Selama ini kita sudah akrab dengan frasa
“toleransi umat beragama”. Tanggal 16 November lalu kita juga memperingati
Hari Toleransi Internasional. Sering kali permasalahan toleransi dikaitkan
dengan konflik antarumat beragama. Banyak permasalahan antarumat
beragama yang terjadi di tengah bangsa ini. Konflik di tengah masyarakat
dengan mudah dapat diprovokasi menjadi konflik antar umat beragama. Pada
tulisan ini saya tidak akan membahas secara mendalam tentang “toleransi
umat beragama”, namun saya mengajak rekan-rekan untuk mengenal sebuah frasa
yang jarang rekan-rekan dengar, yakni “toleransi umat berbangsa”.
Apakah
toleransi umat berbangsa? Menurut KBBI, toleransi artinya sifat atau sikap
toleran. Toleran berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri. Umat artinya penganut suatu agama, tapi juga bisa
bermakna lebih luas, yakni makhluk manusia. Bangsa sendiri berarti kumpulan
manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan, dan
menempati wilayah tertentu di muka bumi. Apabila ketiga kata ini digabung,
maka artinya adalah sikap menenggang pendirian yang berbeda dengan
pendirian sendiri di antara sekumpulan manusia satu bangsa. Jelas, frasa
ini lebih luas maknanya dari toleransi umat beragama dan lebih mengindonesia.
Saya katakan lebih mengindonesia karena Indonesia tidak hanya terdiri dari
ragam agama saja, tapi juga ragam suku, ras, golongan kaya, miskin, dan
lainnya. Maka semangat toleransi umat berbangsa juga dapat dikatakan
sebagai semangat berBhinneka Tunggal Ika.
Semangat
toleransi umat berbangsa yang mendorong Indonesia bisa tetap bersatu padu,
menjalin semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme, serta semangat
untuk memperjuangkan kemerdekaan. Peristiwa kebangkitan nasional yang
ditandai dengan lahirnya Budi Oetomo pada tahun 1908 yang kemudian
berlanjut hingga tercetusnya Sumpah Pemuda tahun 1928 pastinya juga
didasarkan semangat kebersamaan sebagai satu bangsa, walau berbeda suku,
agama, ras, golongan.
Sayangnya,
belakangan ini intoleransi terjadi di bumi indonesia. Tidak hanya
intoleransi umat beragama, tapi juga intoleransi di antara umat berbangsa.
Si kaya tidak peduli dengan si miskin, agama A membenci agama B, suku C
menjelekkan suku D, masyarakat di perkotaan tidak mau tahu dengan
permasalahan masyarakat di pedesaan, kaum laki-laki menindas kaum
perempuan, dan banyak intoleransi lainnya. Semangat kebersamaan sebagai
satu bangsa yang tercipta pada masa penjajahan kemudian lambat laun
dilupakan setelah manusia Indonesia merasakan kemerdekaan.
Permasalahan
ini semakin meruncing karena menjadi aksi balas-balasan di antara pihak
yang berkonflik. Si miskin kemudian mencuri/merampok kekayaan si kaya.
Agama B tidak mau membantu dan mengucilkan agama A, dan sebaliknya. Suku D
tidak mau bergaul dengan suku C, masyarakat di pedesaan memaki masyarakat
di perkotaan, dan lain sebagainya. Para pemuda yang diharapkan menjadi
penengah karena merupakan kaum intelektual dan terpelajar juga nyatanya
setali tiga uang. Sebagian mereka juga ikut berkonflik dalam intoleransi
umat berbangsa. Sisanya disibukkan dengan aktivitas pribadi, hedonisme, dan
lain lain.
Untungnya,
masih tetap ada pemuda-pemudi yang gelisah melihat intoleransi yang terjadi
di tengah masyarakat. Mereka berusaha mencari jawaban penyelesai masalah.
Ada yang membuat pengabdian dan pengembangan masyarakat ke pedesaan. Ada
yang membentuk forum lintas agama di kota tempat tinggalnya. Ada juga yang
membuat komunitas peduli suku-suku pedalaman dan tertinggal. Gerakan-gerakan
sosial ini berusaha membangun lagi bangunan persatuan, kesatuan, dan
nasionalisme yg sempat dihantam angin badai dan gempa perpecahan.
Pengorbanan yang mereka lakukan memberi secercah harapan kembalinya
semangat persatuan di tengah bangsa.
Namun,
Indonesia masih membutuhkan lebih banyak lagi pemuda-pemudi yang peduli
kepada nasib bangsanya. Melakukan perubahan dan menjadi jawaban tidaklah
susah. Kita dapat mengawali dengan menumbuhkan toleransi umat berbangsa di
dalam diri kita dan teman-teman kita, menjalin hubungan dengan lintas
agama, suku, dan golongan di sekitar kita. Kita juga bisa membuat atau
terlibat dalam komunitas-komunitas yang ada di tengah masyarakat. Selain
itu kita harus mau mengeluarkan gagasan semangat kebersamaan melalui media
sosial yang kita gunakan. Kita juga dapat melakukan kegiatan pengabdian
yang konsen mengembangkan masyarakat.
Intoleransi
harus dilawan dengan toleransi umat berbangsa. oknum-oknum intoleran yang
hanya sedikit namun bersuara harus dihadapi oleh banyaknya rakyat yang
toleran namun selama ini memilih untuk berdiam diri saja. Kebangkitan dan
pembangunan nasional dapat diraih oleh bangsa yang bersatu. Dan bangsa yang
bersatu dapat dicapai oleh rakyat yang tidak mudah termakan isu primordial
dan konflik perpecahan. Pemuda-pemudi sebagai kaum intelektual dan kritis
harus berada di garda terdepan dan menjadi pelopor toleransi umat berbangsa.
Dengan semangat
toleransi umat berbangsa, kebangkitan nasional bukanlah mimpi belaka, tapi
akan menjadi kenyataan. Mari kita peringati Hari Toleransi Internasional
sembari membulatkan semangat di dalam diri kita untuk selalu menjunjung
kebhinekaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar