DRAMA penanganan skandal Bank
Century baru dimulai setelah penahanan tersangka kasus itu, mantan deputi
gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi
Mulya oleh KPK. Budi sudah beberapa kali diperiksa untuk keperluan
penyidikan, terkait dugaan kejahatan yang dilakukan secara kolektif
kolegial tahun 2008.
Selama
5 tahun itu pula masyarakat dan pegiat antikorupsi tak henti-hentinya
menyoal penanganan skandal Century yang tak kunjung selesai. Tahun 2010,
DPR mengangkatnya menjadi hak angket DPR, guna meminta keterangan secara
terbuka kepada siapa saja yang diduga mengetahui pemberian dana talangan
(Bailout) Rp 6,7 triliun untuk bank tersebut.
Puluhan
koli dokumen sudah disita penyidik, puluhan orang yang diduga mengetahui
ihwal pengambilan keputusan terkait pemberian fasilitas pendanaan jangka
pendek (FPJP) Rp 638,9 miliar dan bailout Rp 6,7 triliun, sudah ditanya
KPK. Setelah 5 tahun, komisi antikorupsi itu baru bisa meningkatkan status
kasus ke penyidikan, setelah menahan dan menetapkan Budi Mulya (15/11/13)
sebagai tersangka.
Apa
yang membuat begitu lama dan berkesan rumit menemukan pihak yang
sesungguhnya bertanggung jawab. Ibarat menangkap pencuri bunga, menjadi tak
mudah ketika pencuri bukan hanya mengambil setangkai yang ada di taman,
melainkan menguasai taman bunga itu. Termasuk ’’mencuri’’ penjaga taman
bunga itu.
Dengan
kata lain yang ”sistemik” adalah bagaimana rancang bangun menggelapkan duit
triliunan itu. Bukan mengapa harus FPJP dan Century harus di-bailout,
seperti yang sering disampaikan mantan gubernur BI Boediono (kini Wapres)
dan mantan menkeu, Sri Mulyani Indrawati bahwa Century bank gagal dan
berdampak sistemik.
Berdampak
sistemik seperti apa yang bisa mengguncang perekonomian nasional?
Adakah kajian komprehensif berkait kondisi perbankan nasional,
situasi ekonomi nasional saat itu, hingga kegagalan bank itu jadi hantu
yang menakutkan, berdampak sistemik. Benarkah dana talangan itu Rp 6,7
triliun, ketika Robert Tantular (pemilik bank itu) mengaku hanya butuh Rp
2,5 triliun.
’’Penumpang Gelap’’
Padahal
Century tak memenuhi syarat untuk mendapat dana talangan karena tidak
memenuhi kriteria terkait rasio kecukupan modal (CAR) yang hanya 2,02%.
Demikian pula berdasarkan peraturan yang ada, batas CAR bagi bank yang
ingin mendapatkan FPJP adalah 8%. Hasil audit BPK atas Century
menyimpulkan, secara terselubung BI mengubah peraturan yang mereka tentukan
sendiri agar Century mendapat FPJP. Caranya, mengubah Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Nomor 10/26/PBI/2008 mengenai persyaratan pemberian FPJP,
dari semula dengan CAR 8% menjadi CAR positif, dan Century layak
mendapat fasilitas pendanaan tersebut.
Pengucuran
dana segar dilakukan secara bertahap pada 23/11/08 sebesar Rp 2,7 triliun,
tahap kedua pada 5 Desember 2008 sebesar Rp 2,02 triliun, tahap ketiga pada
3 Februari 2009 sebesar Rp 1,1 triliun, dan tahap keempat pada 24 Juli 2009
sebesar Rp 630 miliar. Perkembangan selanjutnya menjadi tidak masuk akal
jika Boediono dalam kapasitasnya sebagai gubernur BI tidak bertanggung
jawab. Merujuk UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, pihak yang
paling bertanggung jawab atas kebijakan atau pengambilan keputusan adalah
Gubernur BI. Bab VII Pasal 43 Ayat 3 regulasi itu menyatakan;
”Pengambilan keputusan rapat dewan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat
1 dilakukan atas dasar musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila mufakat
tidak tercapai, gubernur menetapkan keputusan akhir”.
Pasal
ini pula yang menuntun KPK meminta pertanggungjawaban Boediono. Dalam
keterangan pers seusai diperiksa KPK (23/11/13), Boediono mengakui ada
”penumpang gelap” yang memanfaatkan keputusan BI terkait Bailout bank itu.
Sayang, Boediono belum merinci siapa yang dimaksud.
Padahal
Pasal 9 Ayat 2 UU itu jelas menyatakan,’’ BI wajib menolak dan/atau
mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka
pelaksanaan tugasnya’’. Antara kebenaran fakta ada ”penumpang gelap” yang
memanfaatkan kebijakan itu dan ada persekongkolan untuk menggelapkan duit
itu, hanya beda tipis. Merujuk amanat UU Nomor 23 Tahun1999 dan keterangan
para saksi yang sudah ditanya KPK, Boediono sulit melepaskan diri dari
tanggung jawabnya sebagai gubernur BI.
Hanya
karena masalah protokoler dan prosedur pengamanan jabatan, saat ini
penyidik KPK mengalami kesulitan bila membutuhkan keterangan Boediono.
Akibatnya, proses penegakan hukum di negara ini pun terganggu. Sebagai
pejabat tinggi negara, dengan level negarawan semestinya Boediono memberi
contoh baik. Ia bisa mengambil cuti, menonaktifkan diri, atau mundur dengan
alasan untuk kepentingan penegakan hukum. Bukan sebaliknya, malah
berlindung di balik jabatannya itu. Pendek kata, jangan mendalihkan pada
aturan protokoler dan pengamanan jabatan sebagai tameng tak bisa tersentuh
hukum.
Sebagai
penyelenggara negara seharusnya ia paham hakikat bernegara itu
berkonstitusi. Berkonstitusi, menjadi parameter seberapa besar ketaatan
penyelenggara negara terhadap peraturan perundangan yang berlaku. Semua
warga negara berkedudukan sama di depan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar