Sabtu, 30 November 2013

Rapuhnya Ketahanan Energi

Rapuhnya Ketahanan Energi
Pri Agung Rakhmanto  ;  Dosen FTKE Universitas Trisakti;
Pendiri ReforMiner Institute
KOMPAS,  29 November 2013
  


KETIKA banyak elite dan penyelenggara pemerintahan sering menyebut bahwa ketahanan energi nasional akan semakin kuat, sebenarnya saya agak bingung dan miris mendengarnya.

Bingung, karena semakin kuat dapat diinterpretasikan bahwa ketahanan energi nasional saat ini sudah (cukup) kuat. Miris, karena dalam kenyataannya kondisi yang ada justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya, yaitu semakin lemah.

Lebih bingung dan miris lagi karena beberapa fakta yang ada menunjukkan bahwa kita bahkan seperti negara yang sama sekali tidak memiliki kesungguhan dalam memikirkan dan membangun ketahanan energi.

Cadangan minyak strategis

Dalam hal sumber energi primer utama dunia, minyak bumi, untuk mengantisipasi potensi gangguan suplai, negara-negara yang betul-betul memikirkan dan membangun ketahanan energi pada umumnya memiliki fasilitas penyimpanan minyak mentah (strategic petroleum reserves/ SPR). Amerika Serikat saat ini memiliki SPR dengan kapasitas 727 juta barrel, atau lebih kurang setara dengan 60 hari impor neto minyak mentah AS yang mencapai 12 juta barrel per hari.

Jepang memiliki SPR tidak kurang dari 583 juta barrel atau lebih kurang setara dengan 115 hari total konsumsinya. China dan India, dua negara Asia yang kini tumbuh pesat, memiliki SPR masing-masing tidak kurang dari 281 juta barrel dan 37 juta barrel. China merencanakan terus memperbesar kapasitas SPR-nya hingga 684 juta barrel atau setara dengan 90 hari total konsumsinya pada 2020. India juga serupa, menargetkan kapasitas SPR menjadi 132 juta barrel pada tahun 2020.

Negara-negara yang tergabung dalam International Energy Agency (IEA) dan Uni Eropa, yang mayoritas bukan merupakan produsen minyak, sejak tahun 2001, telah mewajibkan anggotanya untuk memiliki SPR dengan kapasitas setara dengan 90 hari impor neto mintak mentah mereka.

Kita, yang sering mengaku sebagai negara produsen minyak dan pertumbuhan ekonominya diklaim mengimbangi China dan India, sama sekali tak memiliki SPR. Yang ada hanya tangki-tangki penampungan minyak mentah sementara sebelum diolah di kilang domestik ataupun menunggu diangkut pembeli dari luar negeri. 

Pengimpor BBM terbesar

Dalam hal energi final utama, bahan bakar minyak (BBM), pada saat negara-negara lain berlomba mencukupi kebutuhan sendiri dengan menambah kapasitas kilang ataupun dengan menekan konsumsi melalui diversifikasi sumber energi lain, kita malah semakin ”rajin” mengimpor dan ”siap” menjadi negara pengimpor BBM terbesar di dunia.

Pada September lalu, dalam sebuah laporannya, Wood Mackenzie menyebutkan status Indonesia sebagai negara pengimpor BBM terbesar dunia akan terjadi pada 2018. Defisit BBM–dan oleh karena itu, impor BBM–Indonesia akan melampaui gabungan defisit BBM AS dan Meksiko. 

Laporan itu menyebutkan defisit BBM Indonesia akan terus meningkat dari 340.000 barrel per hari menjadi 420.000 barrel per hari. Sementara defisit AS-Meksiko pada kurun yang sama akan turun dari 560.000 barrel per hari menjadi hanya 60.000 barrel per hari dan kemudian surplus pada tahun berikutnya.

Patut dicatat bahwa angka defisit dari Wood Mackenzie itu sebenarnya terlalu kecil. Realisasi impor BBM pada 2012 lalu tercatat sudah mencapai 537.000 barrel per hari. Itu berarti tidak perlu menunggu 2018 kita sudah akan bisa menjadi pengimpor BBM terbesar di dunia.
Indikator yang lain tentu masih banyak. Dua hal di atas, SPR dan kilang, barangkali juga masih terlalu ”canggih” untuk dipakai sebagai contoh. Yang lebih sederhana, mungkin adalah pasokan listrik dari infrastruktur yang sudah ada. Ini pun rasanya tak bisa diandalkan dengan seringnya terjadi pemadaman (bergilir) di banyak wilayah di Indonesia, termasuk di Jabodetabek.

Dengan kata lain, ketahanan energi nasional yang kita miliki sebenarnya masih sangat rapuh. Hal paling mendasar, yaitu keamanan pasokan energi, masih sangat rentan terhadap beragam potensi gangguan, baik dari aspek teknis-ekonomi, sosial-politik, apalagi geopolitik. Jadi, kalau ada yang mengatakan ketahanan energi nasional kita saat ini (sudah) kuat, menurut saya itu 3.000 persen bohong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar