Minggu, 24 November 2013

Guncangan IT

Guncangan IT
Jean Couteau  ;   Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS,  24 November 2013



Coba bayangkan betapa kaget dan tersinggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membaca di pers, atas titipan info dari buronan eks-intel Amerika Edward Snowden, bahwa telepon pribadinya, termasuk di dalamnya percakapan dengan ibu Ani telah disadap oleh lembaga intelijen Australia. Dan itu dilakukan dengan sepengetahuan ”temannya” perdana menteri negara tersebut, seolah-olah beliau tak lebih dari seorang gembong teroris. Keterlaluan, banget! Apalagi ”temannya” itu, meskipun namanya berarti ”pendeta” (Abott), tidak merasa perlu mengaku salah.

Maka wajarlah bila reaksi sebagian dari masyarakat dan politikus yang ”kurang kerjaan” mengajak kita kembali ke zaman yang lama, ke zaman ”kejayaan” para juru pidato Indonesia: yaitu ketika, kadangkala bukan tanpa alasan, Indonesia suka menghujat kaum ”imperialis” dari Barat sana. 

Termasuk dari Australia, yang memang hasil invasi imperialis itu. Tidak mengherankan pula bila istilah-istilah seperti ”penghinaan terhadap presiden”, ”martabat bangsa”, ”putuskan hubungan diplomatik”, dan pernyataan merdu serupa lainnya tiba-tiba menjadifashion serta membeludak di Facebook dan Twitter. Sampai SBY, betapa pun ingin kelihatan rasional, ”terpaksa” naik darah atas nama keagungan sejarah lama.

Apakah situasi gawat? Tidak. Memang menyangkut rasa ”nasionalisme”, dan cukup peka karena itu: bisa dimanipulasi ke segala arah. Tetapi… SBY bukanlah satu-satunya korban peristiwa serupa! Indonesia bukanlah satu-satu negara sasaran, dan Australia bukan satu-satunya ”pelaku”! Sejak dua tahun yang lalu, atas prakarsa segelintir aktivis–dulu Assange dan Manning, kini Snowden Cs–pembocoran dari rahasia-rahasia dunia maya memang merajalela. Tanyalah saja kepada Merkel dan Hollande, yang disadap oleh Amerika. Merkel yang Kanselir Jerman itu, bisa jadi telah disadap saat mencuci rambut di kamar mandinya. Adapun Presiden Perancis Hollande siapa tahu disadap ketika bertengkar dengan partnernya tentang warna rambutnya Merkel. Jadi tidak lucu! Kendati keduanya memprotes dengan keras atas nama martabat Eropa dan tetek bengeknya, sang pelaku yang bekas penduduk Menteng Dalam itu, yaitu Obama, diam seribu bahasa. Bukan tanpa alasan: ratusan kepala negara lainnya ternyata disadap pula oleh lembaga intel Amerika NSA.

Sementara keributan meluas, para pembocor, yaitu Snowden dan teman-temannya tertawa terkekeh-kekeh, dan asyik menyiapkan skandal berikutnya. ”Kena satu! Ya! Hore! Bocoran data mana lagi yang bisa menghebohkan?” Mereka tahu bahwa perang tidak akan meletus. Mereka juga tidak peduli apakah bangsa ini atau itu tersinggung atau tidak, serta betapa marahnya SBY atau Merkel. Tindakan mereka adalah tindakan aktivis: mereka ingin menyadarkan kita atas risiko munculnya ”Big Brother”, yaitu suatu sistem totaliter berlandaskan teknologi–sebagaimana dikisahkan oleh George Orwell di dalam novel tersohornya Nineteen Eighty Four (1949), di mana ”Big Brother” mengawasi dan mengontrol gerak-gerik dan kehidupan semua orang.

Memang! Bila penyadap bisa masuk ke ruang pribadi seorang kepala negara, berarti ”kita-kita” ini bisa juga disadap, diintai, dicuri datanya, dicuci otaknya, dan digiring perbuatannya. Lalu bagaimana dengan kebebasan berpikir, bagaimana dengan demokrasi? Itulah yang hendak ditekankan oleh komplotan pembocor kita ini. Tak heran bila, dituduh sebagai pengkhianat rahasia bangsanya, mereka malah merasa dirinya sebagai pahlawan demokrasi global! Setuju atau tidak, menarik, kan?

Ya! Tak ayal teknologi IT global ini mengguncangkan cara kita berpikir, bersosialisasi, berpacaran, bermasyarakat, dan bahkan juga cara kita bernegara dan bergaul antarbangsa. Semua rumus sosial lama dilabraknya, hal mana bukan tanpa risiko terhadap kebebasan berpikir. Maka muncul pertanyaan: Apakah kita sudah mempunyai perangkat institusional yang sekaligus jitu, kokoh dan etis, untuk menanggulangi dampak global dari IT ini? Ternyata belum. Itulah pada hemat saya tugas besar yang menanti Indonesia. Boleh ”marah-marah” sebentar terhadap Australia, yang memang keterlaluan itu, tetapi lebih penting lagi Indonesia menjadi pemrakarsa di PBB dari suatu etika global– dan hukum internasional terkait–perihal IT.

Namun, hati-hati, lho. Janganlah peristiwa ini dijadikan dalih untuk ”mengebiri” kuasa KPK atas nama perlindungan terhadap ”Big Brother”. Karena di belakang upaya pengebirian itu boleh jadi terdapat bukan lagi bayangan ”Big Brother”, tetapi ”bau” yang tersisa dari Bapak Pembangunan yaitu ”Big Father” Orde Baru. Bila itu terjadi, Indonesia bakal membutuhkan bukan lagi seorang Snowden, melainkan seorang Wibisana, yang mengkhianati kakaknya Rahwana demi Kebenaran Rama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar