Kamis, 28 November 2013

Otak-Atik “Bailout”

Otak-Atik “Bailout”
Jusuf Suroso  ;   Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta
SUARA MERDEKA,  28 November 2013

  

DRAMA penanganan skandal Bank Century baru dimulai setelah penahanan tersangka kasus itu, mantan deputi gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya oleh KPK. Budi sudah beberapa kali diperiksa untuk keperluan penyidikan, terkait dugaan kejahatan yang dilakukan secara kolektif kolegial tahun 2008.

Selama 5 tahun itu pula masyarakat dan pegiat antikorupsi tak henti-hentinya menyoal penanganan skandal Century yang tak kunjung selesai. Tahun 2010, DPR mengangkatnya menjadi hak angket DPR, guna meminta keterangan secara terbuka kepada siapa saja yang diduga mengetahui pemberian dana talangan (Bailout) Rp 6,7 triliun untuk bank tersebut.

Puluhan koli dokumen sudah disita penyidik, puluhan orang yang diduga mengetahui ihwal pengambilan keputusan terkait pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) Rp 638,9 miliar dan bailout Rp 6,7 triliun, sudah ditanya KPK. Setelah 5 tahun, komisi antikorupsi itu baru bisa meningkatkan status kasus ke penyidikan, setelah menahan dan menetapkan Budi Mulya (15/11/13) sebagai tersangka.

Apa yang membuat begitu lama dan berkesan rumit menemukan pihak yang sesungguhnya bertanggung jawab. Ibarat menangkap pencuri bunga, menjadi tak mudah ketika pencuri bukan hanya mengambil setangkai yang ada di taman, melainkan menguasai taman bunga itu. Termasuk ’’mencuri’’ penjaga taman bunga itu.

Dengan kata lain yang ”sistemik” adalah bagaimana rancang bangun menggelapkan duit triliunan itu. Bukan mengapa harus FPJP dan Century harus di-bailout, seperti yang sering disampaikan mantan gubernur BI Boediono (kini Wapres) dan mantan menkeu, Sri Mulyani Indrawati bahwa Century bank gagal dan berdampak sistemik.

Berdampak sistemik seperti apa yang bisa mengguncang perekonomian nasional? Adakah  kajian komprehensif berkait kondisi perbankan nasional, situasi ekonomi nasional saat itu, hingga kegagalan bank itu jadi hantu yang menakutkan, berdampak sistemik. Benarkah dana talangan itu Rp 6,7 triliun, ketika Robert Tantular (pemilik bank itu) mengaku hanya butuh Rp 2,5 triliun.

’’Penumpang Gelap’’

Padahal Century tak memenuhi syarat untuk mendapat dana talangan karena tidak memenuhi kriteria terkait rasio kecukupan modal (CAR) yang hanya 2,02%. Demikian pula berdasarkan peraturan yang ada, batas CAR bagi bank yang ingin mendapatkan FPJP adalah 8%. Hasil audit BPK atas Century menyimpulkan, secara terselubung BI mengubah peraturan yang mereka tentukan sendiri agar Century mendapat FPJP. Caranya, mengubah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/26/PBI/2008 mengenai persyaratan pemberian FPJP, dari semula dengan CAR 8% menjadi CAR positif, dan  Century layak mendapat fasilitas pendanaan tersebut.

Pengucuran dana segar dilakukan secara bertahap pada 23/11/08 sebesar Rp 2,7 triliun, tahap kedua pada 5 Desember 2008 sebesar Rp 2,02 triliun, tahap ketiga pada 3 Februari 2009 sebesar Rp 1,1 triliun, dan tahap keempat pada 24 Juli 2009 sebesar Rp 630 miliar. Perkembangan selanjutnya menjadi tidak masuk akal jika Boediono dalam kapasitasnya sebagai gubernur BI tidak bertanggung jawab. Merujuk UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, pihak yang paling bertanggung jawab atas kebijakan atau pengambilan keputusan adalah Gubernur BI. Bab VII Pasal 43 Ayat 3 regulasi itu menyatakan;  ”Pengambilan keputusan rapat dewan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan atas dasar musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai, gubernur menetapkan keputusan akhir”.

Pasal ini pula yang menuntun KPK meminta pertanggungjawaban Boediono. Dalam keterangan pers seusai diperiksa KPK (23/11/13), Boediono mengakui ada ”penumpang gelap” yang memanfaatkan keputusan BI terkait Bailout bank itu. Sayang, Boediono belum merinci siapa yang dimaksud.

Padahal Pasal 9 Ayat 2 UU itu jelas menyatakan,’’ BI wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugasnya’’. Antara kebenaran fakta ada ”penumpang gelap” yang memanfaatkan kebijakan itu dan ada persekongkolan untuk menggelapkan duit itu, hanya beda tipis. Merujuk amanat UU Nomor 23 Tahun1999 dan keterangan para saksi yang sudah ditanya KPK, Boediono sulit melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai gubernur BI.

Hanya karena masalah protokoler dan prosedur pengamanan jabatan, saat ini penyidik KPK mengalami kesulitan bila membutuhkan keterangan Boediono. Akibatnya, proses penegakan hukum di negara ini pun terganggu. Sebagai pejabat tinggi negara, dengan level negarawan semestinya Boediono memberi contoh baik. Ia bisa mengambil cuti, menonaktifkan diri, atau mundur dengan alasan untuk kepentingan penegakan hukum. Bukan sebaliknya, malah berlindung di balik jabatannya itu. Pendek kata, jangan mendalihkan pada aturan protokoler dan pengamanan jabatan sebagai tameng tak bisa tersentuh hukum.

Sebagai penyelenggara negara seharusnya ia paham hakikat bernegara itu berkonstitusi. Berkonstitusi, menjadi parameter seberapa besar ketaatan penyelenggara negara terhadap peraturan perundangan yang berlaku. Semua warga negara berkedudukan sama di depan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar