Sabtu, 23 November 2013

Diplomat dan Seni Membohongi

Diplomat dan Seni Membohongi
Djoko Pitono  ;   Jurnalis dan Editor Buku
SUARA MERDEKA,  22 November 2013



DUNIA diplomasi kembali menjadi berita besar. Sudah lebih dari sebulan ribut-ribut terjadi tapi media massa masih mengulas. Masalah bermula dari laporan Joseph Edward Snowden, ahli komputer, mantan pegawai CIA dan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS (NSA).

Dia mengungkapkan para agen intelijen AS telah menyadap pembicaraan telepon para pejabat dan warga di berbagai negara Eropa, Asia, hingga Amerika Latin. Snowden juga mengungkapkan intelijen Australia menyadap telepon Presiden SBY dan beberapa pembantunya. Menurut laporan media Australia, alat penyadap itu dipasang di kantor kedubes.

Dalam perkembangan terakhir, Menlu Marty Natalegawa atas perintah Presiden SBY menarik pulang dubes di Canberra, Nadjih Riphat Kesoema, sebagai protes bahwa Australia bukan tetangga baik.

Sejumlah anggota DPR pun mengecam tindakan Australia. Belum jelas mengapa RI hanya bersikap keras terhadap Australia, namun mendiamkan Amerika. Kabar seperti itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Sudah berkali-kali terjadi, dengan reaksi beragam, termasuk pengusiran diplomat.
Seperti terjadi awal Oktober 2013, Presiden Venezuela Nicolas Manduro mengusir tiga diplomat AS, Kelly Keiderling, David Moo, dan Elizabeth Hoffman dengan tuduhan merencanakan sabotase perekonomian. Henry Wotton, penulis, diplomat, dan politikus Inggris yang menjadi anggota parlemen pada awal abad ke-17, punya ungkapan menarik.

Dia mengatakan, diplomat adalah orang jujur yang dikirim ke luar negeri untuk berbohong demi negaranya. Pernyataan senada diucapkan Ambrose Gwinnett Bierce (1842- 1913), jurnalis dan cerpenis kondang Amerika. Lewat satire dia menyebut, diplomasi adalah ìseni pembohongan patriotisî demi negeri tertentu. Namun bagi yang tidak setuju dengan pandangan- pandangan miring itu tentu saja tidak perlu kecil hati.

Pasalnya, sejak dulu sebenarnya profesi diplomat amat diimpikan di mana-mana, di negara besar ataupun kecil. Anak-anak muda sekarang pun banyak yang ingin menjadi diplomat.

Mengapa demikian? Jusuf Badri, diplomat, dalam bukunya Kiat Diplomasi: Mekanisme dan Pelaksanaannya(1993), menulis, profesi diplomat terkait dengan predikat glamorous, citra elite serta rapi lagi anggun, yang menjadi daya tarik tersendiri. Citra diplomat seperti itu masuk akal, apalagi dilihat dari sejarah perkembangannya, diplomat merupakan profesi eksklusif. Awalnya hanya disandang kalangan terbatas dari istana atau keraton raja alias kaum ningrat.

Predikat tambahannya, selected people, doing selected jobs. Meskipun sistem monarki absolut bertumbangan, profesi diplomat tetap punya daya tarik. Apalagi bergaji relatif besar dan terbuka peluang melakukan perjalanan ke berbagai negara.

Belum lagi hak kekebalan diplomatik, yang memungkinkan tak bisa diperiksa atau digeledah oleh aparat keamanan. Sebagai wakil suatu negara, diplomat melakukan diplomasi dengan ìberusaha mencapai tujuan-tujuan nasional dengan jalan damai, yaitu dengan melakukan perundingan-perundingan dengan negaranegara lain.î Realitasnya sering tidak cocok dengan praktik.

Sebuah contoh bisa disimak dalam sejarah ketika Drs RMP Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini menjadi Kepala Penerjemah Liga-Liga Bangsa (Volkenbond) setelah berakhirnya Perang Dunia I.

Sosrokartono adalah putra Indonesia pertama yang meraih gelar doktorandus bidang bahasa dan sastra di Universitas Leiden Belanda. Sebagai jenius yang menguasai 24 bahasa, ia terjun menjadi wartawan perang untuk The New York Herald, sebelum menjadi penerjemah Sekutu dan kemudian bekerja di Volkenbond.

Tetapi tidak lama Sosrokartono keluar dari pekerjaannya. Solichin Salam, dalam buku RMP Sosrokartono: Sebuah Biografi (1987) menyebutkan, keluarnya dia konon ìkarena adanya ketidakjujuran di dalam Persekutuan Bangsa-Bangsa itu. Di sana berlaku dalil umum ahwa politik itu kotor.

Menunjukkan Perbedaan

Kasus penyadapan oleh AS di berbagai negara, termasuk Indonesia, belum lama ini juga menunjukkan perbedaan antara teori dan praktik diplomasi. Menlu AS John Kerry pun mengakuinya dengan mengatakan, dalam sejumlah kasus, mata-mata Badan Keamanan Nasional bertindak kelewat batas.

Sebenarnya kelakuan AS itu mengulang yang sering dilakukannya di negara lain, seperti di Indonesia pada 1950-an dan 1960-an. Washington selalu mengatakan, pihaknya netral dalam menyikapi berbagai pemberontakan di Indonesia.

Tapi kemudian AS dipermalukan ketika pilot Allan Pope, yang mengebomi wilayah Ambon, ditembak jatuh pesawatnya dan ditangkap, ditahan beberapa tahun, Pope dilepaskan oleh Presiden Soekarno atas permohonan istri Pope. Selain itu juga faktor hubungan baiknya dengan Presiden John F Kennedy, yang mengutus adiknya, Jaksa Agung Robert Kennedy, berkunjung ke Indonesia.

Di negeri ini, citra diplomat pernah dicemarkan oleh praktik-praktik pada masa Orba dengan ìmendubeskanî tokoh-tokoh kuat dan populer supaya tertutup peluangnya menggantikan Soeharto sebagai presiden.

Dua tokoh yang menolak saat ditawari menjadi diplomat nomor 1 (duta besar) adalah Ali Sadikin dan Hoegeng Iman Santoso. Alasannya, tidak bisa berbasa-basi. Juga tidak bisa berbohong ya, Pak? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar