Sabtu, 30 November 2013

Mengubah Kerja Sama dengan Australia

Mengubah Kerja Sama dengan Australia
PLE Priatna  ;  Alumnus Monash University
TEMPO.CO,  29 November 2013
  


Kemelut ketegangan RI-Australia masih menyala. Masyarakat Indonesia mendesak PM Tony Abbott untuk meminta maaf. Reaksi lamban dan ragu-ragu dari PM Australia berikut ulah tidak bertanggung jawab anggota parlemen Australia, Max Textor-penasihat politik PM Abbott-semakin memanaskan situasi. 

Pakar hukum Prof Hikmahanto Juwana tak kalah garang mendesak Indonesia untuk mempersona-non-gratakan Dubes Australia di Jakarta, Greg Moriety, sementara sebagian masyarakat mendesak agar dilakukan boikot produk Australia.

Data Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia menyebutkan bahwa neraca perdagangan RI-Australia mencapai nilai Rp 169 triliun dan sekurang-kurangnya bergerak di angka Rp 137 triliun per tahun. 

Menurut ABC News, nilai perdagangan Indonesia-Australia mencapai US$ 13,7 miliar (Rp 137 triliun) pada 2012. Adapun pada 2013 ini, hingga Agustus saja, nilai perdagangan kedua negara mencapai US$ 4,8 miliar (Rp 48 triliun). Komoditas yang diperdagangkan antara lain emas, kendaraan bermotor, baja, dan kayu.

Sekitar 2.580 perusahaan Australia melakukan kegiatan ekspor ke Indonesia berikut sebanyak 250 perwakilan perusahaan Australia berada di Indonesia. Indonesia mengimpor garam saja sebanyak 1 juta ton senilai US$ 48 juta (Januari-Augustus 2013), dan tak mengherankan kita mendatangkan 25 ribu ekor sapi potong berikut puluhan ton daging beku. Jumlah pelajar Indonesia di Australia menembus angka 17.921 orang, dengan nilai investasinya sebesar Rp 7,5 triliun dalam setahun. Luar biasa.

Kerja sama RI-Australia diguncang anarki hebat. Australia melakukan anarki politik keluar dari batas etika. Atas nama kepentingan keamanan nasional, Australia tanpa rasa malu melakukan penyadapan percakapan telepon pribadi, suami-istri, Presiden RI dan Ibu Negara.

Konvensi Wina 1961 tentang tata krama dan adab kesantunan untuk saling menghormati kedaulatan diterabas habis. The Coming Anarchy, seperti yang disebut pakar geo-politik Robert D. Kaplan, dilakukan oleh komunitas intelijen Australia. Mereka menepis dampak yang akan timbul sekaligus mengecilkan reaksi balik yang bisa dilakukan Indonesia.

Aksi penyadapan ala James Bond yang dilakukan Amerika Serikat dan Australia dengan menyalahgunakan fungsi kedutaan ataupun staf diplomatiknya untuk kegiatan spionase adalah kalkulasi keliru, untuk mengecilkan aksi balik yang bisa dilakukan Indonesia. Pemerintah menjatuhkan sanksi dan masyarakat marah.

Ketika data dan informasi bisa diperoleh secara terbuka. Ketika kepala negara/pemerintahan serta para menteri luar negeri bisa bicara bebas dan melakukan dialog. Tatkala para petinggi dan masyarakat umum bisa mendapat kualitas informasi yang sama serta bisa saling mengunjungi dan bertatap muka. Tatkala surat elektronik dan media sosial menjadi jembatan komunikasi warga dunia. Di balik itu semua, tindak anarkistis aksi sepihak dan sembunyi terus dilakukan banyak negara sahabat.

Mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari sumber terbuka dan tertutup menggunakan cara Machiavelis, tujuan menghalalkan segala cara, bukan lagi zamannya. Karena itu, aksi penyadapan ala James Bond yang dilakukan AS atau Australia, di mana pun, sangat tidak bisa diterima. Kepentingan keamanan menjadi dalih dan justifikasi yang tidak bisa dibenarkan. Pengurangan staf perwakilan asing untuk itu adalah solusi terbaik.

Banyaknya staf perwakilan asing tidak otomatis akan semakin meningkatkan kerja sama yang sehat, berikut menambah kegiatan yang saling menguntungkan bagi kedua negara. Bukan lagi zamannya pengelolaan aspek keamanan bersama dibangun dalam mentalitas Perang Dingin. Di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan dunia yang semakin terbuka dan transparan ini, di mana aktor-aktor hubungan negara semakin bertambah, lembaga intelijen Australia masih hidup dalam kemunduran.

Banyak forum kerja sama, dialog, tatap muka, serta pertukaran kunjungan, dari tingkat kepala negara/pemerintahan hingga rakyat biasa, bisa dilakukan secara terbuka, tapi justru komunitas intelijen ini bergerak mengikuti agendanya sendiri.

Keamanan dalam konteks human security, dari ancaman fisik risiko baru dari perang, terorisme, bencana alam, hingga ancaman kehilangan pekerjaan, guna membangun hidup yang lebih baik dan bermartabat, tidak seharusnya membuat Australia kehilangan akal dengan melakukan penyadapan. 

Adalah saatnya bagi Indonesia untuk memberi pelajaran secara serius kepada Australia. Gagasan untuk memboikot produk Australia, menghentikan impor dari Australia, serta kemudian mengalihkan ke negara lain adalah keputusan sekaligus keberanian politik yang ditunggu masyarakat. Tanpa itu semua, Australia akan tetap mengecilkan Indonesia. Tekanan dari para pemangku kepentingan sektor bisnis Australia, yang dirugikan sekaligus konstituen Abbott ini, bisa menjadi jembatan awal bagi perubahan perilakunya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar