Sabtu, 30 November 2013

Intoleransi Tawuran Pelajar

Intoleransi Tawuran Pelajar
Niken Ulfah R  ;  Guru MTs Negeri Model Sumberlawang Kabupaten Sragen
SUARA MERDEKA,  29 November 2013

  

Setelah digemparkan video porno siswa SMP di Jakarta, wajah dunia pendidikan kembali tercoreng aksi tawuran pelajar. Empat pelajar SMK 1 Cibadak tewas tenggelam di Sungai Cimahi, Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jabar (9/11) karena menghindari tawuran dengan siswa SMK Lodaya. Buntutnya, bangunan dan sejumlah fasilitas SMK Lodaya dirusak massa (16/11).

Kenyataan ini menggambarkan potret paradoksal pendidikan. Sekolah belum sepenuhnya menjadi medium strategis bagi pengembangan potensi dan kepribadian pelajar agar memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti tinggi.
Nilai-nilai moral kemanusiaan seperti dialpakan dalam pergaulan. Hasrat meluapkan jati diri, rasa bangga, dan ingin diakui keberadaannya disalurkan pada hal yang menyimpang dari tatanan sosial, lewat aksi tawuran. Menurut Komnas Perlindungan Anak, sepanjang 2012 tercatat 147 kasus tawuran dan menewaskan sedikitnya 82 pelajar.

Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 128 kasus. Kemeluasan kasus itu menunjukkan kekerasan telah menjadi bagian dari mass culture yang diwariskan dari generasi ke generasi di sekolah. Seolah-olah harkat dan martabat kemanusiaan lenyap tanpa menyisakan jejak makna sosok kaum terpelajar. Sikap insan kecendekiawanan dengan semangat intelektualitas tak terejawantah dalam perilaku.

Meminjam analisis Erich Fromm (2000) kekerasan pelajar yang terus berulang lahir dari kondisi yang tidak memungkinkan mereka berkembang secara positif. Kekerasan terjadi ketika individu mengalami hambatan tumbuh secara baik. Keterhambatan itu membalikkan pertumbuhan individu ke arah perilaku agresif.

Gerakan Kolektif

Terlebih, masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Seseorang berusaha menyesuaikan diri antara tuntutan sosial lingkungan dan keinginan pribadinya. Dalam konteks itu, pelajar mengalami apa yang disebut Erikson (1950) sebagai konflik identitas versus kekacauan peran.

Kini, saatnya membangun gerakan kolektif dengan melibatkan pemerintah, sekolah, dan keluarga supaya lebih sensitif menyikapi tawuran pelajar. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak mendapat pengaruh yang mendasari sikap dan kemampuan interaksi sosialnya di masyarakat. Untuk itu, kondisi keluarga di Jateng harus ramah bagi penanaman nilai-nilai moral, agama, kebiasaan dan pandangan hidup yang diperlukan anak. Peran orang tua adalah sebagai teladan yang baik.

Keteladanan ini mutlak dipelihara dengan menjaga komitmen senantiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dan mencegah berlakunya nilai-nilai amoral dalam keluarga. Sekolah juga perlu lebih serius membangun lingkungan belajar yang aman, nyaman, ramah, sehat bagi kesejahteraan pelajar.

Guru perlu memahami pelajar sebagai manusia seutuhnya dengan penilaian positif dan memperlakukannya sebagai insan bermartabat. Potensi intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas pelajar harus dikembangkan secara optimal.

Orang tua sebisa mungkin ikut memonitoring secara intensif perilaku anak. Sebaliknya, sekolah harus transparan dan akuntabel memberikan laporan ihwal perkembangan mereka. Tak kalah penting, koordinasi harus berjalan integratif dan simultan. Upaya itu melibatkan pemerintah untuk mendeteksi bibit yang mengarah kepada aksi tawuran.

Penindakan terhadap pelaku kekerasan harus benarbenar memenuhi prinsip edukasi, perimbangan, dan keadilan hukum. Gerakan kolektif ini diharapkan bisa meminimalisasi tawuran di kalangan pelajar.

Bagaimanapun dan dengan alasan apa pun tidak ada toleransi bagi tawuran dan aksi kekerasan dalam pendidikan. Pasalnya, pendidikan sejatinya merupakan sarana pembentuk moralitas kepribadian pelajar, yakni pribadi yang memiliki kemampuan mengelola hidup sesuai dengan nilai-nilai moral kemanusiaan sebagai dasar berperilaku dalam kehidupan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar