SEORANG penyair menuliskan
kesaksiannya atas realitas. Ia mengaku gerah melihat kemiskinan,
ketidakadilan, kekisruhan, penipuan, penindasan segala macam derita,
kezaliman yang berkobar di sekitarnya. Sebagai kesimpulan, ia memastikan,
hidup sudah sama sekali tanpa harapan di negeri ini.
Renungan itu diperlihatkannya
kepada saudaranya: buruh kecil yang tinggal di permukiman kumuh yang tiap
tahun diserbu banjir. Hidupnya morat-marit dengan tujuh anak, separuhnya
sudah putus sekolah karena tak ada biaya. ”Bagaimana pendapatmu? Bagus?”
Buruh kecil itu mengembalikan
puisi kesaksian sosial itu dengan mata hampa. Suaranya datar, dingin, dan
seperti datang dari sumur yang dalam. ”Aku
hidup dengan jatuh-bangun bersama keluargaku di lingkungan hitam yang tak
ada putihnya. Aku sudah terlalu capek dengan semua urusan yang terlalu
perih itu. Bagaimana aku bisa menikmatinya lagi. Tulislah sesuatu yang
lebih terang, lebih menyenangkan, supaya aku bisa tersenyum atau tertawa.”
Penyair itu amat kecewa. Ia
merobek sajaknya. ”Gila! Kalau mereka
yang mengalami saja sudah tak mau tahu dengan segala kebusukan yang
menginjak-injak hidupnya tidak akan pernah ada perubahan di negeri yang
sudah tanpa harapan lagi ini!”
Tapi, itu 10 tahun lalu. Memang
banyak yang belum bisa terjadi dalam satu dekade. Tapi, cukup banyak
pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan yang menyebabkan zaman bergerak
lumayan dalam 10 tahun.
Buruh kecil itu menanjak
hidupnya. Berkat keuletan plus nasib baik, ia berhasil keluar dari lumpur.
Bahkan, beruntung melenting ke puncak, menjadi orang nomor satu di
perusahaan tempatnya bekerja. Sebaliknya, sang penyair terjun bebas ke
sumur nasib yang terjal. Ia jadi bagian dari sampah Ibu Kota. Namun, dalam
kepapaan dan kehinaan, ia justru begitu produktif.
Dalam penderitaan, ia
menjadi begitu peka. Hidup pun dipuja dan disyukuri. Ia menulis segala
sesuatu yang dulu ia abaikan. Ia buktikan betapa fantastis kehidupan.
Seperti dulu, ia perlihatkan puisi kepada saudaranya yang sukses. Tapi,
seperti dulu pula ia kembali kecewa. Saudaranya itu sudah memberi komentar
sebelum membaca.
”Kau pasti menulis tentang keseimbangan. Setelah
bereforia di atas, sekarang kau menyelam. Kau capai titik tengah yang
netral. Di sana kau merasa aman, seimbang. Tapi, bagiku, kau ini sudah
berhenti. Sementara aku justru masih berjuang. Kenapa? Karena di atas
puncak baru terlihat puncak yang lain yang harus kucapai. Aku terlalu sibuk
(mengejar target), untuk ikut-ikutan bersyukur seperti kamu!”
Penyair itu kecewa. ”Aku tidak menulis tentang keseimbangan.
Aku menulis tentang ketidakpastian. Kenisbian. Bahwa tak ada nilai yang
pakem yang berhenti. Semuanya bergerak. Tidak selalu ke belakang atau ke
depan. Ada yang turun, ada yang mundur, ada yang masuk, ada yang keluar.
Nilai adalah grafik yang simpang siur. Kita memang lain, berbeda bahkan
mungkin bertentangan. Tapi, karena satu, saling melengkapi, jadi saling
membutuhkan.”
”Seperti langit dan bumi yang menciptakan kehidupan.
Siang dan malam yang menciptakan waktu. Atas dan bawah, kiri-kanan,
luar-dalam yang menciptakan ruang. Adil-tak adil, salah- benar, layak-tak
layak, patut-tak patut yang menciptakan ukuran, nilai, dan moral. Serta
perpisahan-pertemuan, jauh-dekat, esok-kemarin, cinta-benci yang
menimbulkan harmoni!” ”Yang satu ada karena ketiadaan yang lain. Tetapi,
bukan cuma itu. Ada menjadi nyata karena hadirnya ’tak ada’. Demikian
sebaliknya.”
”Begitulah seterusnya. Harmoni tidak dibangun oleh dua
sisi, tetapi banyak sisi yang mengepungnya. Itulah kehidupan sesungguhnya
yang sering kita lupa karena keterbatasan kita. Karena pencapaian akal dan
peradaban mengajarkan bahwa semakin fokus semakin baik.”
Saudaranya tak menjawab. Tapi,
itulah jawabannya: tak menjawab karena terlalu sibuk.
Kisah penyair dan saudaranya itu
adalah simbol pertikaian rasa dan pikir kita. Dalam menghadapi berbagai
masalah, mungkin sekali kita sudah sesat, padahal sudah mengatasnamakan
ilmu.
Sudah tepatkah hukum juga
diberlakukan bagi mereka yang sejujurnya mengaku tidak atau belum tahu?
Sudah tepatkah ”orang mabuk” dibebaskan dari hukuman yang berlaku bagi
manusia/warga umumnya? Sudah tepatkah kejahatan atau ”kekhilafan” atau dengan
nama lebih lunak ”kecelakaan” /”pelanggaran”, yang sampai mengorbankan nyawa
warga tak bersalah, hanya dinilai dengan ilmu jiwa? Sudah tepatkah faktor
kejiwaan dijadikan tolok ukur terbesar dalam menjalankan keadilan?
Masalah kebosanan, kesepian,
kekosongan, dan sebagainya yang dikemukakan ilmu jiwa sebagai hal yang
lebih kurang ”memaafkan”, ”meredam”, atau ”mengampuni” tindak kriminal,
pelanggaran hukum/moral harus selalu dikombinasikan dengan hakikat hukum
untuk bukan semata ”menghukum” agar pelaku jera, tetapi terutama mencegah
hal itu tidak diulang pelaku lain karena memperkirakan akan ”diampuni”.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar