AKANKAH kita sampai ke
konsolidasi demokrasi pada Pemilu Presiden 2014? Tidak mudah menjawabnya.
Kenyataannya, rakyat yang dalam teori politik menjadi subyek utama dalam
pemilu justru terempas, tidak ikut memiliki-menikmati demokrasi gara-gara
politisi jadi-jadian. Inilah kualitas demokrasi yang dibangun berdasarkan
obsesi kepentingan sesaat.
Politisi jadi-jadian takut
ide-ide segar, takut pada beragamnya kultur dalam membangun politik. Maka,
perbedaan menjadi musuh bersama mereka.
Namun, karena para pemimpin
nasional terlalu takut bertindak menyelamatkan bangsa dan rakyat, jadilah
kita negeri tanpa nasib. Krisis kepemimpinan ini melahirkan
penyakit-penyakit turunan: perekonomian nasional tidak kunjung membaik,
kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan (separatisme dan terorisme).
Sesungguhnya produk terbesar
pemerintahan era Reformasi hanyalah rasa terasing. Orang mulai terasing
dari negara, lingkungan, nilai-nilai dasar kemanusiaan, dan akar tradisi
budayanya. Terasing karena ketidakhadiran pemerintah di tengah deru
penderitaan rakyat.
Pemerintah hasil reformasi
ternyata belum memiliki rencana besar buat bangsa ini agar sampai pada
cita-cita dasarnya: keadilan sosial dan kesejahteraan.
Dengan kata lain, pemerintah
hasil reformasi belum menegakkan amanat dan cita-cita proklamasi.
Gelombang besar reformasi politik
baru menghasilkan ”mediokrasi/
kedangkalan” berpolitik dan ”political
broker” bengis.
David Hill (1987) menulis bahwa
ketika suatu negara lebih berambisi pada menata politik, nalar harus sadar
bahwa politik akan selalu menemukan logikanya sendiri.
Politik sebagai panglima akan
menyeret tenaga, pikiran, dan terkadang menenggelamkan cita-cita masyarakat
sejahtera. Yang tersisa adalah bagaimana kekuasaan dipertahankan dengan
segala cara dengan menafikan cita-cita lain.
Dalam krisis kebangsaan ini,
rakyat kehilangan kepercayaannya terhadap pengelola negara dan melahirkan
masyarakat yang apolitis alias golongan putih (golput).
Fenomena golput
Bangsa Indonesia sepanjang
1955-2009 sudah melaksanakan 10 kali pemilu legislatif. Faktanya,
masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih terus meningkat setiap pemilu.
Fenomena golput sebenarnya sudah
terjadi sejak pemilu pertama tahun 1955 akibat ketidaktahuan atau kurangnya
informasi tentang penyelenggaraan pemilu.
Golput populer pada era Orde
Baru karena diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan
sistem pemilu yang tidak demokratis saat itu.
Namun, pada era Reformasi yang
seharusnya lebih demokratis, golput cenderung meningkat. Pada Pemilu
Legislatif (Pileg) 1999 angka golput 6,4 persen, Pileg 2004 menjadi 15,9
persen, dan Pileg 2009 mencapai 29,1 persen (Bismar Arianto).
Sebenarnya, di negara yang
sistem demokrasinya sudah berlangsung lebih panjang, pemilu yang ”hanya”
diikuti 60 persen pemilih sudah biasa. Di Amerika Serikat, menurut Federal
Election Commission, angka partisipasi dalam pilpres 2004 hanya 55,3
persen.
Pileg 2006 hanya mendapat 36,5
persen suara pemilih. Tidak apa-apa tidak ikut memilih karena tidak akan
terjadi perubahan yang fundamental.
Lain halnya dengan negara yang
sistem demokrasinya baru dibangun.
Penguasa (incumbent) dengan segala cara
mendorong rakyat menggunakan hak pilih karena golput dinilai sebagai bentuk
perlawanan terhadap sistem.
Istilah golput muncul pada era
Orde
Baru ketika kekuasaan semakin semena-mena. Sekelompok intelektual muda yang
merasa memiliki andil dalam perjuangan meruntuhkan rezim Orde Lama,
dipelopori Arif Budiman, mendirikan kelompok Golongan Putih (kemudian lebih
dikenal sebagai Golput).
Golput adalah perlawanan, dalam
bentuk satire, dengan memunculkan lambang segi lima di atas bidang warna
putih tanpa gambar. Sasarannya jelas ditujukan kepada Golkar yang juga
berlambang segi lima dan bergambar beringin di tengahnya. Reaksi penguasa
terhadap golput cukup keras sehingga masyarakat takut terang-terangan
menyatakan dirinya golput.
Kini, di era yang (katanya)
paling demokratis, golput kembali marak. Gejala meningkatnya
ketidakpedulian masyarakat terhadap pemilu menimbulkan kekhawatiran
sejumlah kalangan karena rendahnya partisipasi rakyat atas pemilu merupakan
indikator ketidakpercayaan rakyat atas sistem yang berlaku.
Di mana letak kesalahan? Apabila
dicermati, agaknya telah terjadi kesalahan yang fundamental, kesalahan
dalam memaknai politik bahwa ”politik itu kotor”. Premis yang selama 32
tahun terus diembuskan Orde Baru. Karena kotor, standar norma etika dalam
berpolitik bukan lagi ukuran. Pemilu berada dalam ranah politik, wajar saja
kalau ada rekayasa.
Ironi demokrasi
Akankah bangsa ini sampai ke
konsolidasi demokrasi dalam ”jiwa-roh keindonesiaan” pada Pilpres 2014?
Beberapa langkah penting harus dilakukan.
Langkah itu harus mengarah pada
perbaikan dan penguatan bangsa di bidang sosial, hukum, budaya, politik,
dan ekonomi kerakyatan. Semuanya mutlak bersumber dari manajemen negara
yang bersih (tidak korup), adil, sejahtera, dan merata.
Negara harus dimerdekakan untuk
yang kedua kalinya dari kaki tangan neoliberal. Politik baru harus punya
cetak biru yang berkarakter kuat dan memihak rakyat. Politik baru harus
berangkat dari kesadaran dan usaha untuk menuntaskan hubungan negara dan
rakyat, membentuk formasi sosial sipil baru, mengentaskan orang miskin, dan
memeratakan pendidikan.
Maka, kita perlu mendekonstruksi
wilayah teritorial, personal (antikultus), dan keberpihakan pada nilai,
perdamaian abadi, dan penuntasan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh
bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar