Negeri
Penghargaan
Setyaningsih ; Anggota Bilik Literasi Solo
|
TEMPO.CO,
23 November 2013
Wajah Ibu Negara terlihat sumringah. Pada Selasa, 12
November 2013, Ani Yudhoyono menerima penghargaan sebagai tokoh
pemberdayaan perempuan dalam bidang pendidikan dalam acara pekan sains L'Oreal-UNESCO For Woman in Science
National 2013 di Universitas Indonesia. Penghargaan itu merupakan
apresiasi atas kemajuan pendidikan bagi para perempuan Indonesia.
Indonesia
adalah negeri penghargaan. Sebagian dari mereka yang menduduki kursi
pemerintahan dan kekuasaan adalah pendamba penghargaan. Penghargaan
pun wajar saja diberikan karena mengatasnamakan jasa. Namun, ketika kita
menilik kembali tugas seorang Ibu Negara, bukankah sudah menjadi kewajiban
bahwa dia harus memajukan rakyatnya, tanpa harus ada penghargaan yang nanti
menghampirinya?
Kita
teringat pada Dewi Sartika. Rochiati Wiriaatmadja mendokumentasikan hidup
dia dalam buku Dewi Sartika (1986). Sekolah Istri pernah didirikan Dewi
Sartika bukan sekadar untuk membuat perempuan merasa sama dengan laki-laki
atau melampuinya. Dewi Sartika berharap perempuan, yang kelak menjadi ibu,
akan menjadi ibu berpendidikan. Dalam artian perempuan yang tidak melupakan
kodratnya sebagai perempuan sekaligus menjadi penentu intelektualitas
anaknya.
Keprihatinan
Dewi Sartika melihat kehidupan perempuan pada zamannya menggerakkan
tubuhnya untuk bertekad. Kita tentu tahu bahwa Dewi Sartika berasal
dari golongan priyayi menengah, bukan bangsawan tinggi. Ketika
berkontribusi untuk perempuan, Dewi Sartika tidak sedang menduduki
kursi penting apa pun. Semua murni bergerak dari dirinya atas nama
kemanusiaan. Tidak ada jabatan, apalagi penghargaan. Dewi Sartika
hanya manusia yang tahu bahwa ia harus berbuat sesuatu.
Begitu
pula dengan Kartini, yang memang berasal dari keluarga bangsawan.
Pada zamannya, ayah Kartini-lah yang memiliki jabatan penting sebagai
bupati. Dalam surat-surat Kartini, kita bisa menyimak bagaimana nasib
yang harus diterima oleh para perempuan Jawa. Ia menginginkan
kemajuan pendidikan bagi perempuan-perempuan sezamannya bukan karena
penghargaan.
Kartini
menyadari bahwa perempuanlah kelak yang menentukan masa depan dan nasib
anaknya, seperti yang ia tulis dalam sebuah nota (1903) berjudul Berikanlah
Pendidikan kepada Bangsa Jawa. "Sebagai
seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam
pangkuannyalah seorang anak pertama-tama belajar merasa, berpikir,
dan berbicara; dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai
arti yang besar bagi seluruh hidup anak…"
Pada
abad ke-21, penghargaan hadir atas nama jasa dan kontribusi.
Penghargaan mengatasnamakan rasa terima kasih. Penghargaan ada
bersama jabatan, kekuasaan, dan gelar. Kita dikacaukan oleh datangnya
pelbagai penghargaan yang seharusnya tidak perlu diberikan.
Seolah-olah setiap bidang harus diberi bagian dan penghargaannya
masing-masing.
Orang-orang
pemerintahan dan yang tengah duduk di kursi kekuasaan sudah
seharusnya melakukan tugasnya. Mereka memiliki janji dan utang yang
mesti dipenuhi karena mereka telah berani terjun dan memilih berada
di kursinya. Bukankah menggelikan jika mereka harus diberi
penghargaan atas apa yang sudah sewajarnya mereka lakukan. Jabatan
mengandung kewajiban, bukan jabatan mengandung penghargaan.
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar