Kamis, 07 November 2013

Era Baru Kepemimpinan Bank

Era Baru Kepemimpinan Bank
Mangasa Augustinus Sihaputar   Magister Manajemen FEB Universitas Padjadjaran, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Bidang Perencanaan Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
SUARA MERDEKA, 06 November 2013


MASIH segar dalam memori kolektif sebagian masyarakat bahwa pada 1 Juli 2013 bankir andal berkebangsaan Kanada, Mark Carney, yang selama ini menjadi Gubernur Bank Sentral Kanada dibajak dan dipercaya memimpin Bank Sentral Inggris. Seketika pasar keuangan internasional tersentak.

Bagaimana mungkin warga negara Kanada memimpin Bank Sentral Inggris, otoritas moneter tertinggi pada sebuah negara yang banyak melahirkan ekonom kelas dunia? Memori sebagian dari publik juga belum lupa bahwa pada 1 Mei 2005, Stanley Fischer, Guru Besar Ekonomi Massachusetts Institute of Technology (MIT), perguruan tinggi papan atas di Amerika Serikat, dipercaya menjadi Gubernur Bank Sentral Israel. Dua contoh itu menjadi catatan penting bagi perbankan komersial, baik di Indonesia maupun di dunia internasional.

Harga dari pengetahuan, pengalaman, dan integritas sangat mahal namun sangat diperlukan. Tak ada yang dapat menghalangi sebuah bank untuk ’’mengimpor’’ bankir dari belahan dunia lain demi satu tujuan: peningkatan performa atau kinerja bank yang ia pimpin. Perbankan Indonesia pun sejak dua dekade terakhir ini merekrut bankir-bankir andal. Lihat saja, dirut BRI, BNI dan BCA, tiga bank papan atas yang dipimpin bankir yang bukan dari internal
. Di tingkat regional pun, bank pembangunan daerah (BPD) melakukan hal serupa. Bank Jabar Banten dan Bank DKI, yang merupakan bank pembangunan daerah papan atas, dinakhodai bankir bukan dari internal.

CEO yang direkrut dari luar itu adalah bankir yang mengemban misi hanya demi satu tujuan: peningkatan kinerja. Bagaimana hasilnya? Terjadi peningkatan pertumbuhan signifikan pada hampir seluruh aspek keuangan setelah dipimpin oleh CEO yang merupakan bankir andal dari eksternal.

Paradigma Baru

Change atau perubahan, adalah kata yang sering menjadi slogan dalam organisasi dan perusahaan. Sebagai slogan, bisa jadi hanya terbatas hiasan di tembok kantor. Tanpa makna, tanpa arti. Mengapa? Hakikatnya tiap orang lebih menyukai ìtidak berubah.

Untuk mencapai perubahan dibutuhkan energi besar, diperlukan aksi segera dan tidak menunggu supaya bisa mencairkan status quo. Realitas menunjukkan bahwa energi dari bankir profesional yang berasal dari eksternal sangat memadai sedemikian rupa sehingga mampu melakukan terobosan fundamental yang menghasilkan kinerja bank yang lebih baik.

Dalam manajemen bisnis modern, dikotomi kepemimpinan internal atau eksternal sudah usang. Perhatian pemangku kepentingan hanya pada peningkatan kinerja yang pada akhirnya dinikmati semuanya. Apakah ada jaminan bahwa CEO dari eksternal akan lebih baik? Juga sebaliknya, CEO dari internal? Terlalu prematur untuk menjawabnya.

Yang perlu diperhatikan adalah rekam jejak dari calon CEO. Kita bisa berkaca bahwa pada fakta bahwa sekelas bank sentral pun direkrut lintas negara, tanpa memandang kewarganegaraannya, kendati ia bertanggung jawab memimpin kebijakan moneter sebuah negara. Hampir dapat dipastikan bahwa pemilihan CEO, baik dari kalangan internal maupun eksternal tak akan dilakukan secara sembarangan.

Tak ada pemangku kebijakan yang berani mengambil risiko melakukan perekrutan dengan cara-cara buruk yang pada akhirnya membuat buruk kinerja perusahaan. Kesalahan perekrutan CEO dalam dunia bisnis bisa cepat diketahui, paling tidak selama 4 tri wulan kepemimpinan. Indikator bisnis sangat kuantitatif, semua hal dapat diukur secara matematis. Sebagai CEO, tentu saja pengalaman dalam hal kepemimpinan, pemahaman tentang kompetisi dan rekam jejak memenangi kompetisi, pengalaman operasional dan pengetahuan tentang risiko bisnis menjadi sangat vital. Tanpa kriteria itu, proses perekrutan dipastikan keliru sejak awal. CEO harus bekerja dan berpikir out of the box supaya menang dalam turbulensi kompetisi. Industri perbankan adalah industri yang paling turbulen. Semua bank menawarkan produk dan jasa yang relatif sama. Hampir tak ditemukan perbedaan antara menabung di bank Adan bank B mengingat keunggulan masing-masing fitur dan atribut produk relatif sama. Dalam konteks itulah, hanya CEO yang memahami customer centric strategy bisa memenangi kompetisi.

Menaati Regulasi

Dewasa ini, risiko perbankan sangat kompleks. Bank Indonesia melalui PBI Nomor 11 Tahun 2009 membuat standar bagi direksi bank, disesuaikan dengan aset dan struktur organisasi risiko. Bagi bank besar dengan aset di atas Rp 10 triliun, seorang CEO bila membawahi divisi yang membidangi risiko, diwajibkan memiliki sertifikat manajemen risiko tingkat 5. Demikian juga direktur kepatuhan, yang sangat erat kaitannya dengan manajemen risiko.

Mungkinkah seorang yang tak memiliki sertifikat manajemen risiko tingkat 5 menjadi CEO di bank dengan total aset lebih dari Rp 10 triliun? Semua itu bergantung pada struktur organisasi bank tersebut. Bank Indonesia hanya mensyaratkan sertifikat manajemen risiko tingkat 5 bagi CEO dan direktur bila kedua orang itu membawahi unit kerja yang mengelola risiko sebagaimana bunyi Pasal 11 PBI Nomor 11 Tahun 2009. Lazimnya, CEO adalah perencana utama sebuah bank.Dia harus berpikir strategik dan mengarahkan seluruh sumber daya guna memenangi kompetisi.

Apabila tidak, banknya ditinggalkan nasabah. Tak sulit menemukan kantor bank saat ini. Tak puas di satu bank, begitu keluar dari bank itu, nasabah bisa menemukan bank yang baru, hanya dengan melangkah beberapa meter. Dalam situasi seperti itu, kerja tim menjadi vital. Kerja sama direksi bank harus bisa membentuk sinergi yang solid. Masing-masing dengan tanggung jawab dan kewenangan yang jelas dan terukur.

Keahlian dalam hal pemasaran strategik, operasional, dan pengendalian risiko harus terbagi secara sempurna antardireksi sehingga jadi satu kesatuan utuh dalam menyokong CEO berperang melawan dan memenangi kompetisi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar