Kemelut ketegangan RI-Australia masih menyala. Masyarakat
Indonesia mendesak PM Tony Abbott untuk meminta maaf. Reaksi lamban dan
ragu-ragu dari PM Australia berikut ulah tidak bertanggung jawab anggota
parlemen Australia, Max Textor-penasihat politik PM Abbott-semakin
memanaskan situasi.
Pakar hukum Prof Hikmahanto Juwana tak kalah
garang mendesak Indonesia untuk mempersona-non-gratakan Dubes Australia di
Jakarta, Greg Moriety, sementara sebagian masyarakat mendesak agar
dilakukan boikot produk Australia.
Data Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan
Australia menyebutkan bahwa neraca perdagangan RI-Australia mencapai nilai
Rp 169 triliun dan sekurang-kurangnya bergerak di angka Rp 137 triliun per
tahun.
Menurut ABC News, nilai perdagangan
Indonesia-Australia mencapai US$ 13,7 miliar (Rp 137 triliun) pada 2012.
Adapun pada 2013 ini, hingga Agustus saja, nilai perdagangan kedua negara
mencapai US$ 4,8 miliar (Rp 48 triliun). Komoditas yang diperdagangkan
antara lain emas, kendaraan bermotor, baja, dan kayu.
Sekitar 2.580 perusahaan Australia melakukan
kegiatan ekspor ke Indonesia berikut sebanyak 250 perwakilan perusahaan
Australia berada di Indonesia. Indonesia mengimpor garam saja sebanyak 1
juta ton senilai US$ 48 juta (Januari-Augustus 2013), dan tak mengherankan
kita mendatangkan 25 ribu ekor sapi potong berikut puluhan ton daging beku.
Jumlah pelajar Indonesia di Australia menembus angka 17.921 orang, dengan
nilai investasinya sebesar Rp 7,5 triliun dalam setahun. Luar biasa.
Kerja sama RI-Australia diguncang anarki
hebat. Australia melakukan anarki politik keluar dari batas etika. Atas
nama kepentingan keamanan nasional, Australia tanpa rasa malu melakukan
penyadapan percakapan telepon pribadi, suami-istri, Presiden RI dan Ibu
Negara.
Konvensi Wina 1961 tentang tata krama dan
adab kesantunan untuk saling menghormati kedaulatan diterabas habis. The
Coming Anarchy, seperti yang disebut pakar geo-politik Robert D. Kaplan,
dilakukan oleh komunitas intelijen Australia. Mereka menepis dampak yang
akan timbul sekaligus mengecilkan reaksi balik yang bisa dilakukan
Indonesia.
Aksi penyadapan ala James Bond yang
dilakukan Amerika Serikat dan Australia dengan menyalahgunakan fungsi
kedutaan ataupun staf diplomatiknya untuk kegiatan spionase adalah
kalkulasi keliru, untuk mengecilkan aksi balik yang bisa dilakukan
Indonesia. Pemerintah menjatuhkan sanksi dan masyarakat marah.
Ketika data dan informasi bisa diperoleh
secara terbuka. Ketika kepala negara/pemerintahan serta para menteri luar
negeri bisa bicara bebas dan melakukan dialog. Tatkala para petinggi dan
masyarakat umum bisa mendapat kualitas informasi yang sama serta bisa
saling mengunjungi dan bertatap muka. Tatkala surat elektronik dan media
sosial menjadi jembatan komunikasi warga dunia. Di balik itu semua, tindak
anarkistis aksi sepihak dan sembunyi terus dilakukan banyak negara sahabat.
Mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari
sumber terbuka dan tertutup menggunakan cara Machiavelis, tujuan
menghalalkan segala cara, bukan lagi zamannya. Karena itu, aksi penyadapan
ala James Bond yang dilakukan AS atau Australia, di mana pun, sangat tidak
bisa diterima. Kepentingan keamanan menjadi dalih dan justifikasi yang
tidak bisa dibenarkan. Pengurangan staf perwakilan asing untuk itu adalah
solusi terbaik.
Banyaknya staf perwakilan asing tidak
otomatis akan semakin meningkatkan kerja sama yang sehat, berikut menambah
kegiatan yang saling menguntungkan bagi kedua negara. Bukan lagi zamannya
pengelolaan aspek keamanan bersama dibangun dalam mentalitas Perang Dingin.
Di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan dunia yang semakin terbuka dan
transparan ini, di mana aktor-aktor hubungan negara semakin bertambah,
lembaga intelijen Australia masih hidup dalam kemunduran.
Banyak forum kerja sama, dialog, tatap muka,
serta pertukaran kunjungan, dari tingkat kepala negara/pemerintahan hingga
rakyat biasa, bisa dilakukan secara terbuka, tapi justru komunitas
intelijen ini bergerak mengikuti agendanya sendiri.
Keamanan dalam konteks human security, dari
ancaman fisik risiko baru dari perang, terorisme, bencana alam, hingga
ancaman kehilangan pekerjaan, guna membangun hidup yang lebih baik dan
bermartabat, tidak seharusnya membuat Australia kehilangan akal dengan
melakukan penyadapan.
Adalah saatnya bagi Indonesia untuk memberi
pelajaran secara serius kepada Australia. Gagasan untuk memboikot produk
Australia, menghentikan impor dari Australia, serta kemudian mengalihkan ke
negara lain adalah keputusan sekaligus keberanian politik yang ditunggu
masyarakat. Tanpa itu semua, Australia akan tetap mengecilkan Indonesia.
Tekanan dari para pemangku kepentingan sektor bisnis Australia, yang
dirugikan sekaligus konstituen Abbott ini, bisa menjadi jembatan awal bagi
perubahan perilakunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar