Kamis, 07 November 2013

Setop, Premanisme Guru

Setop, Premanisme Guru
Wiranto   Guru Seni Budaya SMA 1 Wonosegoro Kabupaten Boyolali,
Mahasiswa Magister Pendidikan Seni Universitas Negeri Semarang
SUARA MERDEKA, 06 November 2013


Lagi, tayangan kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didik muncul dalam pemberitaan pada sebuah televisi swasta. Seorang guru berambut gondrong, asap rokok sesekali berhembus dari bibirnya, memukul kepala anak didik ketika mereka tidak bisa menjawab pertanyaan.

Kejadian ini menambah episode kekerasan sebelumnya. Sungguh perilaku yang mencederai citra guru sebagai pendidik. Inilah guru preman yang selalu ”kehabisan metode” dan lebih mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan tiap persoalan dalam pendidikan.

Hasil penelitian Unicef tahun 2006 di beberapa daerah di Indonesia, menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan pada anak didik dilakukan oleh guru. Data yang sama disampaikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2008, yang menyebutkan tren kekerasan guru terhadap anak didik mengalami peningkatan. Tahun 2007 tercatat 555 kasus kekerasan, 11,8% di antaranya dilakukan guru.

Tahun 2008 terjadi 86 kasus dengan 39% pelaku adalah guru. Data mutakhir bisa jadi lebih mengenaskan. Fakta ini menunjukkan bahwa sekolah menjadi salah satu tempat dalam menyemaikan benih kekerasan. Amatlah tidak lazim dan bertentangan dengan landasan kependidikan dan kaidah pedagogis jika kekerasan sampai terjadi di sekolah, apalagi dilakukan guru. Sayang, cukup banyak guru yang menilai bahwa cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan anak didik (Phillip, 2007).

Guru semacam itu kerap mengaitkan kekerasan dengan kedisiplinan dan menerapkannya dalam dunia pendidikan. Istilah ”tegas” dalam membina kedisiplinan anak didik identik dengan ”keras”. Kewibawaan guru dikaitkan dengan ketakutan anak didik melalui penggunaan model pendidikan ala militer yang sarat kekerasan. Alih-alih mendidik, dalam konteks jangka panjang, kekerasan memunculkan trauma psikologis pada anak didik.

Mereka menyimpan dendam terhadap guru, makin kebal terhadap hukuman, serta cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah. Perilaku negatif ini pada akhirnya akan menyumbang pada kelanggengan budaya kekerasan di dalam masyarakat. Tidaklah berlebihan kiranya jika dikatakan kekerasan guru terhadap anak didik memberi kontribusi dalam melestarikan budaya kekerasan di negara ini.

Biaya Sosial

Guru atau kepala sekolah yang pernah mencicipi penelitian tindakan kelas (PTK) atau penelitian tindakan sekolah (PTS) pasti memahami bahwa metode dalam pembelajaran ataupun pendisiplinan anak didik amatlah kaya.

Kekerasan dalam bentuk dan alasan apa pun bukanlah metode tepat untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran dan upaya pendisiplinan anak didik. Perilaku guru preman harus dihentikan. Banyak biaya sosial harus ditebus pada masa depan. Pertama; jelas bahwa pencapaian tujuan pendidikan seperti yang termaktub dalam Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak akan pernah tercapai.

Kedua; kekerasan hanya akan merugikan kehidupan dan masa depan guru itu sendiri. Alasan guru menggunakan kekerasan untuk mendidik bisa jadi mengantarkan mereka pada hukuman kurungan 3 tahun 6 bulan dan denda Rp 72 juta. Hukuman bertambah berat jika anak didik mengalami luka berat apalagi meninggal dunia. Ketiga; kekerasan menjadi sebuah kurikulum tersembunyi yang mendidik anak menjadikan kekerasan sebagai solusi dalam memecahkan permasalahan.

Penelitian Saptarini (2009) menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan guru kebanyakan merupakan bentuk kekerasan personal karena tidak melibatkan kondisi struktural dalam lembaga pendidikan. Keberanian anak didik mengambil video kekerasan yang dilakukan guru patut dihargai dan diacungi jempol.

Tindakan itu merupakan bentuk ketidakberterimaan anak didik akan penggunaan kekerasan dalam proses pendidikan di sekolah. Guru mesti memiliki paradigma bahwa kasih-sayang dan pengertian merupakan senjata paling ampuh dalam mendidik anak, bukan kekerasan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar