Sabtu, 30 November 2013

Warning Kekerasan di Sekolah

Warning Kekerasan di Sekolah
Aristiana P Rahayu  ;  Relawan sosial,
Kepala rumah singgah Rumah Pintar Matahari di Surabaya
JAWA POS,  29 November 2013
  


BERTUBI-tubinya pemberitaan media yang mengangkat kasus kekerasan anak seolah membangunkan kesadaran bahwa kehidupan di lingkungan sosial masyarakat saat ini kerap membawa kerawanan buat anak. Penilaian tersebut diperkuat temuan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) melalui hotline service yang mencatat, sepanjang Januari sampai Oktober 2013, terdapat 2.792 pelanggaran hak anak. 

Dari jumlah tersebut, 1.424 adalah kasus kekerasan. Kasus kekerasan tertinggi adalah kasus kekerasan seksual dengan 730 kasus, disusul kekerasan fisik (452 kasus) dan kekerasan psikis (242 kasus). Angka tersebut meningkat 48 persen jika dibanding 2012 dalam kurun waktu yang sama. Itu jelas angka yang terungkap saja. Yang terpendam, wallahu a'lam.

Yang membuat waswas, sebagian kasus kekerasan tersebut terjadi di lingkungan sekolah. Selain psikis dan fisik, kasus kekerasan di sekolah bahkan telah menjurus pada tindak kekerasan seksual. Para pelakunya bukan lagi hanya teman sebaya, senior, atau karyawan sekolah. Namun, dalam beberapa kasus, guru justru menjadi pelaku utama. 

Fakta itu tidak hanya memprihatinkan, namun juga memunculkan kekhawatiran baru bagi para orang tua. Dalam tataran ideal, sejatinya sekolah diharapkan menjadi lembaga yang kondusif untuk menuntut ilmu, mengembangkan potensi diri, bersosialisasi, dan membangun karakter anak (siswa). Namun, apa hendak dikata, fakta justru menunjukkan, di lembaga pendidikan itulah praktik kekerasan bisa terjadi.

Meski merupakan salah satu kota menuju layak anak yang telah menyabet tiga kali penghargaan berturut-turut dalam rentang 2011, 2012, dan 2013, Kota Surabaya pun belum bisa lepas dari masalah kekerasan di sekolah. Misalnya, yang diberitakan di Jawa Pos, Senin (25/11), kasus kekerasan di sekolah Surabaya semakin tinggi. Telepon Sahabat Anak (Tesa) 129 mencatat, ada 167 kasus kekerasan. Ironisnya, 10 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan seksual! Tentu bukan Surabaya semata yang menghadapi problem sosial semacam itu. Di kota-kota lain pun, kasus kekerasan di sekolah kerap terjadi dan telah menjadi bagian dari pemberitaan media.

Kekerasan di sekolah sesungguhnya adalah problem sangat serius yang harus segera ditangani. Mengingat, dampak kekerasan itu mampu terbawa dan memengaruhi kondisi psikologis, perilaku, hingga masa depan anak bila tidak mendapat pendampingan serta penanganan dengan baik dan benar. Tentu perlu juga dipikirkan, bila rentetan kasus kekerasan di sekolah terus berulang tanpa solusi tepat dan tiap hari menjadi pemberitaan media, pastilah kepercayaan dan wibawa lembaga pendidikan di negeri ini akan semakin terpuruk.

UU No 32/2002 tentang Perlindungan Anak perlu disosialisasikan dan diterapkan dengan baik, termasuk di sekolah. Pasal 54 secara jelas dan gamblang menyatakan; Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya.

Karena itu, pertama, pemerintah daerah (dinas pendidikan) harus ikut mendorong pelaksanaan sanksi hukuman pidana/administratif/sosial yang maksimal bagi pelaku orang-orang dewasa seperti guru, karyawan sekolah, dan pihak lain yang bertindak kekerasan terhadap anak. Hukuman maksimal diharapkan mampu memberikan efek jera, tidak ditiru, dan menjaga wibawa lembaga pendidikan. Selain itu, diharapkan mampu menjadi bukti bahwa tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan dari semua unsur lembaga pendidikan. 

Kedua, pemerintah pusat dan daerah perlu membuat kebijakan yang secara intensif dan aktif menyosialisasikan UU Perlindungan Anak dengan menggandeng komite sekolah serta aparat hukum (kepolisian atau kejaksaan).

Di kepolisian, misalnya, telah ada unit kerja khusus perlindungan perempuan dan anak (PPA). Bagi institusi kepolisian, upaya ini tidak hanya membangun kedekatan yang lebih besar kepada masyarakat, namun secara tidak langsung ikut berupaya menekan angka kejahatan di wilayahnya. Mengingat persentase terbesar pelaku kekerasan pada anak di Indonesia adalah orang-orang terdekat seperti orang tua, kerabat, atau tetangga, sesungguhnya sosialisasi UU Perlindungan Anak di sekolah akan mampu memperluas kesadaran di masyarakat tentang perlindungan hukum yang dimiliki anak. 

Sekolah harus menjadi tempat paling aman buat anak, selain rumah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar