Sabtu, 30 November 2013

Karisma

Karisma
James Luhulima  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  30 November 2013
  

PARA tokoh yang menjadi calon presiden, atau yang diusulkan untuk menjadi calon presiden, harus menggunakan waktu yang tersisa untuk membangun karisma dalam diri mereka agar pemilih mau memilih mereka.
Tanpa karisma yang memadai, sulit bagi para calon presiden itu meraih mayoritas suara pemilih dalam pemilihan presiden secara langsung. Dan, hanya dengan karisma itu pulalah seorang presiden dapat dengan aman menduduki jabatan tersebut.
Jika karisma itu, yang di dalam kekuasaan raja di Jawa dikenal dengan Wahyu Cakraningrat, sudah meninggalkan seorang raja, atau dalam hal ini presiden, kekuasaannya akan berlalu. Tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.
Presiden Soekarno, yang sebelumnya begitu dipuja-puji oleh segenap rakyat Indonesia, mengalami hal itu menjelang akhir kekuasaannya. John Hughes dalam bukunya, The End of Sukarno, A Coup that Misfired: A Purge Ran Wild, terbitan Archipelago Press, menulis, ”Selama hampir 20 tahun, Presiden Sukarno menebar pesona sihir politiknya melintasi Indonesia. Namun, di ibu kota Indonesia, Djakarta, pada suatu hari yang panas dan lembab pada bulan Maret 1967, pesona itu akhirnya lenyap, sihirnya pun kehilangan kekuatannya, dan legenda itu hancur berantakan. Sukarno dilucuti oleh wakil-wakil rakyatnya sendiri dari sisa-sisa kekuasaannya. Malahan, mereka melantik dan mengambil sumpah seorang jenderal Angkatan Darat berusia 46 tahun bernama Suharto sebagai Penjabat Presiden.”
Peristiwa yang sama juga dialami oleh Presiden Soeharto. Sulit untuk menjelaskan mengapa Soeharto yang sudah memerintah lebih dari 30 tahun, dan secara bulat diangkat oleh MPR sebagai presiden untuk periode yang ketujuh (1998-2003), diminta untuk meletakkan jabatannya tidak sampai 70 hari sesudahnya.
Nasib Presiden Abdurrahman Wahid tidak jauh berbeda. MPR yang mengukuhkannya sebagai presiden untuk periode 1999-2004, adalah juga yang memberhentikannya, dan melantik Megawati Soekarnoputri sebagai penggantinya, 23 Juli 2001.
Keadaan Presiden Megawati Soekarnoputri berbeda. Karisma yang dimilikinya cukup untuk membuat MPR memilihnya sebagai presiden. Namun, tidak cukup untuk membuatnya meraih suara terbanyak dalam pemilihan presiden secara langsung yang digagasnya. Sebagai presiden yang tengah menjabat (incumbent), Megawati dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan pendatang baru.
Melihat arti penting dari karisma seseorang untuk memuluskan perjalanannya ke kursi presiden, maka para tokoh yang menjadi calon presiden harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Yang dimaksudkan mempersiapkan diri adalah membangun karisma, antara lain dengan membangun citra (pencitraan), antara lain, lewat pemberitaan di media massa, iklan, atau bahkan blusukan.
Persiapan itu tentunya bagi para tokoh yang diusung oleh partai-partai besar, yang kemungkinan meraih lebih dari 20 persen suara dalam pemilihan umum legislatif. Bagi partai-partai sedang ataupun kecil dengan perolehan suara di bawah 20 persen, keadaannya tentu tidak sesederhana itu jika tidak ingin dikatakan lebih sulit. Sebab, partai-partai sedang ataupun kecil harus berkoalisi dengan partai-partai lain untuk mengajukan calon presiden. Padahal, semua partai mempunyai calon presidennya sendiri-sendiri.
Untuk Partai Demokrat, walaupun banyak tokoh yang disemai lewat konvensi, tetap saja yang diambil untuk diajukan nanti hanya satu.
Buat tokoh-tokoh independen, tentu keadaannya lebih sulit lagi karena mereka harus menunggu pinangan dari partai-partai besar. Tokoh independen yang paling populer pada saat ini adalah Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, yang pada saat ini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Jokowi yang menjadi tokoh kesayangan media (media darling) dianggap banyak kalangan sebagai salah seorang yang paling berpotensi menjadi presiden. Jokowi telah membuktikan dirinya memiliki karisma untuk menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, yang masih harus ditunggu adalah apakah Jokowi memiliki karisma yang cukup untuk menjadi Presiden Indonesia.
Sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), diharapkan ia akan dicalonkan sebagai presiden oleh partai tersebut. Namun, hingga sekarang belum ada kejelasan apakah PDI-P akan mencalonkan Jokowi sebagai presiden atau wakil presiden. Disebut-sebut, Jokowi akan dipasangkan dengan Megawati, tetapi hal tersebut dibantah oleh Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Tjahjo Kumolo.
Ada baiknya, Megawati tidak lagi mencalonkan diri, baik itu sebagai presiden maupun wakil presiden. Oleh karena, pada tahun 2004, ketika maju sebagai presiden yang tengah menjabat saja, Megawati sudah kalah. Kekalahan yang sama juga dialaminya ketika maju kembali pada tahun 2009. Megawati sendiri, pada sebuah kesempatan, pernah mengatakan, ”Masak saya mau lagi…. Bagaimana jika kalah lagi? Apa kata orang nanti?”
Ada yang berpendapat, Jokowi harus dipasangkan dengan Jusuf Kalla. Pertanyaan yang segera muncul adalah apakah PDI-P mau meminang Jusuf Kalla? Kalaupun mau, apakah Jusuf Kalla bisa dijual? Dalam pemilihan presiden 2009, Jusuf Kalla-Wiranto hanya meraih 12,41 persen suara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar