DUNIA diplomasi kembali menjadi berita
besar. Sudah lebih dari sebulan ribut-ribut terjadi tapi media massa masih
mengulas. Masalah bermula dari laporan Joseph Edward Snowden, ahli
komputer, mantan pegawai CIA dan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS
(NSA).
Dia mengungkapkan para agen intelijen AS
telah menyadap pembicaraan telepon para pejabat dan warga di berbagai
negara Eropa, Asia, hingga Amerika Latin. Snowden juga mengungkapkan
intelijen Australia menyadap telepon Presiden SBY dan beberapa pembantunya.
Menurut laporan media Australia, alat penyadap itu dipasang di kantor
kedubes.
Dalam perkembangan terakhir, Menlu Marty
Natalegawa atas perintah Presiden SBY menarik pulang dubes di Canberra,
Nadjih Riphat Kesoema, sebagai protes bahwa Australia bukan tetangga baik.
Sejumlah anggota DPR pun mengecam
tindakan Australia. Belum jelas mengapa RI hanya bersikap keras terhadap
Australia, namun mendiamkan Amerika. Kabar seperti itu sebenarnya bukan
sesuatu yang baru. Sudah berkali-kali terjadi, dengan reaksi beragam,
termasuk pengusiran diplomat.
Seperti terjadi awal Oktober 2013,
Presiden Venezuela Nicolas Manduro mengusir tiga diplomat AS, Kelly
Keiderling, David Moo, dan Elizabeth Hoffman dengan tuduhan merencanakan
sabotase perekonomian. Henry Wotton, penulis, diplomat, dan politikus
Inggris yang menjadi anggota parlemen pada awal abad ke-17, punya ungkapan
menarik.
Dia mengatakan, diplomat adalah orang
jujur yang dikirim ke luar negeri untuk berbohong demi negaranya.
Pernyataan senada diucapkan Ambrose Gwinnett Bierce (1842- 1913), jurnalis
dan cerpenis kondang Amerika. Lewat satire dia menyebut, diplomasi adalah
ìseni pembohongan patriotisî demi negeri tertentu. Namun bagi yang tidak
setuju dengan pandangan- pandangan miring itu tentu saja tidak perlu kecil
hati.
Pasalnya, sejak dulu sebenarnya profesi
diplomat amat diimpikan di mana-mana, di negara besar ataupun kecil.
Anak-anak muda sekarang pun banyak yang ingin menjadi diplomat.
Mengapa demikian? Jusuf Badri, diplomat,
dalam bukunya Kiat Diplomasi: Mekanisme dan Pelaksanaannya(1993), menulis,
profesi diplomat terkait dengan predikat glamorous, citra elite serta rapi
lagi anggun, yang menjadi daya tarik tersendiri. Citra diplomat seperti itu
masuk akal, apalagi dilihat dari sejarah perkembangannya, diplomat
merupakan profesi eksklusif. Awalnya hanya disandang kalangan terbatas dari
istana atau keraton raja alias kaum ningrat.
Predikat tambahannya, selected people, doing selected jobs.
Meskipun sistem monarki absolut bertumbangan, profesi diplomat tetap punya
daya tarik. Apalagi bergaji relatif besar dan terbuka peluang melakukan
perjalanan ke berbagai negara.
Belum lagi hak kekebalan diplomatik, yang
memungkinkan tak bisa diperiksa atau digeledah oleh aparat keamanan.
Sebagai wakil suatu negara, diplomat melakukan diplomasi dengan ìberusaha
mencapai tujuan-tujuan nasional dengan jalan damai, yaitu dengan melakukan
perundingan-perundingan dengan negaranegara lain.î Realitasnya sering tidak
cocok dengan praktik.
Sebuah contoh bisa disimak dalam sejarah
ketika Drs RMP Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini menjadi Kepala
Penerjemah Liga-Liga Bangsa (Volkenbond) setelah berakhirnya Perang Dunia
I.
Sosrokartono adalah putra Indonesia
pertama yang meraih gelar doktorandus bidang bahasa dan sastra di
Universitas Leiden Belanda. Sebagai jenius yang menguasai 24 bahasa, ia
terjun menjadi wartawan perang untuk The New York Herald, sebelum menjadi
penerjemah Sekutu dan kemudian bekerja di Volkenbond.
Tetapi tidak lama Sosrokartono keluar
dari pekerjaannya. Solichin Salam, dalam buku RMP Sosrokartono: Sebuah
Biografi (1987) menyebutkan, keluarnya dia konon ìkarena adanya
ketidakjujuran di dalam Persekutuan Bangsa-Bangsa itu. Di sana berlaku
dalil umum ahwa politik itu kotor.
Menunjukkan
Perbedaan
Kasus penyadapan oleh AS di berbagai
negara, termasuk Indonesia, belum lama ini juga menunjukkan perbedaan
antara teori dan praktik diplomasi. Menlu AS John Kerry pun mengakuinya
dengan mengatakan, dalam sejumlah kasus, mata-mata Badan Keamanan Nasional
bertindak kelewat batas.
Sebenarnya kelakuan AS itu mengulang yang
sering dilakukannya di negara lain, seperti di Indonesia pada 1950-an dan
1960-an. Washington selalu mengatakan, pihaknya netral dalam menyikapi
berbagai pemberontakan di Indonesia.
Tapi kemudian AS dipermalukan ketika
pilot Allan Pope, yang mengebomi wilayah Ambon, ditembak jatuh pesawatnya
dan ditangkap, ditahan beberapa tahun, Pope dilepaskan oleh Presiden
Soekarno atas permohonan istri Pope. Selain itu juga faktor hubungan
baiknya dengan Presiden John F Kennedy, yang mengutus adiknya, Jaksa Agung
Robert Kennedy, berkunjung ke Indonesia.
Di negeri ini, citra diplomat pernah
dicemarkan oleh praktik-praktik pada masa Orba dengan ìmendubeskanî
tokoh-tokoh kuat dan populer supaya tertutup peluangnya menggantikan
Soeharto sebagai presiden.
Dua tokoh yang menolak saat ditawari
menjadi diplomat nomor 1 (duta besar) adalah Ali Sadikin dan Hoegeng Iman
Santoso. Alasannya, tidak bisa berbasa-basi. Juga tidak bisa berbohong ya,
Pak? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar