|
Lagi, tayangan kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak
didik muncul dalam pemberitaan pada sebuah televisi swasta. Seorang guru
berambut gondrong, asap rokok sesekali berhembus dari bibirnya, memukul kepala
anak didik ketika mereka tidak bisa menjawab pertanyaan.
Kejadian ini menambah episode kekerasan sebelumnya. Sungguh
perilaku yang mencederai citra guru sebagai pendidik. Inilah guru preman yang
selalu ”kehabisan metode” dan lebih mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan
tiap persoalan dalam pendidikan.
Hasil penelitian Unicef tahun 2006 di beberapa daerah di
Indonesia, menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan pada anak didik dilakukan
oleh guru. Data yang sama disampaikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia
tahun 2008, yang menyebutkan tren kekerasan guru terhadap anak didik mengalami
peningkatan. Tahun 2007 tercatat 555 kasus kekerasan, 11,8% di antaranya
dilakukan guru.
Tahun 2008 terjadi 86 kasus dengan 39% pelaku adalah guru.
Data mutakhir bisa jadi lebih mengenaskan. Fakta ini menunjukkan bahwa sekolah
menjadi salah satu tempat dalam menyemaikan benih kekerasan. Amatlah tidak
lazim dan bertentangan dengan landasan kependidikan dan kaidah pedagogis jika
kekerasan sampai terjadi di sekolah, apalagi dilakukan guru. Sayang, cukup
banyak guru yang menilai bahwa cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan
anak didik (Phillip, 2007).
Guru semacam itu kerap mengaitkan kekerasan dengan
kedisiplinan dan menerapkannya dalam dunia pendidikan. Istilah ”tegas” dalam
membina kedisiplinan anak didik identik dengan ”keras”. Kewibawaan guru
dikaitkan dengan ketakutan anak didik melalui penggunaan model pendidikan ala
militer yang sarat kekerasan. Alih-alih mendidik, dalam konteks jangka panjang,
kekerasan memunculkan trauma psikologis pada anak didik.
Mereka menyimpan dendam terhadap guru, makin kebal terhadap
hukuman, serta cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain
yang dianggap lemah. Perilaku negatif ini pada akhirnya akan menyumbang pada
kelanggengan budaya kekerasan di dalam masyarakat. Tidaklah berlebihan kiranya
jika dikatakan kekerasan guru terhadap anak didik memberi kontribusi dalam
melestarikan budaya kekerasan di negara ini.
Biaya Sosial
Guru atau kepala sekolah yang pernah mencicipi penelitian
tindakan kelas (PTK) atau penelitian tindakan sekolah (PTS) pasti memahami
bahwa metode dalam pembelajaran ataupun pendisiplinan anak didik amatlah kaya.
Kekerasan dalam bentuk dan alasan apa pun bukanlah metode
tepat untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran dan upaya pendisiplinan
anak didik. Perilaku guru preman harus dihentikan. Banyak biaya sosial harus
ditebus pada masa depan. Pertama; jelas bahwa pencapaian tujuan pendidikan seperti
yang termaktub dalam Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak
akan pernah tercapai.
Kedua; kekerasan hanya akan merugikan kehidupan dan masa
depan guru itu sendiri. Alasan guru menggunakan kekerasan untuk mendidik bisa
jadi mengantarkan mereka pada hukuman kurungan 3 tahun 6 bulan dan denda Rp 72
juta. Hukuman bertambah berat jika anak didik mengalami luka berat apalagi
meninggal dunia. Ketiga; kekerasan menjadi sebuah kurikulum tersembunyi yang
mendidik anak menjadikan kekerasan sebagai solusi dalam memecahkan
permasalahan.
Penelitian Saptarini (2009) menunjukkan bahwa kekerasan
yang dilakukan guru kebanyakan merupakan bentuk kekerasan personal karena tidak
melibatkan kondisi struktural dalam lembaga pendidikan. Keberanian anak didik
mengambil video kekerasan yang dilakukan guru patut dihargai dan diacungi
jempol.
Tindakan itu merupakan bentuk ketidakberterimaan anak didik
akan penggunaan kekerasan dalam proses pendidikan di sekolah. Guru mesti
memiliki paradigma bahwa kasih-sayang dan pengertian merupakan senjata paling
ampuh dalam mendidik anak, bukan kekerasan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar