Menanggapi banyaknya berita mengenai ”bullying”
antarsiswa, pelecehan seksual, dan berbagai praktik tidak aman di sekolah,
kita melanjutkan bahasan tentang bagaimana membantu anak dan remaja merasa
aman dan nyaman di sekolah.
Bullying dapat tampil dalam
tindakan fisik (memukul, merusak barang), verbal (mengancam, menghina,
mengolok-olok), tindakan tak langsung (menyebarkan gosip, membuat olok-olok
tidak pantas), hingga yang bersifat fisik-seksual (memaksa teman melakukan
tindakan-tindakan seksual yang tidak pantas dan merendahkan). Dengan
masifnya penggunaan internet dan media sosial, apalagi di kalangan remaja,
mungkin pula terjadi
bullying di dunia maya.
Selain bullying, ada
perilaku lain yang tidak pantas, tidak dapat diterima, dan berbahaya,
seperti pelecehan seksual (dapat dilakukan oleh sesama murid atau oleh
tokoh otoritas di sekolah, seperti guru) atau pembedaan/ peminggiran
perlakuan (misalnya pada siswa yang dianggap ”aneh” atau ”berbeda”) yang
berdampak merugikan.
Peran sekolah dan keluarga
Saya menemukan Building
Respectful and Safe Schools yang dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan dan Perkembangan Anak Negara Bagian Victoria, Australia (2010),
yang cukup ringkas, tetapi memberikan panduan padat dan konkret. Buku ini
mengingatkan bahwa kepemimpinan sekolah berperan sangat penting. Hal ini
termasuk dalam membentuk budaya, seperti memfasilitasi keterbukaan agar
siswa berani bersuara dan melaporkan hal-hal yang membuat siswa merasa
tidak aman. Di lain pihak, orangtua, wali, dan keluarga juga menjadi model
peran penting bagi anak dan remaja untuk menunjukkan perilaku yang pantas
dan hubungan yang saling menghormati.
Salah satu faktor kunci untuk
memastikan lingkungan aman di sekolah adalah bahwa kepemimpinan sekolah
harus memiliki visi dan pemahaman baik mengenai ”sekolah yang aman”. Lalu
ada mekanisme yang mampu menularkan visi itu kepada semua guru, staf, dan
siswa dengan praktik yang mendukung visi itu.
Sekolah dan guru memiliki the
duty of care responsibility— mungkin dapat diterjemahkan bebas sebagai
”tugas untuk menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab” kepada siswa dan
seluruh jajaran sekolah. Istilah respectful sangat
penting, di mana guru dan otoritas sekolah mengajarkan dan menunjukkan
contoh untuk bersikap respectful.
Dalam masyarakat kita, mungkin
yang sangat ditekankan adalah anak harus menghormati guru dan orangtua.
Namun, lupa ditekankan bahwa siswa juga perlu menunjukkan sikap saling
menghargai dengan siswa lain. Jangan lupa, guru pun harus menunjukkan
perilaku respectful dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. Seorang
yang terlihat alim di depan orang lain, tetapi bertindak berbeda dengan
melakukan tindakan-tindakan tidak pantas kepada siswa di belakang layar,
jelas tidak menunjukkan perilaku terhormat dan tidak menghormati siswanya.
Pelatihan kepada siswa
Penting untuk menyosialisasikan
kepada siswa mengenai nilai baik dalam berperilaku dan apa yang sudah
tergolong dalam bullying, pelecehan atau kekerasan. Sekolah perlu
melatih anak untuk menghormati diri sendiri dan orang lain serta bersikap
tenang sekaligus asertif apabila ada tindakan-tindakan yang mengganggu.
Siswa akan dapat bersikap asertif jika dipahamkan mengenai hak-hak dasarnya
dan dibangun kepercayaan dirinya.
Bullying cukup sering
terjadi dan disaksikan oleh siswa-siswa lain, yang membiarkan saja hal itu,
mungkin karena tidak peduli atau takut. Karena itu, siswa lain yang mungkin
menjadi pengamat juga dapat dilatih untuk bersikap asertif. Siswa dapat
secara individual atau berkelompok menunjukkan dukungan kepada siswa yang
mengalami bullying (misalnya: berkomentar kepada pelaku: ”Sudah,
bercandanya jangan kelewatan, dong” atau secara tak langsung mendukung
korban: ”Tetap tenang, Nit, tidak usah diladeni…”).
Siswa dapat diajak berkumpul
untuk mendiskusikan bagaimana cara berespons yang efektif tanpa membuat
keadaan justru menjadi lebih tegang, mengingat sebagian remaja mungkin
memiliki karakteristik impulsif dan agresif dan jika ditegur oleh teman
lain dapat melakukan tindakan yang lebih berbahaya.
Tanggung jawab tokoh otoritas
Dalam sekolah yang menekankan
budaya tanpa kekerasan, ada kesepakatan bahwa semua pihak memiliki tanggung
jawab untuk menjaga keamanan dan kenyamanan di sekolah. Apabila bullying dan pelecehan terjadi,
diharapkan dapat cepat dilaporkan atau terdeteksi.
Sayang, dalam masyarakat kita, bullying dan
pelecehan cukup sering direspons dengan cara yang salah atau tidak
sensitif. Misalnya, bullying
dinetralkan sebagai hal biasa di antara remaja yang tidak usah
dibesar-besarkan, yang melapor dianggap tukang mengadu dan cengeng. Atau
pelecehan seksual oleh guru disepelekan sebagai ekspresi kasih sayang
orangtua kepada anak, apalagi jika direspons dengan menyalahkan anak didik.
Penting untuk selalu diingat
bahwa orang dewasa, apalagi tokoh otoritas, bertugas menjaga, melindungi,
dan memberikan keteladanan perilaku positif kepada anak. Tambahan lagi,
anak berada dalam posisi tidak setara dengan tokoh otoritas yang dalam
usianya yang lebih dewasa dan posisinya memiliki kekuasaan jauh besar.
Karena itu, tindakan seksual atau afeksi berlebihan yang tidak pantas
antara tokoh otoritas dan anak harus dilihat menjadi tanggung jawab sang
tokoh otoritas itu.
Kita perlu menyusun berbagai
panduan untuk membantu semua pihak dapat mengelola perilakunya, menghormati
diri sendiri dan orang lain. Siswa perlu dibantu untuk mengelola perilaku.
Sementara itu, guru, wali, atau orang dewasa lain yang mengalami kesulitan
mengelola dorongan seksualnya juga perlu mencari pertolongan untuk dapat
memahami batasan-batasan, mengendalikan diri, dan berhenti menyelewengkan
kedudukannya. Nama baik sekolah perlu dipertahankan bukan dengan menutupi
kasus, melainkan dengan menangani kasus berlandaskan prinsip peneladanan,
kepedulian dan keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar