AKHIR Oktober lalu, di
Yogyakarta, Front Anti-Komunis Indonesia (FAKI) membubarkan sebuah
pertemuan yang melibatkan keluarga korban peristiwa 1965. Alasannya
klise, pertemuan itu dikhawatirkan akan melahirkan gerakan komunisme
baru. Kejadian ini sebetulnya tidak terlampau mengherankan, mengingat
demokrasi-elitis yang diterapkan di Indonesia memungkinkan front
sipil-paramiliter menyuarakan kepentingannya secara semena-mena.
Negara rasanya tak bisa lagi
diharapkan untuk menindak kesemena-menaan ini karena keduanya, negara dan
front sipil-paramiliter itu, menikmati singgasana yang sama. Keduanya
memiliki kesamaan platform politik, yakni sama-sama anti Komunisme sejak
dalam pikiran hingga ke tulang sum-sumnya. Dari aksi FAKI tersebut
ketakutan itu begitu tampak.
Betapa komunisme masih menjadi isu sensitif di
Indonesia, dan ini secara sengaja dilanggengkan. Sensitivitas komunisme,
juga kemisteriusan peristiwa 1965, tampak menjalari bangunan epistemologi
kehidupan nyata maupun dunia khayal Indonesia.
Buktinya, selain aksi FAKI, pola
epistemologi sebangun tergambar dalam karya sastra berjudulPulang dari Leila S. Chudori. Di novel yang
terbit pada Desember 2012 itu, kemelut peristiwa 1965 memang ‘hanya’
menjadi latar belakang cerita. Namun peristiwa tersebut sekaligus menjadi
landasan dasar dan titik tumpu. Bila peristiwa itu tidak terjadi, tak bakal
ada kisah ini.
Berkisah tentang nasib eksil
politik Indonesia di Prancis, Pulang menempatkan
penangkapan Hananto, redaktur luar negeri Kantor Berita Nusantara,
pada April 1968 sebagai adegan awal cerita. Hananto menjadi buron lantaran
dia dan medianya diduga bekerja sama dengan serta bersimpati terhadap
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tentang mengapa anggota atau
orang yang berkaitan dengan PKI harus diburu, tak pernah cukup gamblang
dinarasikan dalam novel itu. Mungkin dianggap sudah tahu sama tahu, tak
perlu tahu, atau memang tak diketahui secara pasti hingga hari ini.
Dikisahkan, saat sedang
mengikuti konferensi di Santiago, Cile, Dimas Suryo, wartawan Kantor Berita Nusantara, mendengar informasi
tentang peristiwa keji 30 September 1965. Jenderal-jenderal diculik dan
dibunuh. Peristiwa ini memicu kekejian lain selama sekian tahun berikutnya:
perburuan, penangkapan, penyiksaan, pembantaian. Tetapi pusat novel ini
bukanlah kekejian tersebut, melainkan kehidupan Dimas Suryo dan tiga teman
lainnya di negeri asing. Ya, akibat peristiwa itu, mereka seketika menjadi
warga tanpa negara. Di tanah kelahiran sendiri, kehadiran mereka ditolak.
Peristiwa yang menimpa Dimas ini
tentu tidak adil. Namun dalam beberapa hal, perspektif Pulangterasa timpang. Terutama pada penekanan bahwa
Dimas Suryo tak pernah benar-benar kiri—apa pun artinya itu. Seperti
disebutkan dalam novel, Dimas lebih mirip zona netral Swiss. Dia tak hanya
rajin mengikuti diskusi tentang komunisme bersama Hananto, tapi juga
bertukar pikiran dengan Bang Amir, wartawan sekaligus pengikut Masjumi yang
sangat kritis terhadap Bung Karno.
Nah, penekanan ini, yang
cenderung disampaikan berulang-ulang, seakan mengirimkan pesan: Dimas tak
pantas diperlakukan demikian, karena ia hanya korban dan bukan komunis,
sementara apa yang menimpa Hananto adalah sesuatu yang ‘lebih bisa
diterima’ karena, meski tak turut menculik-membunuh para jenderal, ia
adalah pendukung komunisme.
Laila mungkin tak tahu bahwa
keadilan tak mengenal lapisan. Tidak ada satu keadilan yang lebih dalam
daripada yang lain. Dan sama sekali tidak masuk akal jika seseorang dihukum
atas apa yang ada dalam pikirannya. Menjadi komunis serta menculik-membunuh
para jenderal adalah dua hal berbeda.
Namun, tampaknya hal itu sulit
dipahami di Indonesia setelah tiga dekade lebih teror Orde Baru merajalela.
Kendati kini banyak wacana alternatif menyeruak seputar peristiwa 1965,
alam bawah sadar kita, sebagian atau seluruhnya, tetap menganggap PKI
sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penculikan-pembunuhan para
jenderal, sehingga pantas dihukum.
Tidak terlalu berlebihan jika
mengandaikan kelanggengan sensitivitas dan kemisteriusan peristiwa 1965,
menunjukkan magi kampanye anti-komunisme ala Orde Baru demikian ampuh.
Sebab, yang ada adalah rasa bersalah dan ketakutan, bukan kekhawatiran,
untuk dipersalahkan. Ketakutan ini sangat besar sehingga menjelma daya
untuk merepresi atau mendiamkan pihak lain yang dianggap menakutkan.
Di tengah rezim ketakutan inilah
demokrasi kita tumbuh berkembang. Epistemologi rezim ini adalah ketakutan
sebagai kekuatan untuk merekayasa kekerasan fisik dan wacana. Boris
Kagarlitsky, sosiolog yang pernah dipenjara selama dua tahun akibat
aktivitas ‘anti-Soviet,’ dalam The Twilight of
Globalisation: Property, State and Capitalism (2000),
menilai ramalan teoretikus kiri Eropa pada 1970-an ihwal peralihan zaman
dari demokrasi borjuis menuju demokrasi tingkat lanjut meleset. ‘Transisi
semacam itu,’ kata dia, ‘tidak pernah terjadi di mana pun.’
Dari hal yang berdasarkan
kesetaraan warga negara, demokrasi justru bertransformasi menjadi bentuk
interaksi elitis. Jika ideologi Pencerahan dan revolusi borjuis meyakini
seluruh populasi merupakan ‘warga negara;’ lalu, revolusi anti-kolonial
bergerak di bawah slogan kesamaan hak warga negara; hari ini, seperti pada
masa Imperium Romawi, hanya orang tertentu yang bisa dianggap sebagai warga
negara (2000: 34). Artinya, dalam rezim ketakutan ini, negara tidak
mengakui kewargaan sebagian orang, yakni mereka yang (dianggap) barbar dan
keluarganya. Untuk mendapatkan hak sipil, perlindungan dari tindak
kekerasan, mereka harus menunjukkan kesetiaan terhadap (aparat) negara.
Jika demikian, eksistensi negara semacam itu pun tidak
patut diakui. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar