewajiban moral dan konstitusional untuk berjuang karena merasa telah membeli suara rakyat. Laiknya dalam dunia industri, prinsip beli-putus itu memberi kebebasan yang besar bagi orang-orang parlemen mengeksploitasi peran dan fungsinya. Sulit menemukan kesatria konstitusi.

Ketiga, parlemen tak lagi bermartabat dan berwibawa karena tidak dibangun dengan nilai-nilai etik (ideologi) dan moral berkonstitusi. Tak ada lagi perdebatan ideologis demi mewujudkan cita-cita konstitusi. Di parlemen orang cenderung bekerja berdasarkan upah atau guyuran  fee, bukan lagi berjuang demi   menciptakan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

”House”, bukan ”home”

Parlemen lebih dimaknai sebagai house, sekadar bangunan tempat orang melakukan transaksi politik; bukan lagi home, rumah yang memiliki spiritualitas perjuangan. Ratusan juta Sukrasana tertawa melihat semua dekadensi itu. Namun, mereka juga menangis merasakan tidak berfungsinya para penyelenggara negara kecuali sebagai aksesori demokrasi.

Berabad-abad lalu, Sophocles bilang,  uang adalah hasil kebudayaan terburuk. Kini ucapan penulis drama tragedi asal Yunani itu terbukti. Demokrasi terbuka yang transaksional harus ditinjau ulang jika kita tidak ingin martabat bangsa ini ambruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar