BERTUBI-tubinya pemberitaan
media yang mengangkat kasus kekerasan anak seolah membangunkan kesadaran
bahwa kehidupan di lingkungan sosial masyarakat saat ini kerap membawa
kerawanan buat anak. Penilaian tersebut diperkuat temuan data Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) melalui hotline service yang
mencatat, sepanjang Januari sampai Oktober 2013, terdapat 2.792 pelanggaran
hak anak.
Dari jumlah tersebut, 1.424 adalah kasus kekerasan. Kasus kekerasan
tertinggi adalah kasus kekerasan seksual dengan 730 kasus, disusul kekerasan
fisik (452 kasus) dan kekerasan psikis (242 kasus). Angka tersebut
meningkat 48 persen jika dibanding 2012 dalam kurun waktu yang sama. Itu
jelas angka yang terungkap saja. Yang terpendam, wallahu a'lam.
Yang membuat waswas, sebagian kasus kekerasan tersebut terjadi di
lingkungan sekolah. Selain psikis dan fisik, kasus kekerasan di sekolah
bahkan telah menjurus pada tindak kekerasan seksual. Para pelakunya bukan
lagi hanya teman sebaya, senior, atau karyawan sekolah. Namun, dalam
beberapa kasus, guru justru menjadi pelaku utama.
Fakta itu tidak hanya memprihatinkan, namun juga memunculkan kekhawatiran
baru bagi para orang tua. Dalam tataran ideal, sejatinya sekolah diharapkan
menjadi lembaga yang kondusif untuk menuntut ilmu, mengembangkan potensi diri,
bersosialisasi, dan membangun karakter anak (siswa). Namun, apa hendak
dikata, fakta justru menunjukkan, di lembaga pendidikan itulah praktik
kekerasan bisa terjadi.
Meski merupakan salah satu kota menuju layak anak yang telah menyabet tiga
kali penghargaan berturut-turut dalam rentang 2011, 2012, dan 2013, Kota
Surabaya pun belum bisa lepas dari masalah kekerasan di sekolah. Misalnya,
yang diberitakan di Jawa Pos, Senin (25/11), kasus kekerasan di sekolah
Surabaya semakin tinggi. Telepon Sahabat Anak (Tesa) 129 mencatat, ada 167
kasus kekerasan. Ironisnya, 10 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan
seksual! Tentu bukan Surabaya semata yang menghadapi problem sosial semacam
itu. Di kota-kota lain pun, kasus kekerasan di sekolah kerap terjadi dan telah
menjadi bagian dari pemberitaan media.
Kekerasan di sekolah sesungguhnya adalah problem sangat serius yang harus
segera ditangani. Mengingat, dampak kekerasan itu mampu terbawa dan
memengaruhi kondisi psikologis, perilaku, hingga masa depan anak bila tidak
mendapat pendampingan serta penanganan dengan baik dan benar. Tentu perlu
juga dipikirkan, bila rentetan kasus kekerasan di sekolah terus berulang
tanpa solusi tepat dan tiap hari menjadi pemberitaan media, pastilah
kepercayaan dan wibawa lembaga pendidikan di negeri ini akan semakin
terpuruk.
UU No 32/2002 tentang Perlindungan Anak perlu disosialisasikan dan
diterapkan dengan baik, termasuk di sekolah. Pasal 54 secara jelas dan
gamblang menyatakan; Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi
dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau
teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan
lainnya.
Karena itu, pertama, pemerintah daerah (dinas pendidikan) harus ikut
mendorong pelaksanaan sanksi hukuman pidana/administratif/sosial yang
maksimal bagi pelaku orang-orang dewasa seperti guru, karyawan sekolah, dan
pihak lain yang bertindak kekerasan terhadap anak. Hukuman maksimal
diharapkan mampu memberikan efek jera, tidak ditiru, dan menjaga wibawa
lembaga pendidikan. Selain itu, diharapkan mampu menjadi bukti bahwa tidak
ada toleransi bagi pelaku kekerasan dari semua unsur lembaga pendidikan.
Kedua, pemerintah pusat dan daerah perlu membuat kebijakan yang secara
intensif dan aktif menyosialisasikan UU Perlindungan Anak dengan
menggandeng komite sekolah serta aparat hukum (kepolisian atau kejaksaan).
Di kepolisian, misalnya, telah ada unit kerja khusus perlindungan perempuan
dan anak (PPA). Bagi institusi kepolisian, upaya ini tidak hanya membangun
kedekatan yang lebih besar kepada masyarakat, namun secara tidak langsung
ikut berupaya menekan angka kejahatan di wilayahnya. Mengingat persentase
terbesar pelaku kekerasan pada anak di Indonesia adalah orang-orang
terdekat seperti orang tua, kerabat, atau tetangga, sesungguhnya
sosialisasi UU Perlindungan Anak di sekolah akan mampu memperluas kesadaran
di masyarakat tentang perlindungan hukum yang dimiliki anak.
Sekolah harus menjadi tempat paling aman buat anak, selain rumah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar