Dampak keuangan segera terlihat. Isi kantong koruptor
yang menjadi terdakwa seakan dikuras rata. Inilah bentuk pemiskinan korupsi
ala pengadilan di Australia. Uang yang terkuras pun langsung dirasakan
terpidana koruptor.
Angelina Sondakh alias Angie harus menerima
nasib apes. Putusan Mahkamah Agung (MA) telah menganulir putusan pengadilan
sebelumnya dari penjara 4,5 tahun menjadi 12 tahun dan denda sekitar 40
miliar rupiah. Dari dalam penjara Angie menangis. Dia menangisi keputusan
MA yang lebih berat ketimbang keputusan pengadilan di bawahnya.
KPK mengajukan kasasi kepada MA. Di tangan MA, selain
hukuman Angie diperberat menjadi 12 tahun penjara, Angie dijatuhi pidana
tambahan, yaitu pembayaran uang pengganti senilai 12,58 miliar rupiah dan
35 juta dollar AS atau sekitar 27,4 miliar rupiah. Angka denda dan
pengembalian uang kepada negara sekitar 40 miliar rupiah sangat mungkin
akan memiskinkan Angie.
Kekayaan Angie, menurut data Laporan Hasil
Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada 21 Juli 2010, "hanya"
12,679 miliar rupiah dan 19.256 dollar AS atau total 14 miliar rupiah.
Jumlah itu jauh di bawah kewajiban kepada negara yang dituntut MA 40
miliar.
Jika dijalankan, Angie bisa langsung miskin,
bahkan akan utang pada negara. Hakim MA menilai Angie aktif meminta dan
menerima uang terkait proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional dan
Kementerian Pendidikan dan Olah Raga. Sekalipun harta kekayaan Angie yang
dilaporkan "hanya" sekitar 14 miliar karena aktif mengorupsi uang
negara, demi keadilan dia harus mengembalikan sekitar 40 miliar rupiah.
Putusan hakim demi keadilan baik juga kalau
becermin dari putusan pengadilan Australia yang menjatuhkan hukuman bagi
koruptor yang boleh dikata, "sekali
merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui". Hukuman dari hakim,
selain mengandung efek jera, berdampak keuangan yang berat. Bagi koruptor,
selain mendapat hukuman kurungan badan, dia wajib membayar denda atau ganti
rugi lima kali lipat dari hasil korupsi yang dilakukan terdakwa.
Jika melihat dari sisi efek jera, jelas
terlihat bahwa putusan yang menetapkan indeks ganti rugi sebanyak lima kali
dari dana yang dikorupsi tentu memberatkan terdakwa. Dampak keuangan segera
terlihat. Isi kantong koruptor yang menjadi terdakwa seakan dikuras rata.
Inilah bentuk pemiskinan korupsi ala pengadilan di Australia. Uang yang
terkuras pun langsung dirasakan terpidana koruptor.
Bagaimana dengan praktik pemiskinan koruptor
di sini? Setidaknya, terdapat tiga pandangan terkait yang memerlukan
perhatian dengan harapan semoga implementasi yang bernuansa pemiskinan
koruptor tidak berjalan "lemot". Pengertian pemiskinan korupsi di
Indonesia belum sama dari aparat penegak hukum dan pegiat Tipikor. Jaksa
Agung Muda Pengawasan, Marwan Effendi, mengatakan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (TPPU) diharapkan dapat menjadi alat yang lebih efektif dalam
memerangi tindak pidana korupsi (TPK). Praktik pencucian uang (money laundring) hanya salah satu
cara menyamarkan atau menyembunyikan hasil korupsi.
Maka, wacana pemiskinan koruptor dapat
menjadi terobosan dalam semangat pembaruan penegakan hukum. Namun,
penerapannya harus tetap mengedepankan due
process of law, bukan sebaliknya, menegakkan hukum dengan melanggar
aturan itu sendiri.
Dalam pandangan pejabat Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), mereka sudah bertekad optimal memiskinkan koruptor
sebagaimana diamanatkan UU Tipikor. Menurut Wakil Ketua KPK, Zulkarnain,
upaya yang dilakukan dalam memiskinkan koruptor juga menggunakan UU TPPU.
Upaya KPK kadang terkendala peraturan yang tidak maksimal, tidak tegas, dan
terlalu multitafsir. Hal itu menimbulkan perbedaan pendapat dalam proses
persidangan dan menghasilkan perampasan.
Pandangan Muhammad Yusuf, mantan Ketua Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perlu disimak baik-baik.
Meski sudah terdapat UU TPK dan UU TPPU, dalam penerapannya, pemiskinan
koruptor perlu ada persamaan persepsi, koordinasi, komitmen, keberanian,
serta integritas dari berbagai pihak yang terkait, seperti penyidik TPPU,
jaksa, dan hakim. Tanpa itu semua, gagasan pemiskinan koruptor hanya
sebatas wacana, tidak berdampak pada penanggulangan korupsi.
Terobosan
Pemiskinan merupakan langkah dan terobosan
baru dalam memberantas korupsi. Apalagi, meskipun berstatus narapidana,
banyak terdakwa kasus korupsi masih dapat menikmati banyak fasilitas.
Ketika pidana penjara sudah dirasakan tidak efektif dan tidak menjerakan
koruptor, perlu terobosan baru dan tindakan konkret. Situasi yang dirasakan
tidak adil berganti menjadi rasa keadilan dan perlindungan masyarakat luas.
Yang sudah ditorehkan hakim MA atas Angie
merupakan prestasi besar dan membanggakan. Semangat para hakim MA menghukum
setimpal dan berdampak efek jera bagi penyelenggara lain harus diapresiasi.
Semangat para hakim MA untuk membersihkan negeri dari koruptor perlu
diapresiasi.
Dalam kasus Angie dan para kroni, dana yang
mereka korupsi untuk membangun karakter manusia muda Indonesia. Dana yang
mereka korupsi dana yang dialokasikan kepada institusi yang bergerak mencerdaskan
bangsa, juga institusi yang menyehatkan, institusi pembangun prestasi olah
raga dari sebagian sumber daya manusia muda Indonesia.
Kapabilitas spritualitas dan emosional Angie
dengan kroni sudah "tumpul" karena begitu tega merampok uang
negara yang sepenuhnya untuk membangun generasi muda melalui dunia
pendidikan tinggi dan keolahragaan. Perbuatan mereka begitu keji sebab
secara langsung menghambat prestasi intelektual serta olah raga anak
bangsa.
Putusan para hakim MA yang tegas itu, dalam pandangan
publik, seharusnya bisa lebih "galak" lagi jika mengingat
tindakan Angie dan kroni merupakan upaya nyata amat fundamental yang
menohok, melambankan pembangunan manusia. Tindakan mereka seperti orang
yang "tak punya hati". Tindakan Angie dkk mengerdilkan , bahkan
membunuh, kreativitas, pertumbuhan, dan perkembangan mental, spritual,
serta fisikal dari SDM penerus bangsa.
Koruptor yang merampok uang negara pada
sektor pembangunan manusia tidak menghendaki SDM Indonesia pintar, sehat,
kuat, dan mencapai prestasi tinggi dalam dunia akdemis dan olah raga.
Perbuatan mereka menjadi penyebab mengapa indeks pembangunan manusia (IPM)
Indonesia masih dalam peringkat terbawah.
Maka, putusan hakim MA membuat publik yang
cinta negeri dan warga Indonesia angkat topi. Putusan hakim MA tidak
melanggar hak asasi manusia (HAM). Putusan hakim MA yang bernuansa
memiskinkan koruptor, dalam hal ini, tertuju pada terpidana Angie tidak
melanggar HAM. Alasannya, uang rakyat yang semestinya untuk menjawab
kebutuhan kepentingan rakyat dirampok untuk kepentingan sendiri.
Publik harus mendukung putusan MA atas
Angie. Putusan MA menggambarkan harapan masyarakat yang selama ini melihat
putusan untuk koruptor terlalu ringan. Kini, koruptor akan berpikir keras
melihat hukuman MA pada Angie. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar